9. أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا
am ḥasibta anna aṣ-ḥābal-kahfi war-raqīmi kānụ min āyātinā ‘ajabā
9. Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?
Tafsir :
“Orang-orang yang mendiami gua” yakni para pemuda pada ayat-ayat sebelumnya yang tinggal di dalam gua, sedangkan makna dari اْلكَهْف adalah:
الْغَارُ الْمُتَّسَعُ
Yang maknanya adalah “gua yang luas dan lapang”. ([1])
Adapun makna dari kata الرَّقِيْمُ adalah:
الكِتَابَةُ أو الشَّيْءُ الْمَكْتُوْبُ
Maknanya adalah “tulisan atau sesuatu yang tertulis”. Sehingga para ulama Ahli Tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan kalimat ini:
Pertama, buku yang mereka bawa, yang berisi ajaran-ajaran agama yang mereka bawa dan dijadikan panutan dan pegangan.
Kedua, catatan yang mereka tulis tentang diri mereka dan perjalanan mereka.
Ketiga, prasasti yang dibuat ketika mereka telah meninggal, yaitu dibuatkan prasasti di dekat kuburan mereka yang menjelaskan kisah mereka.
Inilah khilaf para ulama tentang makna “Ar-Raqiim” tersebut, yang intinya adalah tulisan. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa “Ar-Raqiim” adalah nama gunung tempat gua tersebut berada. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa “Ar-Raqiim” adalah nama lembah di tempat gua tersebut berada. Namun makna “Ar-Raqiim” yang lebih tepat adalah suatu catatan, sedangkan ‘apakah wujud catatan tersebut?’ maka Allahu a’lam, tidak ada penjelasan tentang hal tersebut dengan dalil yang tegas. ([2])
Allah berfirman:
كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
“…mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan”.
Maksud dari tanda kekuasan ini adalah: Ketika orang-orang Quraisy yang meminta petunjuk kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi mengarahkan agar mereka bertanya kepada Muhammad ﷺ tentang tiga pertanyaan teka-teki dan di antara pertanyaan tersebut adalah tentang kisah Ashabul-Kahf. Karenanya, ini adalah kisah yang menakjubkan dan kenyataannya demikian, namun maksud dari ayat ini adalah penetapan bahwa kisah ini memang menakjubkan akan tetapi yang lebih menakjubkan dari ini lebih banyak lagi. Itulah maksud dari ayat ini bahwa yang lebih menakjubkan daripada ini masih lebih banyak lagi, seperti perkara Nabi Muhammad ﷺ didatangi oleh Jibril adalah sesuatu yang menakjubkan. Jika kalian bisa beriman kepada Muhammad ketika ia menceritakan tentang kisah “Ashabul-kahfi” maka tidakkah kalian bisa beriman kepada tanda-tandaKu yang lain? Maka pada ayat ini terdapat celaan kepada orang-orang kafir Quraisy, tanda-tanda nyata yang menunjukkan Kebesaran Allah dan tanda-tanda yang menunjukkan Rububiyyah Allah amatlah banyak. Bukankah matahari yang berjalan pada edarannya dan rembulan yang juga berjalan pada edarannya. Bagaimana bumi yang diciptakan dengan luar biasa([3]). Bagaimana mungkin setetes air mani kemudian bisa menjadi manusia. Bagaimana Muhammad ﷺ mengetahui hal yang ghaib. Bagaimana Al-Quran itu turun dan kefasihannya dan “balaghah” yang terkandung di dalamnya. Sungguh terlalu banyak keajaiban-keajaiban yang telah Allah beritahukan sebagai tanda-tanda keagungan Allah Ta’ala. Namun lantas kalian hanya beriman tentang kisah ini yang menyebutkan tentang tujuh orang yang tertidur selama tiga ratus tahun? Maka manakah yang lebih menakjubkan; kisah tersebut atau penciptaan setetes mani yang kemudian bisa menjadi manusia? Maka tentu saja penciptaan manusia dari setetes mani lebih menakjubkan. Sesuatu yang awalnya hanyalah mani, lalu menjadi darah, lalu ada dagingnya dan tulangnya, lalu menjadi manusia yang sempurna. Maka tentu saja penciptaan manusia lebih menakjubkan.
Maka maksud dari ayat ini adalah: “Apakah hanya kisah ashabul-kahfi ini saja yang menakjubkan? Sesungguhnya masih banyak hal-hal yang lain yang lebih menakjubkan, akan tetapi Allah tetap menceritakannya, karena itu juga sebagai jawaban atas teka-teki yang ditanyakan orang-orang Yahudi kepada Nabi ﷺ.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 10/ 356.
([2]) Lihat Ath-Thabari: 17/ 602-604 dan Tafsir Al-Qurthubi: 10/ 356-358.
([3]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 5/ 138 dan Tafsir Al-Qurthubi: 10/ 358.