55. وَمَا مَنَعَ ٱلنَّاسَ أَن يُؤْمِنُوٓا۟ إِذْ جَآءَهُمُ ٱلْهُدَىٰ وَيَسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّهُمْ إِلَّآ أَن تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ ٱلْأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ ٱلْعَذَابُ قُبُلًا
wa mā mana’an-nāsa ay yu`minū iż jā`ahumul-hudā wa yastagfirụ rabbahum illā an ta`tiyahum sunnatul-awwalīna au ya`tiyahumul-‘ażābu qubulā
55. Dam tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.
Tafsir :
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa ada sesuatu yang menghalangi mereka dari beriman dan beristighfar namun penghalang tersebut tidak disebutkan. Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang sesuatu yang menghalangi mereka dari beriman dan beristighfar:
Pendapat pertama: penghalang tersebut adalah takdir Allah subhanahu wa ta’ala([1]). Sehingga artinya “dan tidak ada yang menghalangi manusia dari beriman dan dari memohon ampun kecuali takdir Allah”. Jadi seberapapun datang penjelasan yang sangat jelas kepada mereka namun ketika mereka telah ditakdirkan untuk kafir maka mereka tidak akan beriman. Seperti perkataan nabi Nuh,
وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ إِنْ كَانَ اللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُغْوِيَكُمْ ۚ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan tidaklah bermanfaat kepada kalian nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kalian, sekiranya Allah hendak menyesatkan kalian, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.” (QS. Hud: 34)
Begitu juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS. Al-Baqarah: 6)
Artinya mereka ditakdirkan untuk tidak beriman sehingga sebesar apapun petunjuk yang datang kepada mereka maka mereka tetap tidak akan beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Pendapat pertama ini mengingatkan kita kepada takdir, bahwasanya kita harus beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Allah menakdirkan adanya Iblis dan juga menakdirkannya untuk masuk neraka jahannam, dan itu semua urusan Allah subhanahu wa ta’ala dan ini rahasia Allah subhanahu wa ta’ala.
Pendapat kedua: penghalang tersebut adalah perbuatan mereka yang suka istihza/mengejek para nabi, dengan mengatakan nabi adalah orang gila, sinting dan lainnya. Sehingga artinya “dan tidak ada yang menghalangi manusia dari beriman dan dari memohon ampun kecuali perbuatan mereka yang suka mengejek”.
كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ أَتَوَاصَوْا بِهِ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila”. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Az-Zariyat: 52-53)
Inilah kebiasaan mereka yang suka mengejek para nabi dan para rasul, dari Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya dikatakan tukang sihir atau orang gila. Sampai-sampai Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan أَتَوَاصَوْا بِهِ “Apakah mereka saling berwasiat” dari zaman nenek moyang mereka yaitu dari zaman Nabi Nuh hingga zaman Nabi Muhammad, sehingga kok bisa sama bahan cercaannya, yaitu menuduh gila para nabi. Inilah yang membuat mereka tertimpa azab.
Pendapat ketiga: penghalang tersebut adalah perbuatan mereka yang sering menantang([2]). Sehingga artinya “dan tidak ada yang menghalangi manusia dari beriman dan dari memohon ampun kecuali perbuatan mereka yang sering menantang”. Mereka sering menantang para nabi agar didatangkan azab kepada mereka, sehingga akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar menurunkan azab kepada mereka.
وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih”.” (QS. Al-Anfal: 32)
Begitu juga firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang umat terdahulu kepada para rasul mereka,
فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Al-A’raf: 70) (QS. Al-A’raf: 77) (QS. Hud: 32) (QS. Al-Ahqaf: 22)
Umat-umat terdahulu sering menantang nabi-nabi mereka agar diturunkan azab, yang akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan azab kepada mereka.
Inilah tiga pendapat yang menyebutkan sebab penghalang mereka dari beriman dan beristighfar padahal sudah jelas datang kebenaran.
Kemudian firman-Nya,
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَىٰ وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ
“Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menggandengkan iman dengan istighfar, maka seseorang yang ingin imannya sempurna hendaknya ia menggabungkan antara keimanan dan istighfar. Seseorang yang merasa tidak bersalah maka hakikatnya dia tidak jeli dalam melihat kesalahannya. Seseorang tidak boleh merasa dirinya sempurna, karena dia pasti memiliki dosa. Terlebih di zaman sekarang ini (yang merupakan zaman penuh fitnah) maka sesaleh apapun seseorang atau seberapa besar usahanya dalam meninggalkan banyak macam kemaksiatan, hendaknya ia tetap menggabungkan antara iman dengan istighfar. Karena seseorang pasti berdosa dan tidak mungkin dia tidak berdosa, terlebih di zaman sekarang.
Kemudian firman-Nya
إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
“kecuali (akibatnya nanti) datangnya apa yang berlaku terhadap umat-umat yang dahulu.”
سُنَّةُ adalah sesuatu yang telah berjalan, dan سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ adalah sesuatu telah yang menimpa umat-umat terdahulu. ([3])Yaitu berupa sesuatu yang telah menimpa kaum Nabi Nuh, menimpa kaum Nabi Hud, menimpa kaum Nabi Shalih, dan menimpa kaum Nabi Musa. Maka itulah سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ yaitu sunnah Allah subhanahu wa ta’ala yang berlaku pada orang-orang terdahulu jika mereka menentang para rasul. Begitu juga kalian wahai orang-orang musyrikin Quraisy, kalian akan ditimpa dengan سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ. Akhirnya mereka kaum musyrikin kalah dalam Perang Badar. Kalaupun mereka selamat di dunia maka mereka tetap akan tertimpa azab di akhirat, sebagaimana yang berlaku kepada umat-umat sebelumnya, kecuali jika mereka bertaubat dan sadar sebelum datang kematian.
Kemudian firman-Nya
أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا
“atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.”
Terdapat dua qiraah (bacaan) untuk kata قُبُلًا :
- Ada qiraah قُبُلًا dan ada qiraah قِبَلًا. Kata قُبُلًا jamak dari قَبِيْلاً yaitu akan datang kepada mereka azab dengan berbagai macam model. Terlebih lagi nanti di neraka jahanam akan datang siksaan yang bukan hanya satu macam akan tetapi dengan berbagai macam model siksaan.
- Adapun قِبَلًا artinya siksaan yang ada di hadapan mereka. Di hadapan mereka siksaan tersebut akan terlihat nyata dan mereka tidak akan menghindarinya.
Dua tafsiran ini adalah penafsiran yang benar karena pada hari kiamat kelak seorang yang musyrik akan disiksa dengan berbagai macam siksaan dan mereka akan melihat siksaan tersebut di hadapan mereka datang dan menyerang mereka.([4])
______________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/6
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/6