50. وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِۦٓ ۗ أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِى وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّۢ ۚ بِئْسَ لِلظَّٰلِمِينَ بَدَلًا
wa iż qulnā lil-malā`ikatisjudụ li`ādama fa sajadū illā iblīs, kāna minal-jinni fa fasaqa ‘an amri rabbih, a fa tattakhiżụnahụ wa żurriyyatahū auliyā`a min dụnī wa hum lakum ‘aduww, bi`sa liẓ-ẓālimīna badalā
50. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.
Tafsir :
Ayat ini menyebutkan tentang permusuhan nenek moyang syaithan (yaitu Iblis) dengan nenek moyang kita yaitu (Nabi Adam ‘alaihissalam). Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwasanya Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam. Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr: 28-29)
Berita tentang akan diciptakannya Adam ‘alaihissalam membuat heboh Iblis. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan para malaikat juga Iblis jika Adam telah diciptakan untuk sujud kepadanya. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala selesai menciptakan Adam maka mereka diperintahkan kembali untuk sujud,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis.”
Dalam ayat ini juga terdapat perselisihan di antara para ulama, apakah Iblis termasuk dari malaikat? Hal ini dikarenakan konteks kalimat “ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis” bisa dipahami bahwa Iblis dari golongan malaikat. Contohnya, jika penulis berkata: semua santri hadir kecuali Zaid. Maka Zaid termasuk dari santri, dan ini disebut dalam istilah nahwu dengan الاِسْتِثْنَاءُ الْمُتَّصِلُ al-istitsna al-muttashil([1]). Hukum asal ististsna/pengecualian adalah bahwa yang dikecualikan bagian dari rombongan. Sehingga ketika Allah subhanahu wa ta’ala berkata “para malaikat sujud kecuali Iblis” maka sebagian ulama memahami bahwa Iblis dari malaikat. Akan tetapi dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia faktanya sesuatu yang dikecualikan bisa jadi bukan termasuk rombongan yang disebutkan sebelumnya. Contoh: semua mahasiswa hadir di kelas kecuali pak Dosen, maka apakah Dosen termasuk dari mahasiswa? Maka jawabannya bukan. Pendapat kedua mengatakan bahwa Iblis bukan termasuk malaikat, karena istitsna dalam ayat ini adalah الاِسْتِثْنَاءُ الْمُنْقَطِعُ istitsna munqothi’ yaitu yang dikecualikan bukan termasuk dari rombongan. Jadi pendapat kedua ini mengatakan bahwa seluruh malaikat melakukan sujud kecuali Iblis dan Iblis bukan termasuk dari malaikat([2]). Dan kedua pendapat ini masing-masing ada salaf (pendahulu) yang mengatakannya. Bahkan ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa Iblis dahulu kala adalah malaikat (dari suatu kabilah malaikat yang namanya kabilah Jin)([3]) namun akhirnya dia membangkang.
Pendapat yang lebih lebih benar menurut penulis –wallahu ‘alam bis showab– bahwasanya Iblis bukan dari golongan malaikat, akan tetapi Iblis dari golongan jin sebagaimana yang disebutkan dalam ayat surah Al-Kahfi ini,
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dia adalah dari golongan jin maka ia mendurhakai perintah Tuhannya”
Dari kalimat “maka ia mendurhakai perintah Tuhannya” semua ulama sepakat bahwasanya Iblis dahulu adalah makhluk yang saleh, rajin beribadah, dan berilmu. Karena saking rajin beribadah dan banyak ilmunya dia seakan-akan dimasukkan ke dalam golongan malaikat. Ia mulai membangkang tatkala diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Ini menunjukkan bahwasanya sebelum itu Iblis tidak pernah membangkang. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Iblis bukan termasuk dari malaikat adalah sumber penciptaannya. Iblis diciptakan dari api, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya, Rasulullah bersabda,
«خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ»
“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.” ([4])
Ketika unsur penciptaannya berbeda maka ini menunjukkan bahwasanya Iblis bukan dari golongan malaikat. Dalil berikutnya yang menunjukkan bahwa Iblis bukan termasuk dari malaikat adalah bahwasanya malaikat tidak pernah membangkang kepada Allah subhanahu wa ta’ala sama sekali,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Malaikat tidak pernah bermaksiat dan tidak pernah membangkang, adapun Iblis dia telah membangkang. Ini dalil bahwasanya Iblis bukan dari golongan malaikat. Akan tetapi semua ulama sepakat bahwa Iblis dahulu adalah hamba Allah yang saleh. Iblis tidak mau sujud kepada Adam karena kesombongan, keangkuhan dan karena hasadnya. Oleh karenanya dikatakan,
إنَّ أوَّلَ مَعْصِيَةٍ عُصِيِ اللهُ بِهَا الْحَسَدُ، حَسَدُ إِبْلِيْسَ لآدَمَ، وَحَسَدُ قَابِيْلَ لِهَابِيْلَ
“Sesungguhnya maksiat pertama kali yang Allah dimaksiati dengannya adalah hasad, yaitu hasadnya Iblis kepada Adam dan hasadnya Qobil kepada Habil.” ([5])
Ini dikarenakan selama ini Iblis diakui oleh malaikat bahwa dia seorang yang berilmu dan rajin beribadah, lalu ketika datang pendatang baru -yaitu Adam- yang ternyata Allah subhanahu wa ta’ala muliakan dengan menciptakannya dengan kedua tangannya, yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan para malaikat dan jin untuk sujud kepadanya, yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya ilmu yang tidak diketahui oleh para malaikat dan jin. Iblis tidak bisa menerima pendatang baru -dengan kemuliaannya- tersebut, sehingga ketika iblis diperintahkan untuk sujud maka ia membangkang dan berkata,
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”.” (QS. Shad: 76)
Malaikat yang sumber penciptaannya lebih mulia dari Iblis mereka tidak sombong, karena cahaya lebih utama dari api. Cahaya menunjukkan keindahan dengan penerangannya adapun api sifatnya merusak (seperti membakar). Malaikat lebih utama dari Iblis akan tetapi mereka tetap sujud kepada Adam.
Allah menyebutkan tentang Iblis yang tidak mau sujud kepada Adam karena sombong dengan asal penciptaannya, karena hal ini dikaitkan dengan ayat sebelumnya,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” QS. Al-Kahfi: 28
Seperti yang sudah dijelaskan bahwasanya orang-orang musyrikin kaya raya yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata “wahai Muhammad jika engkau ingin kami beriman maka tinggalkanlah orang-orang yang msikin tersebut”. Mereka menganggap diri mereka yang kaya lebih baik daripada orang-orang yang miskin, maka sebagian ulama mengatakan bahwa ini adalah metode Iblis ketika mengukur sesuatu yang paling baik dengan ukuran perkara duniawi/materi. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan barometer kebaikan dengan amal saleh. Ketika Iblis mengatakan bahwa ia lebih baik dari Adam maka dia tidak mengukurnya dengan amalannya (rajin beribadah) akan tetapi dia mengatakan dia lebih baik dari Adam dengan perkara materi.
Bantahan terhadap pernyataan Iblis tersebut dari berbagai sisi; di antaranya kita katakan bahwa siapa yang bilang bahwa api lebih baik dari tanah? Faktanya api banyak menimbulkan kebakaran dan api tidak bisa diatur. Adapun tanah adalah sumber kebaikan, di antaranya pepohonan yang tumbuh di tanah, manusia yang hidup di atas tanah dan banyak kehidupan di tanah. Iblis telah mengqiyaskan (menganalogikan) dalam menentukan sesuatu lebih baik dengan perkara materi, dan ternyata qiyasnya salah. Jadi Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang Iblis yang merasa dirinya lebih hebat karena dia terbuat dari api untuk mengingatkan orang-orang musyrikin yang mereka merasa lebih hebat dari kaum muslimin karena memiliki harta yang banyak dan ini adalah metode Iblis.
Ketika Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dia adalah dari golongan jin maka ia mendurhakai perintah Tuhannya”
Ada suatu hal yang aneh yang dilakukan oleh sebagian orang-orang shufi. Di antaranya adalah Al-Hallaj yang memiliki akidah wihdatul wujud, yang jika kita baca biografinya dalam kitab Siyar ‘Alam An-Nubala’, disebutkan bahwa Al-Hallaj mengaku sebagai tuhan([6]). Dikatakan dia bisa melakukan apa saja, bahkan di musim kemarau dia bisa mendatangkan buah-buahan yang tidak mungkin muncul kecuali di musim dingin. Murid-muridnya pun terheran dengan semua kejadian itu, tentunya ini semua terjadi dengan bantuan jin. Suatu saat dia datang kepada seorang ulama lalu mengatakan: ‘apa yang kau inginkan?’ ulama tersebut menjawab: ‘saya sudah tua maka saya ingin untuk muda kembali’. Al-Hallaj yang mengaku sebagai tuhan pun berkata: aku tidak mampu untuk melakukan itu. Juga diceritakan bahwa suatu hari dia mendatangkan buah dari surga. Lalu murid-muridnya mendapati buah tersebut ada ulatnya sehingga mereka bertanya mengapa buah dari surga ada ulatnya? Ia pun menjawab hal ini disebabkan karena buah tersebut berasal dari tempat yang kekal dan keluar menuju tempat yang akan binasa([7]). Al-Hallaj ini mengatakan bahwa keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam justru menunjukkan bahwa Iblis bertauhid. Karena sujud kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan kesyirikan([8]). Jadi Iblis tidak mau sujud kepada Adam karena dia bertauhid, bahkan karenanya dia rela dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala demi mempertahankan tauhidnya. Begitu juga perkataan Abdul Karim Al-Jili yang ia merupakan tokoh shufi juga yang sempat dituliskan risalah dukturah yang menjelaskan tentang pemikiran-pemikirannya. Dia mengatakan bahwa ahlu tauhid ada 2 macam: Ahlu Tauhid yang berada di bumi yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ahlu Tauhid yang berada di langit yaitu Iblis. Iblis bertauhid karena tidak mau sujud kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Ulama yang termasuk terpengaruh dengan pemikiran ini adalah Al-Ghozzali -semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya-, dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin dia berkata,
فَمَنْ عَرَفَ اللهَ تَعَالَى عَرَفَ أَنَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَلاَ يُبَالِي وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ وَلاَ يَخَافُ، قَرَّبَ الْمَلاَئِكَةَ مِنْ غَيْرِ وَسِيْلَةٍ سَابِقَةٍ وَأَبْعَدَ إِبْلِيْسَ مِنْ غَيْرِ جَرِيْمَةٍ سَالِفَةٍ
“Barang siapa yang mengenal Allah maka ia mengetahui bahwasanya Allah melakukan apa yang Allah kehendaki dan Dia tidak perduli. Ia memberi keputusan apa yang Dia kehendaki dan Dia tidak takut. Allah mendekatkan Malaikat kepada-Nya tanpa ada wasilah (amal kebaikan) sebelumnya, dan Allah menjauhkan Iblis tanpa ada dosa sebelumnya” ([9])
Al-Ghozali mengakui Iblis tidak bersalah, yaitu Allah bebas melakukan apa yang Allah kehendaki termasuk menjauhkan Iblis dari rahmat-Nya padahal Iblis tidak bersalah. Kelazimannya pernyataan ini berarti Allah yang salah.
Pernyataan ini dibantah oleh banyak para ulama. Karena Iblis berdosa, dia diperintah oleh Allah subhanahu wa ta’ala namun dia membangkang. Sedangkan malaikat didekatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena memang ahli ibadah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ
“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al-Anbiya’: 20)
Dan juga firman-Nya,
فَإِنِ اسْتَكْبَرُوا فَالَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ يُسَبِّحُونَ لَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُمْ لَا يَسْأَمُونَ ۩
“Jika mereka menyombongkan diri, maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari, sedang mereka tidak jemu-jemu.” (QS. Fusshilat: 38)
Sedangkan Iblis maka dia telah melakukan dosa karena dia diperintahkan untuk sujud kepada Adam namun dia tidak mau sujud. Ini adalah salah satu kesalahan Al-Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin. Oleh karenanya para ulama berselisih pendapat dalam hal kitab Ihya ‘Ulumuddin, sebagian ulama mengagungkan kitab ini karena berisi akhlak dan yang lainnya, sebagian yang lain mengatakan anjuran untuk membakar kitab ini karena banyak berisi kerusakan, di antaranya adalah akidah-akidah yang menyimpang, salah satunya yang disebutkan di atas. Ibnu Taimiyyah mengambil pendapat pertengahan, bahwasanya buku Ihya ‘Ulumuddin ada kebaikan dan ada kerusakannya([10]), bagi orang yang berilmu dia bisa mengambil kebaikan dari kerusakannya, namun bagi orang awam maka hendaknya berhati-hati karena beberapa pernyataan dalam kitab ini ada hal-hal bermasalah yang berkaitan dengan akidah, bahkan di dalamnya juga banyak disebutkan hadits-hadits palsu.
Jadi yang benar ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Adam maka ini bukan sujud ibadah, akan tetapi ini adalah untuk sujud tahiyyah atau sujud penghormatan([11]). Seandainya malaikat sujud kepada Adam tanpa perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka ini adalah maksiat atau kesyirikan. Akan tetapi jika itu adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka ini adalah ibadah, karena semua perintah Allah subhanahu wa ta’ala adalah ibadah. Contoh sederhananya kita diperintahkan untuk mencium hajar aswad, seandainya kita mencium hajar aswad bukan karena perintah Allah subhanahu wa ta’ala maka ini adalah kesyirikan. Akan tetapi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk mencium hajar aswad maka ini bukanlah kesyirikan, karena ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita juga meyakini ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga ketika seseorang meminum air zam-zam lalu meyakini bahwasanya air zam-zam bisa ini dan itu, maka ini adalah kesyirikan, tetapi ketika meminumnya berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meyakini faedahnya berdasarkan yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini adalah ibadah. Jangan sampai kita seperti orang-orang shufi ekstrim yang meyakini Iblis adalah ahli tauhid. Begitu juga sebagian mereka mengatakan bahwa Firaun yang mengatakan,
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ
“(Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (QS. An-Nazi’at: 24)
Fir’aun menyatakan demikian dikarenakan Allah subhanahu wa ta’ala menyatu dengan Firaun dan Firaun adalah ahlu tauhid. Dia tidak mau mengubah perkataannya (meskipun akhirnya dia ditenggelamkan) karena dia mempertahankan tauhid.
Jadi Iblis hasad kepada Adam karena Adam adalah pendatang baru yang kemudian diberi beberapa kelebihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara kelebihan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Adam adalah:
- Adam diciptakan langsung dengan kedua tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
- Adam diajarkan ilmu yang tidak diketahui oleh malaikat.
- Allah memerintahkan para malaikat dan Iblis untuk sujud kepada Adam.
Ini semua yang menjadikan Iblis hasad kepada Adam dan akhirnya menyebabkan ia membangkang atas perintah Allah subhanahu wa ta’ala dengan bentuk tidak mau untuk sujud kepada Adam. Maka hendaknya seseorang menjauhkan dirinya dari penyakit hasad, karena itu adalah akhlak Iblis dan juga akhlaknya orang-orang Yahudi, dan hasad merupakan akhlak yang buruk dan tercela.
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dia adalah dari golongan jin maka ia mendurhakai perintah Tuhannya”
Kefasikan ada dua macam: ada (1) kefasikan akbar, yang ini merupakan kekufuran, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ini, dan ada yang namanya (2) kefasikan ashghor, seperti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” ([12])
Kemudian setelah Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan sikap Iblis kepada Adam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ ۚ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
“Patutkah kalian mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.”
Dalam firman-Nya وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ “sedang mereka adalah musuh kalian” seakan-akan tidak ada musuh bagi kalian kecuali Iblis dan keturunannya. Mereka (Iblis dan keturunannya) hidup di atas muka bumi tugasnya hanya memusuhi kalian. Jika kalian mengetahui bahwa Iblis adalah musuh bagi kalian maka mengapa kalian menjadikan Iblis beserta keturunannya sebagai wali-wali bagi kalian atau sesembahan bagi kalian. Orang-orang yang zalim adalah mereka yang seharusnya mereka menyembah Allah subhanahu wa ta’ala namun justru menjadikan Iblis (sang musuh bubuyutan) sebagai pengganti Allah subhanahu wa ta’ala untuk disembah.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa Iblis memiliki keturunan, karena Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ “Patutkah kalian mengambil dia dan turanan-turunannya”. Ini menunjukkan bahwa Iblis memiliki keturunan. Ini juga menjadi isyarat bahwa Iblis bisa beranak pinak seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan tentang bidadari surga,
فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar-Rahman: 56)
Yaitu ayat ini menunjukan bahwa Iblis (yang merupakan jin) juga melakukan hubungan biologis, yang itu menunjukan sebab terjadinya anak keturunan.
Ini menunjukkan Iblis bisa beranak pinak. Adapun bagaimana proses kawinnya, melahirkannya, berapa lama kandungannya maka ini bukan urusan kita. Sebagian ulama mengatakan bahwa Iblis adalah jin pertama, sebagaimana Adam adalah manusia pertama. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa Iblis bukanlah jin pertama, karena telah muncul jin-jin sebelumnya, namun mereka semua mati dan yang dibiarkan masih hidup adalah Iblis, karena Iblis adalah satu-satunya jin yang ditangguhkan hidupnya hingga hari kiamat, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan tentang perkataannya,
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Berkata iblis: “Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” (QS. Al-Hijr: 36)
Ini dalil bahwasanya Iblis seharusnya memiliki usia yang terbatas dan dia akan mati jika ajalnya tiba, akan tetapi dia meminta untuk ditangguhkan. Adapun keturunan Iblis berupa jin-jin maka mereka tidak memiliki usia yang panjang seperti Iblis, mereka hidup dan mereka juga mati.
_______________
Footnote :
([1]) Disebut dengan الاِسْتِثْنَاءُ الْمُتَّصِل “pengecualian yang bersambung” jika المُسْتَثْنَى “yang dikecualikan” (dalam contoh di atas yaitu : Zaid) merupakan bagian dari المُسْتَثْنَى مِنْهُ “rombongan sebelum dikecualikan” (dalam contoh di atas yaitu : para santri).
Lain halnya dengan الاِسْتِثْنَاءُ الْمُنْقَطِعُ “pengecualian yang terputus”, maka المُسْتَثْنَى “yang dikecualikan” bukan merupakan bagian dari المُسْتَثْنَى مِنْهُ “rombongan sebelum dikecualikan”. Sebagaimana contoh di atas : “Semua mahasiswa telah hadir kecuali Pak Dosen”.
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 1/506 dan Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/521
([3]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 1/504
([5]) Al-Masaalik Fii Syarhi Muwattho’ Maalik 7/268
([6]) Lihat Siyaru A’lam An-Nubala’ 11/202
([7]) Lihat Siyaru A’lam An-Nubala’ 11/200
([8]) Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hallaaj, ia berkata :
وَمَا كَانَ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ مُوَحِّدٌ مِثْلُ إِبْلِيْسَ
“Tidak ada dari penghuni langit yang bertauhid seperti Iblis” (kitab at-Thowasiin hal 190 pada طاسين الأزل والالتباس)
Ia mengatakan bahwa Iblis berkata :
إِنْ عَذَّبَنِي بِنَارِهِ أَبَدَ الآبَادِ مَا سَجَدْتُ لِأَحَدٍ وَلاَ أَذِلُّ لِشَخْصٍ وَلاَ جَسَدٍ
“Meskipun Allah mengádzabku dengan nerakaNya selama-lamanya aku tidak akan sujud kepdada seorangpun dan aku tidak akan merendah kepada manusia dan kepada jasad manapun” (hal 192)
Setelah itu al-Hallaaj berkata :
فَصَاحِبِي وَأُسْتَاذِي إِبْلِيْسُ وَفِرْعَوْنُ، وَإِبْلِيْسُ هُدِّدَ بِالنَّارِ وَمَا رَجَعَ
“Maka sahabatku dan guruku adalah Iblis dan Firáun. Iblis diancam dengan neraka (jika tidak sujud kepada Adam) akan tetapi ia tidak bergeming (tetep tidak masu sujud kepada Adam)” (Kitab At-Thawasiin hal 192)
([9]) Ihya’ ‘Ulum Ad-Din 4/168
([10]) Ibnu Taimiyyah berkata :
وَالْإِحْيَاءُ فِيهِ فَوَائِدُ كَثِيرَةٌ، لَكِنَّ فِيهِ مَوَادَّ مَذْمُومَةً، فَإِنَّ فِيهِ مَوَادَّ فَاسِدَةً مِنْ كَلَامِ الْفَلَاسِفَةِ تَتَعَلَّقُ بِالتَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ … وَقَدْ أَنْكَرَ أَئِمَّةُ الدِّينِ عَلَى أَبِي حَامِدٍ هَذَا فِي كُتُبِهِ وَقَالُوا: أَمْرَضَهُ الشِّفَاءُ يَعْنِي شِفَاءَ ابْنِ سِينَا فِي الْفَلْسَفَةِ – وَفِيهِ أَحَادِيثُ وَآثَارٌ ضَعِيفَةٌ، بَلْ مَوْضُوعَةٌ كَثِيرَةٌ وَفِيهِ أَشْيَاءُ مِنْ أَغَالِيطِ الصُّوفِيَّةِ وَتُرَّهَاتِهِمْ، وَفِيهِ مَعَ ذَلِكَ مِنْ كَلَامِ الْمَشَايِخِ الصُّوفِيَّةِ الْعَارِفِينَ الْمُسْتَقِيمِينَ فِي أَعْمَالِ الْقُلُوبِ الْمُوَافِقِ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمِنْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَاتِ وَالْأَدَبِ مَا هُوَ مُوَافِقٌ لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَا هُوَ أَكْثَرُ مِمَّا يُرَدُّ مِنْهُ فَلِهَذَا اخْتَلَفَ فِيهِ اجْتِهَادُ النَّاسِ وَتَنَازَعُوا فِيهِ
“Dan di kitab Ihya’ Ulum ad-Din (karya al-Ghozali) banyak faidah akan tetapi ada juga materi-materi yang tercela. Sesungguhnya di kitab al-Ihya ada pembahasan yang rusak dari perkataan para filsuf yang berkaitan dengan tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan… para imam (ulama) di kitab-kitab mereka telah mengingkari Abu Hamid al-Ghozali perihal hal ini. Mereka berkata, “Kitab as-Syifa -yaitu karya Ibnu Sina tentang filsafat- telah menjadikan al-Ghozali sakit”. Di kitab al-Ihya’ hadits-hadits dan atsar-atsar yang lemah bahkan banyak yang palsu. Dan di kitab tersbeut ada juga kesalahan-kesalahan para kaum shufi serta kebatilan-kebatilan mereka. Namun meskipun demikian pada kitab tersebut ada juga perkataan para syaikh sufi yang árif serta istiqomah tentang amalan-amalan hati yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, demikian juga perkara-perkara lain seperti ibadah dan ada yang sesuai dengan al-Kitab dan As-Sunnah yang lebih banyak dari pada yang ditolak. Karena itulah orang-orang berbeda ijtihad (pandangan) dan berselisih dalam menyikapi kitab al-Ihya” (Majmu’ Al-Fataawa 10/551-552 dan Al-Fatawa al-Kubro 5/86)