4. وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًا
wa yunżirallażīna qāluttakhażallāhu waladā
4. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak”.
Tafsir :
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan kembali tujuan diturunkannya Al-Quran yaitu untuk memberi peringatan secara khusus kepada orang-orang kafir yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai anak([1]). Mereka adalah 3 kelompok:
- Yahudi, yang mengatakan ‘Uzair putra Allah.
- Nasrani, yang mengatakan ‘Isa putra Allah.
- Orang-orang musyrik Arab , yang mengatakan bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah. ([2])
Mereka semua telah melakukan kekufuran yang sangat luar biasa, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan mereka secara khusus.
Pengulangan peringatan secara khusus ini dikarenakan kekafiran ini lebih khusus dari kekafiran yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Kita sudah mengetahui bahwa orang-orang kafir banyak modelnya, di antara orang-orang kafir yang paling besar dosanya adalah mereka yang menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai anak. Inilah sebab Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan mereka secara khusus. Hal ini sesuai kaidah “penyebutan sesuatu yang khusus setelah sesuatu yang umum menunjukkan urgensinya urusan tersebut”. Misalnya jika dikatakan: “Telah datang para ulama dan Prof. Hamka”. Tentunya Prof Hamka termasuk ulama Indonesia, adapun penyebutan secara khusus setelah penyebutan para ulama secara umum maka untuk menunjukkan bahwa hal tersebut sangat penting. Begitu juga dalam ayat ini, menyebutkan tujuan diturunkannya Al-Quran untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang kafir secara umum dan juga memberikan peringatan secara khusus kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai anak.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa perkataan “Allah mempunyai anak” sangat berbahaya dan merupakan kekufuran yang sangat berat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, karenanya Allah menyebutkan secara khusus وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا “dan untuk memperingatkan kepada orang yang berkata, “Allah mengambil seorang anak”.
Renungkanlah, orang-orang Nasrani tidak dikafirkan karena mereka suka membunuh atau suka berzina atau berbuat lalim kepada selain mereka, akan tetapi mereka dikafirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena akidah mereka yang salah, mereka menganggap Allah punya anak. Maka tidak benar pernyataan orang-orang liberal yang mengatakan bahwa “Agama itu yang terpenting adalah akhlaknya yang baik, sehingga seseorang bisa masuk surga walaupun dia beragama Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu, atau Majusi, yang penting akhlaknya baik”. Agama bukan sekedar masalah akhlak, karena akhlak adalah masalah sekunder, dan yang primer adalah bagaimana hubungan seorang hamba dengan tuhannya. Yaitu seorang hamba tidak menyembah kecuali hanya kepada tuhannya, dan tujuan utama diciptakan manusia adalah untuk menyembah Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang Allah firmankan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” QS. Adz-Dzariyat: 56
Hanya Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya yang menjadi tuhan, dan Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan hal tersebut,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” QS. Al-Ikhlas: 1
Oleh karenanya orang-orang Nasrani dikafirkan bukan karena akhlak mereka yang buruk. Karena justru para tokoh agama mereka dikenal dengan orang-orang yang zuhud, rahbaniyyah, tidak mau menikah, dan menjauh dari kesenangan dunia. Tetapi mereka dikafirkan karena keyakinan yang salah tentang Allah subhanahu wa ta’ala.
_______________
Footnote :