Fikih Iktikaf
Iktikaf secara bahasa dari kata عَكَفَ yang berarti mendiami sesuatu dalam waktu yang lama. Dalam Al-Qur’an, ([1]) Allah ﷻ menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan makna iktikaf, di antaranya seperti firman Allah ﷻ,
﴿وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَىٰ قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَىٰ أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ﴾
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata, ‘Wahai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’. Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)’.” (QS. Al-A’raf: 128)
Pada ayat tersebut Allah ﷻ menjelaskan tentang Nabi Musa ‘Alaihissalam dan Bani Israil yang diselamatkan oleh Allah dan berhasil menyeberangi laut. Nabi Musa ‘Alaihissalam dan Bani Israil mendapati sebuah kaum yang sedang beriktikaf di berhala-berhala mereka.
Demikian pula seperti firman Allah ﷻ tentang perkataan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,
﴿إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ﴾
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?’.” (QS. Al-Anbiya’: 52)
Kata عَاكِفُونَ dalam ayat di atas bermakna berdiam diri dalam waktu yang lama. ([2])
Demikian pula Bani Israil pernah melakukan iktikaf atau mendiami sebuah berhala, lalu datang Nabi Harun ‘Alaihissalam menasihati mereka, akan tetapi mereka berkata,
﴿قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ﴾
“Mereka menjawab, ‘Kami akan tetap mendiami patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami’.” (QS. Thaha: 91)
Adapun iktikaf secara syariat adalah mendiami masjid dalam rangka beribadah kepada Allah ﷻ. ([3]) Iktikaf adalah sebuah ibadah yang dari zaman dahulu sudah ada, Allah ﷻ berfirman,
﴿وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ﴾
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf, yang rukuk dan yang sujud’.” (QS. Al-Baqarah: 125)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa syariat iktikaf sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Maka dari itu, sebagian ulama memandang bahwa syariat iktikaf juga merupakan syariat umat yang terdahulu dan bukan hanya syariat Nabi Muhammad ﷺ.
Demikian juga yang Allah ﷻ jelaskan tentang Maryam. Allah ﷻ berfirman,
﴿فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا﴾
“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.” (QS. Ali ‘Imran: 37)
Sebagian ulama menafsirkan kondisi Maryam yang berada di mihrab adalah sedang beriktikaf, karena Maryam selalu menghidmatkan dirinya untuk Masjidilaksa, beliau mengambil mihrab di masjid tersebut lalu beriktikaf di sana. ([4]) Ini juga menunjukkan bahwa syariat iktikaf untuk para wanita dan sudah ada sejak zaman dahulu.
Tidak hanya itu, bahkan ibadah iktikaf juga dikenal oleh kaum musyrikin di zaman jahiliah. Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Rasulullah ﷺ,
كنتُ نَذَرْتُ في الجاهليَّةِ أن أعتكِفَ ليلةً في الْمَسْجِدِ الحَرامِ
“Aku pernah bernazar pada zaman jahiliah untuk beriktikaf selama semalam di Masjidilharam.”([5])
Maka, ini semua menunjukkan bahwasanya iktikaf adalah ibadah yang makruf, dikenal, dan sudah ada sejak zaman dahulu, tidak hanya dikenal oleh umat Islam saja.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([1]) Lihat: Tahdzib al-Lughah (1/209).
([2]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (11/296).
([3]) Lihat: Al-Mughni (3/186).
([4]) Lihat: At-Tahrir wa at-Tanwir (3/236).
([5]) HR. Bukhari No. 2032.