Pembatal-pembatal Iktikaf
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan iktikaf seseorang, antara lain:
- Berniat untuk membatalkan iktikaf([1])
Jika seseorang berniat dan bertekad untuk membatalkan iktikafnya maka telah batal iktikafnya.
- Keluar dengan waktu yang lama tanpa ada keperluan
Kondisi keluar dari masjid terbagi menjadi dua:
– Keluar hanya sebagian dari tubuhnya
Hal ini pernah dilakukan Nabi Muhammad ﷺ ketika beriktikaf. Beliau ﷺ pernah mengeluarkan kepalanya ke jendela untuk disisir oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Hal ini tidaklah membatalkan iktikaf. ([2])
– Keluar seluruh tubuh
Pada permasalahan ini, keluar dibagi menjadi tiga hal:
- Keluar dalam waktu yang lama dan tidak ada kebutuhan mendesak. Yang seperti ini maka para ulama sepakat bahwa iktikafnya batal. ([3])
Terlebih lagi ia dengan sengaja keluar untuk melakukan hal yang dapat membatalkan iktikaf seperti menggauli istri, maka ini sangat jelas membatalkan iktikafnya. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ﴾
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
- Keluar karena ada keperluan yang mendesak. Di antara hal mendesak adalah mencari makanan([4]). Seseorang boleh keluar untuk membeli makanan atau pulang ke rumahnya untuk makan apabila pihak DKM masjid tidak menyediakan makanan. Demikian pula halnya Nabi Muhammad ﷺ yang terpaksa keluar dari masjid untuk mengantar Shafiyah radhiallahu ‘anha untuk pulang ke rumahnya. Keluarnya seluruh tubuh dari masjid yang seperti ini disepakati oleh para ulama sebagai keluar yang tidak membatalkan iktikaf.
- Keluar karena hajat yang tidak mendesak akan tetapi ada faedahnya. Yang termasuk dalam perkara ini, seperti keluar untuk menziarahi teman yang sakit atau keluar untuk mengantar jenazah. Hal seperti ini sunahnya tidak dilakukan, sebagaimana perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha,
السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ: أَنْ لَا يَعُودَ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلَا يُبَاشِرَهَا، وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ، إِلَّا لِمَا لَا بُدَّ مِنْهُ
“Yang disunahkan atas orang yang beriktikaf adalah tidak menjenguk orang yang sedang sakit, serta tidak mengiringi jenazah serta tidak menyentuh wanita, tidak bercampur dengannya dan tidak keluar untuk suatu keperluan kecuali karena sesuatu yang harus ia lakukan.”([5])
Yang termasuk dalam masalah ini pula adalah keluar dari masjid untuk membangunkan istri untuk shalat malam. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وأَحْيَا لَيْلَهُ، وأَيْقَظَ أهْلَهُ
“Dahulu Nabi ﷺ apabila memasuki sepuluh malam terakhir, beliau ﷺ mengencangkan ikatan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan istrinya.”([6])
Namun, jika seseorang melakukan itu semua sementara ia beriktikaf, maka hal tersebut tidak membatalkan iktikafnya. Hanya saja hendaknya ia menghindari hal tersebut, karena tujuan dari iktikaf adalah agar ia bisa fokus untuk beribadah kepada Allah ﷻ.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([1]) Lihat: Kassyaf al-Qina’ (2/351).
([2]) Lihat: Mughni al-Muhtaj (2/200).
([3]) Lihat: Maratib al-Ijma’ (1/40).
([4]) Lihat: Kassyaf al-Qina’ (2/356).
([5]) HR. Abu Daud No. 2473, dinyatakan hasan shahih oleh Syekh al-Albani.