- ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ
al-ḥamdu lillāhillażī anzala ‘alā ‘abdihil-kitāba wa lam yaj’al lahụ ‘iwajā
1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.
Tafsir :
Pada firman Allah subhanahu wa ta’ala الْحَمْدُ لِلَّهِ “Segala puji bagi Allah” maka di sini adalah untuk الاسْتِحْقَاق ([1]) yang artinya segala pujian yang berhak mendapatkannya hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala (secara hakikat), karena Allah subhanahu wa ta’ala yang dipuji karena dzat-Nya, kesempurnaan-Nya, keagungan-Nya, dan banyak nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Karenanya seseorang ketika talbiah mengucapkan,
إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ
“Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu” ([2])
Adapun manusia dan makhluk Allah lainnya maka mereka dipuji bukan karena dzatnya, akan tetapi dikarenakan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kepadanya kelebihan dan keutamaan sehingga dia dipuji. Seandainya Allah subhanahu wa ta’ala mencabut kenikmatan tersebut darinya maka tidak ada manusia yang akan memujinya. Ini semua menunjukkan bahwasanya yang berhak dipuji secara dzatnya hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman الْحَمْدُ لِلَّهِ “Segala puji bagi Allah”. Selain itu kita tidak akan mampu untuk memuji Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana mestinya, karena keindahan Allah subhanahu wa ta’ala jauh dari apa yang bisa kita bayangkan dan yang kita pikirkan. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam doa beliau,
«اللهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ»
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan keridlaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan aku berlindung dengan maaf-Mu dari siksaan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari (adzab)-Mu, aku tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu sebagaimana mestinya, Engkau sebagaimana Engkau memuji pada diri-Mu.” ([3])
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ
“yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya.”
Maksud dari الْكِتَابَ adalah Al-Quran([4]), dan maksud dari عَلَى عَبْدِهِ “kepada hamba-Nya” adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam([5]), dan dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala dipuji karena dua hal:
Pertama: karena sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang maha agung.
Kedua: karena nikmat-nikmat dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat banyak dan tidak terhitung. Di antara nikmat-nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada kita semua adalah Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Quran kepada hamba-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam([6]).
[ Dibalik Ungkapan ‘Hamba’ ]
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengatakan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى رَسُوْلِهِ الْكِتَابَ
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada Rasul-Nya”
Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala memilih dengan lafal “hamba”,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya”
Para ulama menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan diturunkannya Al-Quran, maka dia menjadi seorang rasul, akan tetapi jangan lupa bahwa beliau adalah hamba-Nya. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Quran banyak memuji dengan penyebutan “hamba”, seperti yang ada pada ayat ini, kemudian di awal Surah Al-Isra,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Isra: 1
Dan juga firman-Nya,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” QS. Al-Baqoroh: 23
Serta ayat-ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal “hamba”. Ini dikarenakan dua hal:
Pertama: untuk menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencapai derajat ‘Ubudiyyah atau penyembahan yang tertinggi dan tidak ada yang beribadah seperti ibadahnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan dalam satu riwayat tentang ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَتَّى تَتَوَرَّمَ قَدَمَاهُ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat hingga bengkak kedua telapak kakinya.” ([7])
Dalam riwayat lain disebutkan,
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ
“Bahwa Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam hingga pecah-pecah kedua telapak kakinya.” ([8])
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melakukan shalat malam, pada raka’at pertama beliau membaca surah Al-Baqarah, Ali Imran, dan An-Nisa’. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hudzaifah,
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ، ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ: يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ، فَمَضَى، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ بِهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ، فَقَرَأَهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ، فَقَرَأَهَا، يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا، إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ، وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ، وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
“Pada suatu malam, aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau memulai dengan membaca Surah Al Baqarah (setelah Al Fatihah). Dalam hati aku berkata, “(Mungkin) beliau akan rukuk setelah sampai seratus ayat,” namun ternyata beliau melanjutkan bacaannya. Dalam hati aku berkata, “(Mungkin) beliau melakukan shalat ini dengan membaca (habis) surat Al Baqarah [(Mungkin) beliau membaca Surah Al-Baqarah ini sampai selesai dalam satu rakaat],” namun beliau melanjutkan dengan membaca Surah An Nisa dan menyelesaikannya, kemudian membaca surat Ali Imran dan menyelesaikannya. Beliau membacanya dengan perlahan. Ketika sampai pada ayat tentang tasbih, maka beliau bertasbih. Ketika sampai pada ayat tentang permohonan, maka beliau memohon. Ketika sampai pada ayat permohonan perlindungan, maka beliau berlindung.” ([9])
Bisa dibayangkan berapa lamanya beliau berdiri dalam satu raka’at, maka siapakah yang mampu melakukan shalat malam seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Demikian juga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa di padang ‘Arafah, beliau mengangkat kedua tangannya, berdoa dari waktu zhuhur hingga waktu maghrib. Maka siapa yang mampu berdoa dengan waktu yang lama seperti itu di bawah terik matahari? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diampuni dosa-dosanya yang akan datang, dan pintu surga tidak akan terbuka kecuali yang mengetuknya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beliau berdoa dari zhuhur hingga maghrib.
Penulis sudah melaksanakan ibadah haji berkali-kali namun penulis tidak mampu untuk berdoa selama itu, baru berdoa satu jam saja permintaan sudah habis, yang kemudian memikirkan permintaan apa lagi yang ingin dimintakan, padahal penulis tidak dijamin masuk surga, tidak terjamin dunianya, dan tidak ada yang terjamin dari diri penulis. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah terjamin seperti itu, beliau tetap luar biasa ibadahnya. Oleh karenanya tidak ada yang akan pernah mencapai tingkatan dalam peribadatan/penyembahan (sebagai bukti sebagai seorang hamba di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala) seperti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah seorang Rasul namun beliau tidak dipuji sebagai seorang rasul saja, akan tetapi beliau juga dipuji sebagai seorang hamba yang ibadahnya sangat luar biasa.
Kedua: untuk membantah orang-orang yang berlebihan kepada Isa bin Maryam alaihis salam, yaitu ketika orang-orang Nasrani mengangkat kedudukan Isa bin Maryam seperti tuhan, maka Allah subhanahu wa ta’ala membantah persangkaan mereka tersebut, karena seluruh nabi adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas, dia mendengar ‘Umar berkata di atas mimbar, bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ»
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana berlebihannya orang-orang Nasrani kepada Isa bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah (bahwa Muhammad) hamba Allah dan Rasul-Nya.” ([10])
Inilah beberapa faedah mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan lafal “hamba” dan tidak menggunakan lafal “rasul”.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
“dan Dia tidak menjadikannya bengkok”
عِوَجًا artinya kebengkokan, dan di dalam Al-Quran tidak ada kebengkokan sama sekali dan tidak ada kontradiksi sama sekali([11]), berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya yang sudah menyimpang, terlalu banyak kontradiksi dalam kitab-kitab sebelumnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” QS. An-Nisa’: 82
Al-Quran sesuai dengan fashohah dan dengan balaghoh Arab tidak ada kesalahan dalam gramatiknya, sisi nahwunya, sisi shorofnya, balaghoh Al-Quran, dan yang lainnya. Intinya Al-Quran sempurna dari segala sisi. Sehingga mereka tidak memiliki celah untuk mencela Al-Quran Al-Karim, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
“dan Dia tidak menjadikannya (Al-Quran) bengkok”.
________________
Footnote :
([1]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 15/246
([2]) HR. Bukhori no. 1549 dan Muslim no. 1184
([4]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 15/247
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 10/348
([6]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 5/135
([7]) HR. Ad-Daulaby dalam kitabnya Al-Kuna wal Asma’ no. 1114, dan dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitabnya Aniis As-Saary (Takhriij Ahaadiits Fathul Baary) bahwa sanadnya shohih 10/493-494