49. وَوُضِعَ ٱلْكِتَٰبُ فَتَرَى ٱلْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَٰوَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلْكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحْصَىٰهَا ۚ وَوَجَدُوا۟ مَا عَمِلُوا۟ حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
wa wuḍi’al kitābu fa taral-mujrimīna musyfiqīna mimmā fīhi wa yaqụlụna yā wailatanā māli hāżal-kitābi lā yugādiru ṣagīrataw wa lā kabīratan illā aḥṣāhā, wa wajadụ mā ‘amilụ ḥāḍirā, wa lā yaẓlimu rabbuka aḥadā
49. Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”.
Tafsir :
Tatkala diletakkan kitab (catatan amal) kepada manusia, di antara mereka ada yang menerima dengan tangan kanan dan di antara mereka ada yang menerima dengan tangan kiri. Alif lam pada kata الْكِتَابُ adalah untuk al-istighraq (menunjukan keseluruhan), yang artinya bahwa yang diletakkan adalah seluruh catatan amal yang selama ini dicatat oleh malaikat maka pada hari kiamat kelak akan diletakkan kepada semua orang([1]). Lalu apa yang akan dialami oleh orang-orang mujrimin (para pelaku dosa)? Biasanya ketika Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan al-mujrimun di dalam Al-Quran maka yang dimaksud adalah orang-orang kafir([2]). Keadaan mereka sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan,
فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”
Mereka ketakutan karena mereka tahu bahwa mereka telah melakukan dosa-dosa. Pada hari kiamat Allah subhanahu wa ta’ala akan membuat mereka mengingat semua dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَىٰ يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَىٰ
“Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.” (QS. An-Naziat: 34-35)
Para pelaku dosa mereka akan ingat seluruh yang mereka kerjakan. Allah subhanahu wa ta’ala akan membukakan file-file masa lalu mereka dan mengembalikan ingatan mereka. Sehingga sebelum buku amalan mereka dibuka mereka ketakutan terlebih dahulu, karena mereka ingat apa yang telah mereka kerjakan, mereka pun takut untuk dipermalukan di hadapan khalayak. Inilah dua ketakutan yang terkumpul dalam diri mereka. Catatan amal mereka akan dibukakan dan diperlihatkan kepada mereka, Allah subhanahu wa ta’ala berkata,
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”.” (QS. Al-Isra’: 14)
Para ulama mengatakan bahwa semua orang akan bisa membaca catatan amalnya. Baik itu orang yang pandai membaca maupun orang yang buta aksara, semuanya akan bisa membaca pada hari tersebut. Namun wallahu a’lam kita tidak tahu apakah catatan amal tersebut berupa tulisan atau berupa visual, karena semua itu mungkin di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di zaman sekarang saja kita dapati flash disk kecil mampu untuk menyimpan puluhan giga yang berisi berbagai macam file, baik berupa video maupun lainnya, maka lebih mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala untuk membuka catatan amal manusia pada hari kiamat kelak. Yang jelas semua manusia akan mendapati catatan amalnya langsung terbuka, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ ۖ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (QS. Al-Isra’: 13)
Orang yang kafir tersebut ketakutan setelah dia membaca, ternyata semua perkara-perkara diperlihatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sangat terperinci sampai ke perkara-perkara yang kecil. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang perkataan mereka ketika itu,
وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”.”
Ayat ini menunjukkan bahwasanya dosa ada dua model: dosa kecil dan dosa besar. Kitab amalan ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang mujrim ini diperlihatkan dosa-dosa kecilnya dan mereka tahu bahwa mereka akan binasa disebabkan dosa-dosa kecil tersebut, terlebih lagi terhadap dosa-dosa besar mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”
Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa mayoritas ulama Ahli Tafsir mengatakan penyebutan al-mujrimun di dalam Al-Quran maksudnya adalah orang-orang kafir. Al-Mujrim secara bahasa artinya adalah pelaku dosa, namun secara istilah maka yang dimaksud adalah orang-orang kafir. Orang-orang kafir jelas mereka disiksa karena dosa besar dan juga mereka disiksa karena dosa kecil. Oleh karenanya ketika Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang di Neraka Saqor,
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan.” (QS. Al-Muddattsir: 42-46)
Jadi ternyata mereka disiksa oleh Allah subhanahu wa ta’ala secara detail. Baik disiksa karena dosa yang berkaitan dengan akidah (seperti mendustakan hari kebangkitan), mereka juga disiksa disebabkan dengan dosa amaliyah (seperti pelit dan tidak mau memberikan makan kepada fakir miskin). Ayat ini (QS al-Kahfi : 49) menunjukkan bahwasanya mereka disiksa disebabkan dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. Semua ini ditampakkannya untuk menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala Maha adil dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi siapa pun. Di antara bentuk keadilan Allah subhanahu wa ta’ala adalah bahwa di surga ada darojaat (tingkatan-tingkatan ke atas) dan di neraka ada darokaat (tingkatan-tingkatan ke bawah). Tidak semua orang kafir tingkatannya sama di neraka. Orang kafir yang ketika di dunia baik, seperti murah senyum dan suka menolong maka nerakanya lebih di atas. Adapun orang kafir yang dahulu jahat, seperti suka mengganggu kaum muslimin dan merampas wilayah atau harta kaum muslimin maka nerakanya berada di bawah. Jadi berbeda antara orang kafir yang baik dan orang kafir yang jahat, sampai-sampai dosa-dosa kecil mereka pun Allah subhanahu wa ta’ala kumpulkan. Jangan mengira bahwa kaum muslimin saja nanti yang dihisab karena melihat aurat misalnya, karena orang kafir juga sesungguhnya mereka akan dihisab dan diadzab karena dosa-dosa kecil. Oleh karenanya orang-orang kafir akan berkata pada hari kiamat,
مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا
“”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya”
Mereka merasa takjub dengan kitab amal yang dibagikan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa “al-mujrimin/para pendosa” dalam firman Allah فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ (kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya), juga mencakup kaum muslimin yang melakukan dosa. Namun pendapat ini menimbulkan pertanyaan, bukankah Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa orang-orang beriman jika melakukan dosa-dosa kecil kemudian dia menghindarkan dirinya dari dosa-dosa besar maka dosa-dosa kecil ini akan terampuni? Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“antara shalat lima waktu, shalat jum’at ke shalat jum’at berikutnya, puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan berikutnya melebur dosa-dosa yang terdapat di antaranya , selama pelakunya menjauhi dosa-dosa besar.” ([3])
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ
“Dari umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus (dosa) di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada pahala baginya kecuali surga.” ([4])
Dalam Al-Quran juga disebutkan,
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Jika yang dimaksud dengan al-mujrimin dalam ayat ini adalah orang-orang kafir -sebagaimana pendapat mayoritas ulama- maka tidak ada permasalahan. Namun jika al-mujirimin di sini difahami mencakup para pelaku dosa dari kalangan kaum muslimin, maka untuk apa Allah subhanahu wa ta’ala memperlihatkan dosa-dosa kecilnya? Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah memaafkan dosa-dosa kecilnya jika seseorang meninggalkan dosa-dosa besar? Jawabannya adalah walaupun orang-orang Islam melakukan dosa-dosa kecil, lalu dosa-dosa kecil mereka telah diampuni maka Allah subhanahu wa ta’ala tetap menampakkannya untuk menunjukkan rahmat dan karunia-Nya subhanahu wa ta’ala kepadanya.
Namun -wallahu a’lam- pendapat yang lebih tepat menurut penulis bahwa al-mujrimun di sini adalah orang-orang kafir, sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Dalam ayat ini didahulukan penyebutan dosa kecil sebelum dosa besar,
لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا
“tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya”
Maka ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh ulama Tafsir perihal didahulukannya penyebutan dosa kecil kemudian dosa besar:
- Karena yang membuat mereka kaget adalah dosa kecil yang ditampakkan. Mereka menyangka bahwa yang tercatat adalah dosa-dosa besar saja. Namun ternyata dosa yang kecil juga tercatat dan mereka kaget karena mereka tidak menduga bahwa dosa-dosa yang kecilpun diperlihatkan pada hari kiamat.([5])
- Jikalau dosa yang kecil saja tercatat maka terlebih lagi dosa yang besar.([6])
- Sebab mereka terjerumus kepada dosa-dosa besar adalah karena mereka sebelumnya terjerumus ke dalam dosa-dosa kecil terlebih dahulu. Contoh, tidaklah seorang berzina kecuali dimulai dengan penglihatan. Ibnul Qoyyim rahimahullah ta’ala mengatakan bahwa awal kebinasaan adalah penglihatan. Tidaklah seseorang terjerumus ke dalam zina kecuali karena dia tidak menjaga pandangan matanya.([7])
Inilah tiga hikmah mengapa didahulukan dosa kecil daripada dosa besar.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“dan mereka dapati apa yang telah mereka amalkan/kerjakan ada (tertulis).”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa apa yang mereka amalkan di dunia akan tampak di hadapan mereka ketika di akhirat. Banyak orang menyangka bahwa yang namanya amal hanyalah perbuatan tubuh, seperti memukul, melihat, mendengar atau yang lainnya. Namun para ulama mengatakan bahwa amal ini sifatnya umum; mencakup amalan tubuh (seperti pandangan mata, gerakan tangan, langkah kaki, zina, dan lainnya), juga mencakup amalan lisan (seperti ucapan) maka ini dicatat dan dianggap sebuah amalan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Banyak sekali orang melalaikan hal ini dan mereka menangka bahwa yang diperhatikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan badan saja. Ini adalah anggapan yang keliru, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat khusus untuk masalah lisan,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Kemudian di antara amalan yang dicatat adalah amalan hati. Seseorang yang berpikir untuk kebaikan maka akan tercatat sebagai amalan. Seseorang yang berniat baik (entah dia mampu mengerjakannya atau tidak) maka ini akan dicatat sebagai amalan. Begitu juga orang yang hasad, dengki, riya’ maka semua ini akan dicatat sebagai amalan hati. Sehingga hendaknya seseorang waspada karena yang dia dapati dalam catatan amalnya bukan amal badan saja, akan tetapi semua yang diucapkan dan semua yang terbetik dalam hatinya yang menjadi tekadnya (berupa keikhlasan, kejujuran, kemunafikan, riya, atau kesombongan) maka semuanya akan dia dapatkan dalam catatan amalnya. Maka seseorang hendaknya berhati-hati dalam berbuat, berbicara, dan dalam berniat. Jangan sampai seseorang sembarangan dalam berniat. Jika dia dapati dalam hatinya ada hasad maka hendaknya dia berusaha untuk melawannya. Jika dia dapati dalam hatinya ada riya’ maka hendaknya dia berusaha untuk melawannya karena itu semua akan hadir dalam catatan amalnya pada hari kiamat kelak.
Kemudian firman-Nya
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.”
Seseorang diazab berdasarkan catatan amalnya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak menambah atau menguranginya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا ۖ وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf: 19)
Dalam ayat ini setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang-orang kafir lalu menyebutkan orang-orang yang beriman, lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا “dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan”. Artinya bahwasanya penghuni surga bertingkat-tingkat begitu juga penghuni neraka bertingkat-tingkat. Juga Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi seorang pun. Firman-Nya وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا “dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun” juga dalil bahwasanya jika ada satu kata datang dalam bentuk nakirah dalam konteks penafian maka memberikan faedah keumuman. Artinya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi seorang pun dan seluruhnya tidak ada yang dizalimi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Jika ada seseorang diazab maka karena orang tersebut memang pantas mendapatkan azab. Bagaimana tidak, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang dia untuk kufur, telah mengutus kepadanya seorang Rasul, menurunkan Al-Quran, memunculkan dai-dai untuk mengingatkannya, namun semuanya ia langgar dan ia lebih memilih untuk mengikuti hawa nafsunya. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memberikannya peringatan dia tetap tidak perduli maka jika ia diazab sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala sama sekali tidak zalim. Disebutkan dalam sebuah hadits yang sangat terkenal dengan sebutan hadits bitoqoh,
يُصَاحُ بِرَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ، فَيُنْشَرُ لَهُ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ سِجِلًّا، كُلُّ سِجِلٍّ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: هَلْ تُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا؟ فَيَقُولُ: لَا، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ؟ فَيَقُولُ: لَا، ثُمَّ يَقُولُ: أَلَكَ عُذْرٌ، أَلَكَ حَسَنَةٌ؟ فَيُهَابُ الرَّجُلُ، فَيَقُولُ: لَا، فَيَقُولُ: بَلَى، إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ، وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ، فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، قَالَ: فَيَقُولُ: يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ، مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ؟ فَيَقُولُ: إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ، فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ، وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ، فَطَاشَتِ السِّجِلَّاتُ، وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ
“Pada hari Kiamat akan di teriakan seorang laki-laki dari ummatku di atas kepala seluruh makhluk, maka disebarkanlah untuknya sembilan puluh sembilan buku catatan, setiap buku catatan panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah ‘azza wajalla berfirman: “Apakah kamu mengingkari sesuatu dari catatan ini?” dia menjawab; “Tidak wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi; “Apakah Malaikat penulis-Ku mendzalimimu?” dia menjawab; “Tidak.” Kemudian Dia berfirman: “Apakah kamu punya udzur? Apakah kamu punya kebaikan?” Maka dengan rasa takut, laki-laki itu menjawab; “Tidak.” Allah berfirman: “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezhaliman bagi dirimu.” Maka di keluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan; “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu (Tidak ada ilah yang berhak di sembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).” Beliau bersabda: “Lelaki itu berkata; “Wahai Rabbku, apa bandingannya kartu ini dengan buku catatan dosaku ini?” Allah menjawab: “Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.” Maka di letakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian (di sisi) timbangan, dan kartu di bagian lain (sisi yang lain) dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” ([8])
Dalam hadits ini menyebutkan bahwa semua yang tercatat di catatan amalnya sesuai dengan apa yang dilakukan selama di dunia. Jadi Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi seorang pun. Ini adalah akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Jika seandainya Allah subhanahu wa ta’ala ingin untuk berbuat zalim maka Allah subhanahu wa ta’ala Maha mampu akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan berbuat zalim karena Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan diri-Nya untuk berbuat zalim sebagaimana yang Allah firmankan dalam sebuah hadits Qudsi,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ، إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ، إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا، فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي، فَتَنْفَعُونِي، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ، يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا، فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ، فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ»
“Hai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan diri-Ku untuk berbuat zhalim dan perbuatan zhalim itu pun Aku haramkan di antara kalian. Oleh karena itu, janganlah kamu saling berbuat zhalim! Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kesesatan, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk. Oleh karena itu, mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu! Hai hamba-Ku, kamu sekalian berada dalam kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan. Oleh karena itu, mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan! Hai hamba-Ku, kamu sekalian telanjang dan tidak mengenakan sehelai pakaian, kecuali orang yang Aku beri pakaian. Oleh karena itu, mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu pakaian! Hai hamba-Ku, kamu sekalian senantiasa berbuat salah pada malam dan siang hari, sementara Aku akan mengampuni segala dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya aku akan mengampunimu! Hai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat menimpakan mara bahaya sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya. Selain itu, kamu sekalian tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa dapat melakukannya. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta manusia dan jin, semuanya berada pada tingkat ketakwaan yang paling tinggi, maka hal itu sedikit pun tidak akan menambahkan kekuasaan-Ku. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta jin dan manusia semuanya berada pada tingkat kedurhakaan yang paling buruk, maka hal itu sedikitpun tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuhi permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan. Hai hamba-Ku. sesungguhnya amal perbuatan kalian senantiasa akan Aku hisab (adakan perhitungan) untuk kalian sendiri dan kemudian Aku akan berikan balasannya. Barang siapa mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu (kebaikan), maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” ([9])
Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya. Ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala mampu untuk melakukan kezaliman akan tetapi Dia mengharamkannya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan suatu perkara yang tidak wajib bagi-Nya. Ini Allah lakukan sebagai bentuk karunia kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
«يَا مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ، وَمَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى اللَّهِ؟»، قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى العِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ العِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا»، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ؟ قَالَ: «لاَ تُبَشِّرْهُمْ، فَيَتَّكِلُوا»
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?” Aku jawab: “Allah dan Rosul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hak Allah atas para hamba-Nya adalah hendaklah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan hak para hamba-Nya atas Allah adalah seorang hamba tidak akan disiksa selama dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab: “Jangan kamu beritahukan mereka sebab nanti mereka akan berpasrah saja”. ([10])
________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 10/418
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 18/38
([4]) HR. Bukhori no. 1773 dan Muslim no. 1349
([5]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 15/339
([6]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/521
([7]) Lihat: Al-Jawaabul Kaafi Liman Sa-ala ‘An Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi atau Ad-Daa-u Wa Ad-Dawaa’u hal 152
([8]) HR. Ibnu Majah no. 4300 dan dishohihkan oleh Al-Albani