17. ۞ وَتَرَى ٱلشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَٰوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ ٱلْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ ٱلشِّمَالِ وَهُمْ فِى فَجْوَةٍ مِّنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ۗ مَن يَهْدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلْمُهْتَدِ ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
wa tarasy-syamsa iżā ṭala’at tazāwaru ‘ang kahfihim żātal-yamīni wa iżā garabat taqriḍuhum żātasy-syimāli wa hum fī fajwatim min-h, żālika min āyātillāh, may yahdillāhu fa huwal-muhtadi wa may yuḍlil fa lan tajida lahụ waliyyam mursyidā
17. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Tafsir :
Allah sediakan tempat bagi mereka di gua tersebut dengan sebaik-baiknya, sebagaimana Allah janjikan di ayat sebelumnya:
يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ
“….niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu”, walaupun Allah sediakan tempat berupa gua yang kecil (bukan tempat yang luas) namun ketika Allah meliputi mereka dengan Rahmat-Nya niscaya mereka akan nyaman di dalamnya. Oleh karena itu perlu diingat bahwa kenyamanan tidaklah identik dengan rumah yang besar, memang benar Nabi ﷺ telah bersabda:
“أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ…”
“Empat perkara termasuk kebahagiaan: istri yang shalihah, rumah yang luas, tetangga yang shalih dan kendaraan yang nyaman…”([1]),
Dalam hadits ini disebutkan bahwa di antara kebahagiaan adalah rumah yang luas, akan tetapi luasnya rumah tidak mesti mendatangkan kebahagiaan. Rumah Nabi ﷺ sendiri tidak luas, kurang lebih hanya sekitar 4m x 6m atau 4m x 7m yang artinya tidak luas, sekalipun demikian ada kebahagiaan di sana. Begitu pula para Ashabul-kahfi yang tinggal di dalam gua yang normalnya bukanlah tempat yang luas dan mereka berjumlah tujuh orang, namun Allah menurunkan Rahmat-Nya di sana. Demikian pula sebagian kaum muslimin yang barangkali rumahnya sempit, maka yang terpenting adalah bertakwa kepada Allah di dalamnya, sehingga walaupun rumahnya sempit niscaya Allah akan berikan Rahmat-Nya dan kebahagiaan.
Allah pun bercerita tentang keajaiban-keajaiban yang Allah munculkan di dalam gua tersebut, dimana para Ashabul-kahfi tersebut memasuki gua dalam kondisi takut, karena mereka lari dari kejaran Raja dan para anak buahnya. Nyatanya mereka pun hanya anak-anak muda yang menyelisih keyakinan penduduk di negeri mereka. Mereka pun masuk ke dalam gua dan tertidur. Subhanallah, Allah buat mereka tidur lelap di dalam gua tersebut. Lalu gua itupun dijaga oleh Allah, sebagaimana dalam ayat-Nya:
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ
“Dan engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan”, yakni tidak memasuki gua tersebut. Terdapat beberapa pendapat para ulama terkait penafsiran ayat ini:
Pertama, mulut gua tersebut menghadap ke arah Utara. Oleh karena itu ketika matahari terbit maka cahayanya akan condong dari sebelah kanan dan jika matahari terbenam di sebelah Barat maka cahayanya akan condong ke sebelah kiri, hal ini dikarenakan mulut gua tersebut menghadap ke arah Utara.
Kedua, sebenarnya sinar matahari masuk ke mulut gua, hanya saja Allah belokkan cahaya matahari tersebut ketika matahari terbit menjadi ke sebelah kanan dan ketika terbenam dibelokkan ke sebelah kiri, oleh karena itu Allah katakan:
ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
“…Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah”,
Hal tersebut bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan Allah yang menjadikan demikian. Inilah pendapat yang lebih kuat, begitu pula ketika terbenam:
وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ
“…dan apabila matahari itu terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri mereka”,
Allah belokkan cahaya matahari, Allah Maha Mampu untuk melakukan hal tersebut. Demikian pula pada bagian kedua ini, terdapat dua pendapat para ulama pada kalimat:
تَقْرِضُهُمْ
Yakni Allah potong sebagian cahayanya agar sebagian cahaya masuk ke dalam gua, karena jika tidak terdapat cahaya sama sekali di dalam gua tersebut niscaya menjadi tidak bagus dan pengap. Sehingga Allah berikan sedikit cahaya ketika matahari akan terbenam, walaupun memang terjadi khilaf di antara para Ulama Tafsir tentang hal ini. Intinya Allah menyatakan bahwa hal ini termasuk tanda-tanda (kebesaran) Allah ta’ala. Sebagian ulama ada yang menyatakan sinar matahari tidak masuk sama sekali dan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa sebagian sinar matahari tersebut masuk tatkala terbenam agar tetap menjaga kesegaran udara dan kestabilan kondisi di dalam gua tersebut. ([2])
Kemudian Allah berfirman:
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
“…barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya”.
Para ulama menjelaskan bahwa penghujung ayat ini merupakan bantahan atas orang-orang Qadariyyah. Maknanya adalah bahwasanya tujuh orang ini dari sekian ribu penduduk negeri tersebut Allah beri hidayah dan petunjuk kepada mereka. Adapun aliran Qadariyyah tidak berpendapat demikian, mereka menggunakan akal, sehingga mereka menganalogikan perkara bahwasanya Allah tidak menolong seorang pun dari makhluk-Nya, tetapi Allah membiarkan mereka untuk berjalan sendiri bagaikan seseorang yang menciptakan robot-robot dengan model yang sama, dengan baterai yang sama, lalu diaktifkan dan robot-robot tersebut akan berjalan sendiri tanpa ada bantuan lagi dari sang pencipta, kemudian robot-robot tersebut berbeda-beda, sehingga sebagian robot ada yang jalan ke kanan, sebagian lagi jalan lurus, dan itu semua di luar kendali sang pembuat robot.
Ibarat seorang ayah yang memiliki dua orang anak yang sama-sama dididik, lalu keduanya diberikan pedang, yang satu menjadi mujahid, sedangkan yang lainnya menjadi perampok. Bapak kedua anak tersebut tidaklah memiliki andil dalam mengatur kedua anak tersebut, demikian pula mazhab Qadariyyah, mereka meyakini bahwasanya Allah tidaklah memberikan hidayah kepada seseorang, tetapi ia mendapatkan hidayah dengan sendirinya. Ini adalah pendapat yang tidak benar. Yang benar adalah jika Allah menghendaki seseorang untuk mendapat petunjuk, niscaya Allah yang akan memudahkannya untuk mendapat petunjuk.
Adapun bantahan secara logika kepada mereka: jikalau robot-robot tersebut yang bentuknya sama dan baterainya sama, maka mestinya jalannya pun akan sama. Tidak mungkin satunya berjalan ke kanan sedangkan yang lainnya berjalan ke arah kiri, jika salah satunya belok ke kanan, maka itu menandakan ada pembedaan dan ketidaksamaan pada robot-robot tersebut, yang menyebabkan salah satunya belok ke kanan sedangkan yang lainnya belok ke kiri. Kalau semuanya sama persis maka seharusnya jalannya pun sama. Kecuali ada faktor eksternal yang menjadikan robot-robot tersebut bisa berbeda output.
Intinya adalah tujuh orang tersebut adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dari sekian ribu penduduk negeri tersebut merekalah yang mendapatkan hidayah. Sehingga seseorang mengetahui bahwa ia memiliki pilihan dan dia memiliki akal untuk menilai, namun jika Allah tidak memberikan hidayah, maka ia tidak akan mendapatkan hidayah tersebut. Oleh karena itu jika seseorang mendapatkan hidayah maka hendaknya bersyukur kepada Allah Ta’ala.
Penulis sering mengungkapkan bahwasanya hidayah tidaklah berbanding lurus dengan akal dan dengan kecerdasan. Sungguh betapa banyak orang yang memiliki kecerdasan luar biasa akan tetapi mereka melakukan kesyirikan. Lihatlah orang-orang Jepang yang cerdas luar biasa akan tetapi mereka menyembah matahari dan banyak di antara mereka yang melakukan bunuh diri dengan menabrakkan diri kepada kereta api dan lainnya. Lihatlah orang-orang India yang juga cerdas luar biasa akan tetapi mereka menyembah sapi, monyet, bahkan tikus. Mereka menyembah hewan yang hakikatnya lebih rendah dari diri mereka sendiri, bahkan ada di antara mereka yang menyembah banyak hewan. Sampai-sampai ada yang mengatakan jumlah tuhan mereka lebih banyak daripada jumlah penduduk mereka sendiri di negeri tersebut. Hal tersebut karena mereka meyakini banyaknya hewan-hewan yang mereka anggap sebagai titisan dewa. Di manakah akal mereka?!
Demikian pula sebagian kaum muslimin yang pergi ke kuburan dan meminta kepada penghuni kubur, padahal itu adalah mayit yang tidak bisa melakukan apa-apa, logika bagaimana yang membuat mereka meminta kepada penghuni kubur tersebut? Demikianlah jika syirik sudah merajalela dan syetan sudah membisikkan, logika menjadi tidak berjalan, sehingga orang pun meminta kepada mayit. Lihatlah para penyembah berhala, sebagian mereka adalah orang-orang yang memahat berhala tersebut dan mereka pula yang mengangkatnya dan membawanya, lalu mereka berikan sesaji pada berhala tersebut, padahal berhala tersebut tidak makan, namun tetap diberi sesajian, maka dimanakah akal orang-orang tersebut?
Oleh karena itu hidayah itu pemberian dari Allah dan itu bukanlah semata karena kecerdasan seseorang, jikalau kecerdasan berbanding lurus dengan hidayah, maka mestinya semakin cerdas seseorang maka akan semakin banyak hidayah yang ia dapatkan. Tetapi faktanya tidaklah demikian.
Para Ashabul-kahfi tersebut adalah anak-anak muda yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada mereka dan ini sekaligus bantahan kepada Qadariyyah yang menyatakan bahwa seseorang bisa mendapatkan petunjuk walaupun tanpa diberi oleh Allah Ta’ala, Allah berfirman:
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ
“…barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk…“
________________
Footnote :
([1]) HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya: no 4032 dan Syaikh Al-Arna`uth berkata: sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari.
([2]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 10/ 369 dan tafsir Ibnu Katsir: 5/ 142-143.