Menjaga Keistiqamahan Ibadah Pasca Ramadan
Bulan Ramadan adalah bulan spesial sehingga setiap muslim bersemangat beribadah di dalamnya. Hal tersebut adalah suatu yang wajar, karena Allah ﷻ sendiri telah memberikan banyak janji ganjaran bagi orang-orang yang beramal saleh di dalam bulan Ramadan, bahkan Allah ﷻ mengondisikan bulan tersebut untuk seseorang bisa bersemangat di bulan Ramadan. Akhirnya, banyak orang-orang yang kemudian menyesal apabila tidak bisa mengoptimalkan ibadahnya di bulan Ramadan.
Namun, bagaimana pun banyaknya ibadah seseorang di bulan Ramadan, maka ujian yang sesungguhnya adalah di luar bulan Ramadan, yaitu apakah nuansa ibadah di bulan Ramadan masih bisa dipertahankan di luar bulan Ramadan hingga bertemu Ramadan berikutnya atau tidak.
Apabila Ramadan telah berlalu, setan yang tadinya dibelenggu telah dilepas, tidak ada lagi suara yang menyeru kepada kebaikan, tidak ada lagi seruan untuk berhenti dari maksiat, dan orang-orang sudah mulai bebas bermaksiat. Maka ini merupakan ujian berat yang akan dihadapi oleh setiap muslim setelah bulan Ramadan, sehingga mempengaruhi keisitiqamahannya dalam beribadah pasca bulan Ramadan.
Dahulu, para salaf mencela orang-orang yang hanya beribadah di bulan Ramadan dan meninggalkan ibadah pasca Ramadan. Para salaf dahulu berkata,
بِئْسَ الْقَوُم؛ لَا يَعْرِفُونَ للهِ حَقًّا إِلَّا فِي شَهْرِ رَمَضَان
“Sungguh buruk suatu yang mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya pada bulan Ramadan.” ([1])
Oleh karena itu, pembahasan tentang keistiqamahan pasca bulan Ramadan sangat penting, agar kita tidak termasuk orang-orang yang tercela.
Istiqamah pasca Ramadan
Bukanlah yang dimaksud dengan istiqamah pasca bulan Ramadan adalah beribadah sebagaimana di bulan Ramadan, seperti terus membaca Al-Qur’an 3 juz sehari atau lebih, shalat malam berjam-jam, atau sedekah dengan jumlah tertentu sebagaimana di bulan Ramadan.
Mempertahankan ibadah di luar bulan Ramadan untuk bisa beribadah sebagaimana di bulan Ramadan adalah hal yang sulit, karena sebab-sebab yang membuat kita bisa semangat beribadah di bulan Ramadan tidak ada lagi.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan istiqamah pasca bulan Ramadan adalah bagaimana agar nilai-nilai Ramadan itu tidak hilang, dalam artian ibadah-ibadah tersebut masih berlanjut meskipun tidak 100% sama kuantitas ataupun kualitasnya.
Maka bagaimana agar nilai-nilai Ramadan tidak hilang pasca Ramadan? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar kita bisa istiqamah pasca Ramadan, di antaranya:
- Berdoa kepada Allah ﷻ agar ibadah diterima
Berdoa yang paling penting untuk kita panjatkan adalah memohon agar Allah ﷻ menerima ibadah kita di bulan Ramadan. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail q ketika telah selesai membangun Ka’bah. Allah ﷻ berfirman tentang doa mereka,
﴿وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah: 127)
Sesungguhnya akibat dari diterimanya amal seseorang sangatlah luar biasa. Allah ﷻ berfirman,
﴿إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ﴾
“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)
Artinya, orang-orang yang diterima amalnya merupakan indikasi ketakwaan seseorang, yang di mana hal tersebut merupakan tujuan dari berpuasa di bulan Ramadan sebagaimana yang Allah ﷻ telah firmankan,
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Kita semua tentu ingin agar Allah ﷻ menerima amal-amal kita, maka di antara yang harus kita lakukan adalah berdoa kepada Allah ﷻ. Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif menyebutkan bahwasanya para salaf dahulu berdoa enam bulan lamanya agar ibadah mereka di bulan Ramadan diterima, dan berdoa enam bulan berikutnya agar bisa bertemu dengan bulan Ramadan.([2])
Tidak ada di antara kita yang bisa memastikan amalan kita di bulan Ramadan telah diterima. Ditambah lagi dalam ibadah kita masih banyak kekurangan, puasa kita masih dihiasi dengan mengumbar pandangan, gibah, buang-buang waktu, sedekah yang masih diliputi sikap pelit, dan banyak kekurangan lainnya.
Kita tentunya tidak suuzan kepada Allah, kita tetap harus husnuzan kepada-Nya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita untuk terus berdoa kepada Allah ﷻ agar menerima puasa, bacaan Al-Qur’an, shalat malam, sedekah, dan ibadah-ibadah lainnya yang semuanya tidak lepas dari kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Ketika amal ibadah kita diterima oleh Allah ﷻ dan membuahkan ketakwaan, maka itulah modal yang akan kita bawa 11 bulan ke depan, sehingga kita akan tetap mudah untuk bisa beramal pasca Ramadan.
Sesungguhnya, tanda amal seseorang itu diterima adalah ketika kondisinya jauh lebih baik dari sebelum Ramadan. Ibaratnya seperti mobil yang masuk bengkel, lalu diperbaiki, dan keluar dengan kondisi yang lebih baik. Apabila bengkel tidak bisa memperbaiki mobilnya sehingga kondisinya sama saja atau bahkan menjadi lebih buruk, maka tentu bengkelnya tidak benar. Demikianlah kondisi seseorang yang melewati bulan Ramadan, ibadah-ibadah yang ia tegakkan selama sebulan seharusnya memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, namun jika tidak memberikan perubahan maka ada yang salah dari proses ibadahnya di bulan Ramadan.
Hendaknya kita berdoa kepada Allah ﷻ agar amal kita diterima, sehingga kita masih bisa istiqamah pasca Ramadan.
- Berdoa meminta keistiqamahan
Di antara hal yang penting untuk kita minta kepada Allah ﷻ adalah meminta keistiqamahan. Istiqamah itu adalah karunia dari Allah ﷻ, sehingga tidak ada yang bisa membuat kita bisa istiqamah kecuali Allah ﷻ, maka mintalah kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ telah berfirman,
﴿وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾
“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21)
Doa yang paling agung dalam hal ini adalah apa yang sering kita baca dalam shalat kita, yaitu firman Allah ﷻ,
﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴾
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Pembaca yang budiman, ketika kita shalat dan membaca surah Al-Fatihah hendaknya kita hayati baik-baik makna dari setiap ayat, khususnya ayat di atas. Terkadang karena kita sudah hafal surah Al-Fatihah di luar kepala membuat kita kurang menghayati ketika membacanya. Padahal, kalau seseorang mau merenungi dan menadaburi maka ia akan dapati bahwa surah Al-Fatihah sangatlah luar biasa, dan di dalamnya terdapat doa yang terbaik, karena Allah ﷻ mewajibkan setiap muslim untuk menyebutkannya paling sedikit 17 kali dalam satu hari. Orang yang tidak membacanya dalam setiap shalat maka shalatnya tidak sah.
Firman Allah ﷻ di atas memberikan pengertian bahwa seseorang yang belum diberi petunjuk, agar meminta untuk diberi petunjuk. Apabila ia telah berada di jalan yang lurus, maka maknanya ia meminta kekukuhan untuk bisa terus di jalan lurus tersebut.
Tentunya, kita meminta kepada Allah ﷻ untuk diberi petunjuk sebagaimana Allah ﷻ telah memberi petunjuk kepada para nabi, orang-orang saleh, dan orang-orang yang jujur keimanannya kepada Allah ﷻ. Bukan meminta petunjuk seperti orang-orang Yahudi yang mengetahui kebenaran namun tidak mengamalkannya. Bukan pula seperti orang-orang yang sesar dimana mereka beribadah tanpa ilmu.
Di antara doa lain yang sudah seharusnya kita panjatkan adalah doa yang Nabi Muhammad ﷺ ajarkan,
اللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Ya Allah yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”([3])
Hati kita ini sangat mudah untuk berbalik, tidak lama setelah mengikuti pengajian hati kita bisa kembali kacau, bahkan setelah Ramadan pun hati kita juga bisa kembali kacau. Maka, kita harus meminta kepada Allah ﷻ untuk meneguhkan hati kita, agar meskipun kita kembali menyimpang maka Allah ﷻ akan mengukuhkan hati kita kembali.
Di antara doa lain pula sebagaimana yang Allah ﷻ telah firmankan dalam Al-Qur’an,
﴿رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ﴾
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali ‘Imran: 8)
Sesungguhnya kalau Allah ﷻ telah berkehendak, maka akan sangat mudah bagi seseorang menjadi pribadi yang istiqamah dalam segala bentuk ibadah meskipun bulan Ramadan telah berlalu, tinggal bagaimana seseorang mau memintanya kepada Allah ﷻ dengan kesungguhan serta penuh pengharapan dan rasa takut.
- Selalu berorientasi terhadap akhirat
Orang yang bertakwa itu selalu berorientasi kepada akhirat, seluruh tindak tanduknya berdasarkan kepentingan akhiratnya. Hal-hal yang bersifat duniawi asalnya tidak mengapa, akan tetapi kalau sampai hal tersebut justru membuat seseorang terlena dengan waktunya, sehingga melupakan akhiratnya, maka dikhawatirkan ia akan menjadi orang yang merugi.
Sesungguhnya kita lebih butuh bekal akhirat daripada bekal dunia, karena kehidupan kita di akhirat akan jauh lebih lama daripada kehidupan kita di dunia. Semua perbendaharaan kita di dunia akan ditinggalkan, meskipun yang telah kita kumpulkan sangatlah banyak.
Kita tidak mengatakan bahwa dunia harus ditinggalkan, itu tidak mungkin karena kita sendiri hidup di dunia. Akan tetapi, dunia yang kita miliki ini jangan membuat kita lalai dari akhirat. Harta yang kita miliki harus terus kita infakkan, waktu kita harus dikorbankan untuk banyak zikir, membaca Al-Qur’an, shalat malam, dan yang lainnya. Ketika seluruh tindak tanduk seseorang diukur dengan akhirat maka tentu ia akan terus melakukan ibadah yang berkesinambungan pasca Ramadan, dan ia tetap menjadi orang yang istiqamah.
- Mengamalkan ibadah secara berkesinambungan meskipun sedikit
Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى الله أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang berkesinambungan meskipun sedikit.”([4])
Sesungguhnya kita tidak bisa mengatur amalan mana yang Allah ﷻ harus cintai, tapi Allah ﷻ-lah yang menetapkan ibadah seperti apa yang ia cintai. Tidakkah kita mendengar kisah tiga orang sahabat yang ingin beribadah melebihi ibadah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Salah seorang dari mereka bertekad untuk shalat malam sepanjang malam tanpa tidur, yang lain bertekad untuk berpuasa setiap hari tanpa berbuka, dan yang lainnya bertekad untuk tidak menikah. Meskipun mereka sangat semangat dalam beribadah, namun ternyata mereka ditegur oleh Nabi Muhammad ﷺ. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barang siapa yang benci dengan sunnahku, berarti bukan dari golonganku.”([5])
Maka dari sini kita sadar bahwa yang mengatur ukuran amalan yang dicintai oleh Allah ﷻ adalah Allah ﷻ sendiri, dan di antara tolak ukur Allah ﷻ adalah amalan yang berkesinambungan meskipun sedikit.
Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda,
عَلَيْكُمْ مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ، فَوَاللهِ لَا يَمَلُّ اللهُ حَتَّى تَمَلُّوا، وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
“Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian, karena demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang bosan.”([6])
Seseorang hendaknya beramal dengan amalan yang ia mampu. Setiap orang tentu bisa mengukur sejauh mana kemampuan dirinya masing-masing dalam beribadah, tidak perlu memaksakan untuk mau mengikuti ibadahnya orang-orang saleh terdahulu seperti Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘anhu. Siapakah di antara kita yang mampu beribadah seperti mereka? Tidak ada!
Oleh karenanya syariat mengajarkan kepada kita untuk melakukan ibadah yang sedikit tapi berkesinambungan. Contoh seperti puasa Syawal enam hari, puasa Senin Kamis, puasa ayyamul bidh, atau bahkan puasa Daud, ini semua merupakan ibadah puasa yang berkesinambungan pasca Ramadan.
Contoh lain seperti shalat malam, meskipun kita tidak mampu shalat berjam-jam, maka minimal kita masih shalat malam meski dengan tiga rakaat witir atau bahkan satu rakaat saja. Contoh lain seperti membaca Al-Qur’an, kalau di dalam bulan Ramadan kita bisa khatam sampai beberapa kali, maka setidaknya kita bisa khatam satu kali dalam satu bulan, atau yang paling minimal kita tetap membaca Al-Qur’an setiap hari semampu kita. Hendaknya kita tetap memiliki target untuk khatam Al-Qur’an di luar bulan Ramadan.
Contoh lain seperti sedekah, meskipun tidak sebanyak yang kita keluarkan di bulan Ramadan, setidaknya setiap hari kita masih bisa bersedekah, baik dengan makanan secara langsung atau pun harta, kepada kerabat atau yang lainnya. Dan masih banyak amalan lainnya yang bisa kita tetap lakukan pasca Ramadan.
Di antara cara untuk kita bisa melakukan ibadah secara berkesinambungan ini adalah tidak terlalu sibuk dengan perkara dunia. Sebagian kita di zaman sekarang waktunya habis dengan bermain media sosial, sibuk mengikuti perkembangan politik yang tidak sedikit isinya hoaks, dan yang lainnya. Akhirnya, kesibukan itulah yang membuatnya sulit untuk melanjutkan ibadah-ibadah yang biasa ia kerjakan di bulan Ramadan.
Ingatlah para pembaca yang budiman, waktu kita hidup di dunia tidak lama lagi. Tidak terasa waktu kita semakin sedikit. Seharusnya ini membuat kita sadar untuk memperbanyak bekal kita menuju akhirat dengan amalan yang berkesinambungan. Kita tidak memungkiri bahwa tidak ada di antara kita yang bisa beramal dengan sempurna, namun ibadah yang senantiasa ditegakkan maka tentunya akan menjadi banyak, dan itulah yang akan kita bawa untuk bertemu dengan Allah ﷻ. Tentu tidak lupa kita berharap amalan-amalan kita itu diterima oleh Allah ﷻ.
- Berkumpul dengan orang-orang saleh
Di antara hal yang bisa menjadikan seseorang istiqamah untuk terus beribadah pasca Ramadan adalah dengan tetap berkumpul dengan orang-orang saleh. Apabila di antara kita memiliki komunitas atau kelompok pengajian, maka hendaknya kita menjaga untuk tetap berada di lingkungan mereka, dan jauhi untuk bersendiri dalam istiqamah.
Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”([7])
Artinya, setan itu akan selalu mengintai orang-orang yang menyendiri. Adapun kalau seseorang selalu berkelompok dengan orang-orang saleh, maka setan akan sulit membuatnya futur.
Apabila seseorang senantiasa berkumpul dengan orang-orang saleh, maka tentu ia akan senantiasa mengingat akhirat, dan dengan begitu ibadah-ibadah pun insya Allah akan bisa terus dikerjakan, karena Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.”([8])
Dari sini, kita tentu perlu waspada dengan teman-teman yang tidak saleh dan teman-teman yang orientasinya selalu dunia. Berteman dan berkumpul dengan orang-orang seperti itu tentunya akan membuat kita jauh dari akhirat, bahkan bisa sampai menjadikan kita meninggalkan ibadah-ibadah yang seharusnya kita persiapkan sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah ﷻ.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([1]) Lihat: Lathaif al-Ma’arif, hlm. 222.
([2]) Lihat: Lathaif al-Ma’arif (hlm. 148).
([3]) HR. Bukhari No. 683 dalam al-Adab al-Mufrad (hlm. 237).
([4]) HR. Bukhari No. 6465.
([5]) HR. Bukhari No. 5063.
([6]) HR. Muslim No. 785.
([7]) HR. Abu Daud No. 547, Syekh al-Albani menilai hadits ini hasan.
([8]) HR. Ahmad No. 8417, dan dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bahwa hadits ini sanadnya jayyid.