Hukum Vaksin Saat Puasa
Sebelumnya penting bagi kita untuk memahami hakikat vaksin. Menurut para pakar, vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit. Kandungan vaksin dapat berupa bakteri atau virus yang telah dilemahkan atau dimatikan, bisa juga berupa bagian dari bakteri atau virus tersebut. Vaksin dapat diberikan dalam bentuk suntikan, tetes minum, atau melalui uap (aerosol).([1])
Sumber lain mendefinisikan bahwa vaksin merupakan antigen (mikroorganisme) yang diinaktivasi atau dilemahkan yang bila diberikan kepada orang yang sehat untuk menimbulkan antibodi spesifik terhadap mikroorganisme tersebut, sehingga bila kemudian terpapar, akan kebal dan tidak terserang penyakit. Bahan dasar membuat vaksin tentu memerlukan mikroorganisme, baik virus maupun bakteri. Menumbuhkan mikroorganisme memerlukan media tumbuh yang disimpan pada suhu tertentu mikroorganisme yang tumbuh kemudian akan dipanen, diinaktivasi, dimurnikan, diformulasi dan kemudian dikemas.([2])
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa vaksin yang diberikan dalam bentuk suntikan, seperti vaksin Covid-19 dan semisalnya maka tidak membatalkan puasa. Hal ini karena vaksin tersebut bukanlah makan atau minum dan tidak bisa dihukumi sebagai aktivitas makan dan minum. Vaksin ini juga tidak masuk ke dalam tubuh melalui rongga makan dan minum.
Dalam fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 pada Saat Berpuasa juga menjelaskan bahwa Vaksin tidaklah membatalkan puasa. Ketua MUI Bidang Fatwa KH. Asrorun Niam Sholeh berkata, “Vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuskular (suntik) tidak membatalkan puasa. Hukum melakukan vaksinasi Covid-19 bagi umat Islam yang sedang berpuasa dengan cara injeksi intramuskular adalah boleh, sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dharar),”([3])
Majma’ al-Fiqhi al-Islami juga menyatakan bahwa di antara hal-hal yang tidak dianggap sebagai pembatal puasa adalah :
الحُقن العلاجية الجلدية أو العضلية أو الوريدية، باستثناء السوائل والحقن المغذية”
“Injeksi (suntikan) dermal, intramuskular (otot) atau intravena (pembuluh darah), kecuali suntikan cairan yang mengandung nutrisi”([4])
Al-Lajnah ad-Daimah juga mengeluarkan fatwa terkait vaksin yang berbunyi sebagai berikut:
يجوز التداوي بالحقن في العضل والوريد للصائم في نهار رمضان، ولا يجوز للصائم تعاطي حقن التغذية في نهار رمضان؛ لأنه في حكم تناول الطعام والشراب، فتعاطي تلك الحقن يعتبر حيلة على الإفطار في رمضان، وإن تيسر تعاطي الحقن في العضل والوريد ليلا فهو أولى ” انتهى
“Dibolehkan berobat dengan suntikan ke otot dan pembuluh darah bagi orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan, dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menyuntikkan suntikan yang mengandung nutrisi di siang hari Ramadhan, karena itu termasuk ke dalam hukum makan dan minum. Penyuntikan nutrisi ke dalam tubuh termasuk bentuk trik untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan. (Meskipun suntik yang tidak mengandung nutrisi tidak membatalkan puasa- pent) namun jika memungkinkan penyuntikan pada otot dan urat di malam hari, maka itu lebih diutamakan.”([5])
Kesimpulan:
- Vaksin yang diberikan melalui suntikan dan tidak mengandung nutrisi tidak membatalkan puasa
- Vaksin yang diberikan dengan cara diminum membatalkan puasa baik mengandung nutrisi maupun tidak karena masuk melalui jalur makan dan minum.
- Vaksin yang diberikan melalui uap jika metodenya sama dengan bukhur maka hukumnya sama, yaitu tidak membatalkan puasa. Namun, jika uap tersebut mengandung nutrisi atau zat-zat lainnya yang dapat memberi pengaruh pada rongga tubuh dan lambung maka membatalkan puasa. Wallahu a’lam.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([1]) Lihat: https://www.alodokter.com/informasi-berbagai-vaksin-covid-19-di-indonesia
([2]) Lihat: https://www.biofarma.co.id/id/researcher/detail/vaksin
([3]) Lihat: https://mui.or.id/berita/29845/fatwa-mui-nomor-13-tahun-2021-vaksinasi-injeksi-tak-membatalkan-puasa/
([4]) Lihat: ketetapan Majma’ al-Fiqhi al-Islami dalam konferensi kesepuluh di Jeddah Arab Saudi periode 23-28 Safar 1418 H bertepatan 28 – Juni – 3 Juli 1997 M
([5]) Lihat: fatawa Lajnah ad-Daimah Li al-Ifta’ (10/252)