46. ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
al-mālu wal-banụna zīnatul-ḥayātid-dun-yā, wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khairun ‘inda rabbika ṡawābaw wa khairun amalā
46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Tafsir :
Pada ayat ini Allah mengingatkan bahwa di antara perhiasan kehidupan dunia yang menjadikan manusia berbangga-bangga dan memperebutkan masalah dunia adalah harta dan anak-anak (laki-laki). Dipilih penyebutan anak laki-laki, karena konteks pada ayat sebelumnya menyebutkan tentang gambaran perumpamaan kehidupan dunia. Perumpamaan tersebut ditujukan kepada manusia, terutama kepada kaum musyrikin Arab. Rasulullah diperintahkan untuk memberikan perumpamaan tentang kenyataan dan hakekat dunia yang sesungguhnya kepada kaum musyrikin Arab, di mana perumpamaan tersebut juga bermanfaat kepada kaum mukminin. Akan tetapi asalnya adalah untuk kaum musyrikin arab([1]). Mereka tidak suka dengan anak-anak perempuan. Jika istri-istri mereka melahirkan seorang anak perempuan maka mereka membunuhnya. Anak laki-lakilah yang menjadi sumber kebanggaan, apalagi pada zaman dahulu mereka banyaknya anak-anak laki-laki merupakan simbol kekuatan. Seperti yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang dua orang -seorang muslim dan yang lain kafir-. Kemudian orang yang kafir berkata:
أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا
“Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat.” (QS. Al-Kahfi: 34)
Dan di antara pengikut yang dimaksud adalah anak-anak laki-lakinya. Harta memang tidak diragukan lagi merupakan perhiasan. Orang yang mempunyai harta, maka dia akan merasakan kenyamanan. Dengan hartanya, apapun kemauannya akan dapat dengan mudah terpenuhi. Apalagi, jika anak-anaknya banyak, maka dia akan merasa bangga bahwa dia telah mempunyai harta dan anak yang banyak.
Penulis memiliki seorang kawan di suatu daerah yang merupakan tiga belas bersaudara dan semuanya adalah laki-laki. Dia bercerita bahwa apabila ada orang yang ingin berkelahi dengan keluarganya, dia harus mikir-mikir. Karena, jika salah satu dari mereka dipukul, maka saudara-saudaranya yang lain akan rame-rame membalasnya dan telak saja akan menjadi masalah besar. Hal ini menunjukkan bahwa anak laki-laki yang banyak menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi seseorang dan menjadi hal yang dicemburui bagi sebagian orang. Maka dari itulah, Allah menyebutkannya secara khusus pada ayat ini.
Kenapa Allah mendahulukan harta daripada anak-anak? Karena yang terpenting adalah harta. Percuma, seseorang memiliki banyak anak, namun tidak memiliki harta. Karena hal itu akan semakin merepotkan. Akan tetapi jika dia mempunyai harta yang banyak disertai dengan anak-anak yang banyak, maka hal ini akan menjadi sempurna dalam memiliki perhiasan kehidupan dunia([2]). Allah tidak menafikan bahwa harta dan anak-anak merupakan keindahan, hal ini adalah benar. Maka dari itulah Allah berfirman,
زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“ adalah perhiasan kehidupan dunia.”
Allah menyandarkan kehidupan dengan dunia. الدُّنْيَا secara bahasa memiliki makna dekat. Artinya kehidupan yang dekat (dengan kematian) dan segera selesai.([3])
Setelah membuat perumpamaan yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya, Allah memerintahkan untuk membandingkan dengan firman Allah,
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ
“amal kebajikan yang terus-menerus.”
Banyak perselisihan di kalangan para ahli tafsir ketika menjelaskan tentang maksud ayat di atas. Perselisihan ini sering disebut dengan ikhtilaf tanawwu’, artinya perbedaan secara contoh. Ada yang menafsirkannya dengan shalat lima waktu. Ada juga yang menafsirkan dengan zikir berikut,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ
“Maha suci Allah, segala puji bagi hanya milik Allah, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah, Allah Maha besar, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”([4])
Menurut As-Sa’di, yang benar dari penafsiran tersebut adalah bahwaالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ mencakup amal saleh yang berkaitan dengan hak Allah maupun yang berkaitan dengan hak manusia. Hak-hak Allah sangat banyak; seperti shalat, puasa, shalat malam, membaca Al-Quran dan lain sebagainya. Begitu juga dengan hak-hak manusia; contohnya adalah berbakti kepada orang tua, mengurusi anak-istri, bersedekah atau memberi zakat kepada orang yang fakir. Dan semua bentuk amal saleh adalah الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ, karena dia akan tersisa di akhirat. Adapun harta dan anak-anak maka semua itu akan sirna. Harta yang kita kumpulkan di dunia, tidak akan dibawa menuju akhirat. Akan tetapi, yang tersisa di kuburan, padang mahsyar dan hari kiamat kelak adalah الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ, yaitu amalan yang mencakup hak-hak Allah dan hak-hak manusia.([5])
Maka dari itu, penulis sering kali memberikan nasihat; janganlah seorang muslim bengong, hendaknya dia memiliki kegiatan. Para ulama salaf tidak menyukai orang-orang yang bengong atupun tidak memiliki kegiatan. Karena ketika seseorang tidak memiliki kegiatan, akhirnya dia bermain gadget. Meskipun dia dalam keadaan tidak ada aktifitas, hendaknya disertai dengan zikir. Karena apa yang kita ucapkan dari zikir itu merupakan الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ. Seandainya lisan kita diam, hendaknya kita merenungkan tentang keagungan Allah,
رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Wahai Rabb-ku, tidak mungkin Engkau menciptakan ini semua hanya sekedar main-main dan sia-sia, pasti ada hikmahnya. Ini juga termasuk ibadah. Pokoknya, jika kita ingin mengumpulkan الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ, jangan sampai bengong dan tidak memiliki kegiatan sama sekali. Contohnya yang lain adalah berbakti kepada orang tua atau meneleponnya, membuat kue untuk tetangga, bersikap ramah terhadap setiap orang (apalagi ketika di masjid), menyapanya dan bersalaman dengannya, itu semua merupakan bentuk الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ. Seseorang bisa saja membaca Al-Quran, mendirikan shalat malam, memberikan senyuman atau pijitan kepada istri dan seterusnya, memberikan pelukan kepada anak, bercanda dan mengobrol dengan anak, karena anak punya hak atas orang tua untuk diajak berkomunikasi, jika anaknya yang masih kecil ingin naik di atas pundak orang tuanya, hendaknya dia biarkan, karena itu merupakan diantara bentuk الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ jika diniatkan ikhlash karena Allah.
Menurut sebagian ulama adalah susunan lafaz yang benar seharusnya adalah,
وَالصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ
“amal-amal saleh yang tersisa.”
Karena seharusnya, jika sesuai dengan urutan kalimat yang benar adalah amal saleh yang tersisa, bukan yang tersisa amal saleh. Disamping itu, di dalam kaidah bahasa arab الْبَاقِيَاتُ memiliki kedudukan sebagai الوَصْفُ ‘sifat’. Sedangkan الصَّالِحَاتُadalah المَوْصُوف ‘yang disifati’.
الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ
mausuf sifat
Jadi, kedudukan mausuf harus didahulukan, lalu kedudukan sifat disebutkan setelahnya. Seperti orang yang mengatakan orang yang tinggi. Orang memiliki kedudukan sebagai ‘yang disifati’. Sedangkan yang tinggi adalah ‘sifat’.
Orang yang tinggi
yang disifati sifat
Jadi, tidak bisa dikatakan “tinggi yang orang”. Karena sebab itulah seharusnya disebutkan dengan الصَّالِحَاتُ الْبَاقِيَاتُ. Akan tetapi, menurut sebagian ulama, di dalam ayat ini Allah menyebutkannya dengan mendahulukan الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ untuk menjelaskan dan menekankan bahwa dunia itu sirna sehingga kata الْبَاقِيَاتُ “yang tersisa” didahulukan.([6])
Maka, ayat ini menunjukkan bahwa perhiasan dunia akan sirna dari beberapa sisi:
- الْحَيَاة (kehidupan) disandarkan kepada الدُّنْيَا (dekat), artinya kehidupan yang dekat. Ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia akan sirna, kehidupan yang dekat akan segera berakhir.
- Setelah lafaz الْحَيَاةِ الدُّنْيَا langsung disebutkan setelahnya الْبَاقِيَاتُ (yang tersisa). Maka kelazimannya adalah sebelum lafaz الْبَاقِيَاتُ merupakan sesuatu yang tidak tersisa. Artinya ketika Allah berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”
Ini merupakan sesuatu yang akan sirna dan tidak tersisa. Sedangkan yang tersisa hanyalah
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ
“amal kebajikan yang terus-menerus.”
Dan benar apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah,
يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ: يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Mayat akan diikuti oleh tiga perkara, dua diantaranya akan kembali dan satu yang akan tetap bersamanya: keluarga, harta dan amalnya akan mengikutinya. Namun, harta dan keluarganya akan kembali dan yang tersisa adalah amalnya (baik ataupun buruk akan tetap bersamanya).”([7])
Oleh karena itu, jenazah jika sudah sampai di tempat pemakaman. Banyak yang akan mengantarkannya; di antaranya hartanya, mobilnya, budak yang dimilikinya, keluarganya, istri-istrinya, anak-anaknya, kerabatnya -hingga membuat pemakaman tersebut menjadi ramai- dan diikuti pula oleh amalnya. Begitu jenazah dikubur maka yang tertinggal bersamanya hanya amalnya saja. Sedangkan istri, anak-anak dan keluarganya, mobilnya, budak-budaknya meninggalkannya. Tidak ada yang menemaninya, bahkan istrinya, tidak ada yang menemani mayat tersebut, kecuali hanya amalnya saja. Mungkin saja ketika seseorang meninggal, lalu istrinya menikah lagi dengan laki-laki lain. Apalagi, jika usianya masih muda. Begitu juga halnya, jika yang meninggal dunia adalah seorang wanita. Maka, suaminya, anak dan keluarganya akan mengikutinya dan menangisinya. Setelah selesai, maka suaminya akan menikah lagi. Bahkan, terkadang istrinya belum meninggal duniapun suaminya sudah menikah lagi, apalagi jika sudah meninggal dunia.
Oleh karenanya, janganlah pernah menyia-nyiakan seluruh detik-detik dari waktu kita dan hendaknya selalu berusaha untuk memanfaatkan waktu tersebut. Jangan sampai waktu itu habis sia-sia kecuali untuk الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ. Pokoknya tidak ada detik yang tidak bermanfaat, entah dengan menyenangkan orang lain, berkata-kata baik, memberikan kegembiraan di hati orang lain, menelepon orang tua, bersedekah, membaca Al-Quran ataupun membaca buku agama.
- Allah menyandarkan الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ kepada عِنْدَ رَبِّكَ (disisi Rabb-mu). Dan kita tahu bahwa,
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96)
Ini semua menunjukkan bahwa الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ adalah yang tersisa dan الْحَيَاة الدُّنْيَا akan sirna.
خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Ini merupakan sebuah perbandingan bahwa الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ lebih baik dari harta dan anak-anak. Jelas hal ini lebih baik, sebagaimana dikatakan oleh para ulama bahwa hal itu disebabkan karena beberapa hal:
Yang pertama
الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ pasti didapatkan jika dicari. Namun, jika yang dicari harta dan anak-anak, belum pasti didapatkan. Betapa banyak orang yang bekerja keras, namun tetap saja miskin dan tidak mendapatkan harta. Akan tetapi, jika seseorang bekerja keras untuk shalat, zikir dengan ikhlas maka pasti akan mendapatkan pahala.
Yang kedua, kenikmatan atau pahalanya yang abadi. Sedangkan kenikmatan dari kehidupan dunia bersifat sementara.
Yang ketiga, memiliki kenikmatan yang sempurna. Sedangkan kenikmatan dunia terkadang membawa masalah. Seperti misalnya orang yang mempunyai anak yang banyak atau memiliki harta banyak, terkadang malah membuat masalah. Di sisi lain, dia merasa senang. Akan tetapi, pada sisi yang lain dia merasa khawatir, karena hartanya membutuhkan penjagaan atau ketika mendengar perubahan ekonomi yang tidak stabil, dia malah menjadi gelisah dan lain sebagainya. Maka, Maha Benar Allah yang telah berfirman,
خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Jika kita ingin berharap dengan sesuatu yang lebih baik, maka berharaplah pahala di sisi Allah dengan الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ.
Perbandingan الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ dengan الْحَيَاةِ الدُّنْيَا :
NO | الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ | الْحَيَاةِ الدُّنْيَا |
1 | Pasti didapatkan di akhirat jika dicari | Belum tentu didapatkan jika dicari |
2 | Kenikmatan atau pahalanya abadi | Kenikmatannya sementara |
3 | Kenikmatannya sempurna | Kenikmatannya terkadang membuat masalah |
_______________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 10/413
([2]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 15/333
([3]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 15/331
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 10/414