Pembatal-Pembatal Puasa Kontemporer
Para ulama bersilang pendapat mengenai dhabit (standar) pembatal puasa yang berkaitan dengan makan dan minum. Artinya, apa yang dimaksud dengan makan dan minum yang membatalkan puasa?
Banyak dari para ulama menjadikan dhabit tersebut adalah sampainya makanan atau minuman ke al-jauf (lambung). Setelah itu, mereka kemudian bersilang pendapat kembali apa yang dimaksud dengan al-jauf?
Sebagian para ulama peneliti seperti Ibnu Taimiyah([1]) dan Ibnu Utsaimin([2]) t menetapkan bahwa standar makan dan minum yang membatalkan puasa adalah apa yang disebutkan oleh nas atau apa yang semakna dengan nas tersebut. Makan dan minum merupakan pembatal puasa yang disebutkan secara nas (manshus). Adapun selainnya, maka diqiyaskan kepada yang semakna dengan keduanya (makan dan minum), seperti suntik vitamin, dan yang semisalnya.
Dari sini pula dapat diketahui bahwa segala hal yang tidak disebutkan secara nas (mansus) sebagai pembatal puasa atau yang tidak semakna dengan makan dan minum maka tidak termasuk pembatal puasa. Obat tetes telinga misalnya, ia tidak disebutkan secara manshus dan ia juga tidak semakna dengannya. Dapat disimpulkan bahwa obat tetes telinga bukan termasuk pembatal puasa.
Hukum asal ibadah puasa seseorang adalah sah. Karenanya, tidak boleh sesuatu disebut sebagai pembatal puasa kecuali yang disebutkan secara nas atau yang semakna dengan nas dalam hal yang membatalkan puasa. Nabi Muhammad ﷺ telah menjelaskan pokok-pokok yang disebut sebagai pembatal puasa. Maka hal-hal yang tidak disebutkan dapat diqiyaskan kepada pokok-pokok tersebut.
Perkara yang dimaafkan dalam syariat
Ada kadar makanan atau minuman yang masuk ke lambung namun dimaafkan karena terlalu sedikit dan tujuan asalnya bukan untuk makan dan minum. Contoh, tetap disunahkan untuk berkumur-kumur ketika berwudu bagi orang yang berpuasa. Kita ketahui secara pasti bahwa masih ada sisa air yang tertinggal di mulut, hanya saja kadarnya sedikit sehingga yang demikian dimaafkan. Contoh yang lain adalah sunnah untuk bersiwak. Ketika seseorang bersiwak atau yang semisalnya ketika puasa, maka pasti ada rasa mint yang tertinggal di mulut, maka hal seperti ini pun dimaafkan.
Jadi, hal-hal seperti ini tidak membatalkan puasa, karena yang masuk ke lambung kadarnya sedikit dan bukan merupakan tujuan asal untuk makan dan minum.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([1]) Lihat: Haqiqah ash-Shiyam karya Ibnu Taimiyyah hlm. 37.