Hukum Inhaler Ventolin (Obat sprayer asma) untuk Puasa
Obat ini merupakan obat yang banyak digunakan oleh penderita penyakit asma. Inhaler ventolin memiliki kandungan oksigen, air, dan obat-obatan. Satu tabung kecil biasanya berisi 10 ml, dan bisa digunakan sebanyak 200 semprotan. Artinya, sekali pakai menghabiskan sekitar 0,05 ml.
Ada dua hal yang menjadi permasalahan dalam kasus ini, yang pertama adalah obat ini disemprotkan lewat mulut yang merupakan saluran makan; kedua adalah ada kemungkinan air atau obat tersebut masuk ke dalam lambung. Dari dua hal tersebut terjadilah khilaf di kalangan para ulama. Secara umum, ikhtilaf dalam masalah ini terbagi menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: Puasanya batal. Pendapat yang mengatakan inhaler ventolin ini membatalkan puasa, itu dilandasi oleh dua permasalahan di atas, yaitu disemprot melalui saluran makan dan ada kemungkinan air sampai ke lambung.([1])
Pendapat kedua: Puasanya tidak batal. Mereka beralasan karena kadar yang masuk sangat sedikit dan tujuan utama pengobatan tersebut bukanlah lambung akan tetapi paru-paru yang merupakan alat pernapasan. Bisa jadi, semua zat obat akan habis di paru-paru dan tidak ada yang sampai ke lambung. Kalaupun ternyata masuk lambung, maka yang masuk sangat sedikit dan ini masuk kategori yang dimaafkan. Pendapat kedua inilah pendapat mayoritas ulama.([2])
Kita juga mengetahui kaidah (اَلْيَقِيْنُ لاَ يَزُولُ بِالشَّكِّ) “keyakinan tidaklah hilang dengan keraguan”. Maka seseorang yang yakin bahwa ia berpuasa, puasanya tidak menjadi batal dengan sesuatu yang masih meragukan, yang dalam hal ini kita masih ragu apakah obat tersebut masuk ke lambung atau tidak. Kalaupun masuk, maka jumlahnya sangatlah sedikit dan ini dimaafkan. Dengan demikian, pendapat yang lebih kuat adalah menggunakan inhaler ventolin tidak membatalkan puasa.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([1]) Ini adalah pendapat Dr. fadl Hasan Abbas, Dr. Muhammad ﷺ Alfi, Syaikh Muhammad ﷺ Taqiyuddin al-Utsmani dan Dr. Wahbah az-Zuhaili. [Lihat: Mufatthirat ash-Shiyam al-Mu’ashirah hlm. 50)].
([2]) Ini adalah pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin dan al-Lajnah ad-Daimah. [Lihat: [Lihat: Mufatthirat ash-Shiyam al-Mu’ashirah hlm. 47)].