5. مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
mā lahum bihī min ‘ilmiw wa lā li`ābā`ihim, kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim, iy yaqụlụna illā każibā
5. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.
Tafsir :
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya mereka tidak punya ilmu sedikitpun tentang hal tersebut (yaitu dalam pernyataan Allah punya anak) begitu juga nenek moyang mereka, semuanya tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.
Sebagian ulama berpendapat lain tentang maksud dari بِهِ “tentang hal itu”. Mereka (diantaranya Al-Alusy) mengatakan bahwasanya yang dimaksud dengan “hal itu” adalah disebabkan mereka tidak mengetahui tentang sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, mereka pun tidak mengetahui apa yang boleh bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan apa yang haram bagi Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga dengan beraninya mereka pun mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki anak([1]). Jika kita bertanya kepada mereka, pasti mereka akan menjawab bahwa hal tersebut mereka dapatkan dari nenek moyang mereka, maka dalam ayat ini juga Allah subhanahu wa ta’ala membantah mereka bahwasanya mereka tidak memiliki ilmu dan nenek moyang mereka juga tidak memiliki ilmu tentang hal itu. Sejatinya yang mereka lakukan hanya fanatik buta, jika seseorang tidak memiliki ilmu maka mestinya jangan menyangka bahwa nenek moyangnya memiliki ilmu, ini adalah perilaku yang salah. Tidak jarang kita menemukan orang tidak memiliki ilmu, ia melakukan atau mengutarakan pendapat, kemudian berdalil bahwa itu dari nenek moyangnya, seakan-akan nenek moyangnya pasti memiliki ilmu, padahal ternyata tidaklah demikian.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
“Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.”
Di sini Allah subhanahu wa ta’ala menyifati bahwasanya perkataan mereka sangat buruk, yaitu perkataan mereka bahwasanya Allah subhanahu memiliki anak. Sebagian ulama menjelaskan, mengapa kalimat tersebut sangat buruk? Jawabannya adalah karena terkadang banyak hal-hal yang terlintas dalam benak manusia, namun mereka tidak sampai mengucapkannya. Seperti seseorang yang berburuk sangka kepada Allah, namun dia berusaha menyingkirkan pikiran buruk tersebut dari benaknya dan tidak sampai mengungkapkannya, apalagi sempat berpikir Allah memiliki anak, karena hal ini tidak akan terbetik dalam benak manusia. Tetapi faktanya perkara yang sangat berat tersebut berani diucapkan oleh orang-orang Nasrani, bahkan mereka sampai meyakininya, karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan “Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka”, artinya banyak perkara buruk dalam benak manusia namun tidak mereka ungkapkan, dan ternyata yang perkara sangat buruk ini dengan beraninya diungkapkan oleh orang-orang Nasrani, mereka tidak mengucapkannya kecuali hanya kedustaan.
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya banyak orang-orang Nasrani yang jahil/bodoh. Mereka menerima keyakinan ini dari nenek moyang mereka, yaitu dalam hal Allah memiliki anak. Padahal dahulu nenek moyang mereka banyak berselisih pendapat, mereka juga tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Karenanya Ibnu Taimiyyah berkata tentang mereka “Sungguh aneh orang-orang Nasrani, mereka meyakini sesuatu yang mereka tahu bahwasanya mereka tidak mengerti hakikat sesuatu tersebut”.
Karenanya jika kita kumpulkan sepuluh orang Nasrani saja untuk menjelaskan apa maksud “Isa adalah anak Allah”? Maka mereka semua akan berselisih, bahkan bisa sampai menghasilkan sebelas pendapat, padahal jumlah mereka sepuluh. Ini disebabkan karena mereka tidak memahami apa yang mereka katakan. Bahkan mereka sendiri mengakui bahwa hal tersebut adalah sebuah keimanan yang tidak bisa dijelaskan, oleh karenanya mereka tidak pernah bisa menjelaskan keterkaitan antara Isa dengan Allah atau keterkaitan antara ruhul qudus dengan Allah.
Ibnu Taimiyyah menyebutkan keanehan mereka lagi, yaitu bahwasanya mereka sendiri mengakui bahwa keyakinan tersebut tidak bisa dipikirkan, mereka tidak bisa menjelaskannya secara logis, namun mereka tetap mengucapkannya, meyakininya, bahkan mereka rela berperang dan mempertaruhkan nyawa untuk membela keyakinan yang tidak mereka pahami tersebut. Oleh karenanya wajar jika Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan الضَّالِّيْنَ ”orang-orang yang sesat”. ([2])
________________
Footnote :
([2]) Lihat: Al-Jawaabus Shohiih Liman Baddala Diinal Masiih 2/166