9. وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
wallażīna tabawwa`ud-dāra wal-īmāna ming qablihim yuḥibbụna man hājara ilaihim wa lā yajidụna fī ṣudụrihim ḥājatam mimmā ụtụ wa yu`ṡirụna ‘alā anfusihim walau kāna bihim khaṣāṣah, wa may yụqa syuḥḥa nafsihī fa ulā`ika humul-mufliḥụn
9. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung
Tafsir :
Adapun makna وَالْإِيْمَانَ disini ada 3 pendapat dari para ulama untuk mengapa posisinya “manshub” (berharakat fathah):
Pertama, asal kata dari kalimat tersebut adalah:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَتَبَوَّءُوْا الإِيْمَانَ
Yakni orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan menempati keimanan.
Kedua, asal kalimatnya ada kata yang tersembunyi yang aslinya:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَأَخْلَصُوْا الإِيْمَانَ
Yakni orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan mengikhlaskan keimanan mereka.
Ketiga, huruf وَ dalam kata وَالْإِيْمَانَ makna huruf وَ disini adalah “ma’iyyah” yakni maknanya adalah:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَالإِيْمَان
Yakni orang-orang yang telah tinggal di kota Madinah dalam kondisi beriman sebelum kaum Muhajirin datang, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Allamah Thohir bin ‘Asyuur yang menjelaskan bahwa وَ disitu kata setelahnya dalam posisi “manshub” karena itu adalah “waw ma’iyyah”. ([1])
Kemudian Allah memuji kaum Anshar yang sifat mereka adalah
يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا
“… mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)…”.
Mereka adalah orang-orang yang dalam hati mereka sama sekali tidak terdapat rasa berat atas keputusan Allah memberikan harta “fai`i” kepada kaum Muhajirin.
Padahal dalam masalah harta banyak yang masih memiliki sifat tamak walaupun aslinya adalah orang yang shalih. Yang biasanya dalam kondisi seperti ini seseorang akan bertanya-tanya: “Mengapa mereka diberikan harta “fai`i” sedangkan saya tidak diberi?”. Oleh karena itu adakalanya dua orang shalih yang bekerja sama dalam suatu proyek dakwah lalu yang satu dari mereka diberi harta oleh seorang donator, sementara yang satunya tidak diberi, maka pada diri yang tidak diberi biasanya terdapat kecemburuan, karena semuanya adalah manusia yang memiliki sifat dasar yang sama.
Lain halnya dengan kaum Anshar dimana mereka tidak diberi harta “fai`i” sedikit pun oleh Nabi namun Allah katakan tentang mereka “orang-orang yang tiada menaruh keberatan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)”
Bahkan lebih dari ini, Allah juga mensifati mereka dengan :
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (orang-orang Anshar) dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”.
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang Anshar adalah orang-orang yang bersih hatinya dimana mereka tetap senang dengan orang-orang Muhajirin walaupun kaum Muhajirin diberikan harta dimana kaum Anshar tidak diberi. Bahkan dalam kondisi sulit pun mereka akan mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan mereka sendiri. Di zaman dahulu ada yang datang kepada seorang alim yang ia berasal dari negeri Syam, lalu bertanya kepada sang alim tersebut: “Apakah zuhud itu?” lalu orang alim tersebut menjawab: “Zuhud itu adalah jika kita mendapatkan makanan maka kita bersyukur dan jika kita tidak mendapatkan makanan maka kita bersabar” lalu orang yang datang dari jauh tadi menimpali: “Itukah zuhud menurut kalian? Menurut kami zuhud itu berbeda dengan pendapat kalian, menurut kami zuhud adalah jika tidak mendapatkan makanan maka tetap bersyukur kepada Allah dan jika mendapatkan makanan maka tetap mengutamakan orang lain”([2]), dan seperti inilah kaum Anshar yang bahkan dalam kondisi sulit pun mereka masih mengutamakan orang lain. Mereka bisa sampai tingkat demikian karena mereka adalah murid langsung Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai contoh mudah kita lihat pada zaman sekarang, kita (penulis) tidak pernah bertemu dengan Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin akan tetapi kita bertemu dengan murid-murid mereka maka kita lihat akhlak mereka luar biasa dan zuhud mereka luar biasa. Hal ini tidaklah mengherankan karena guru mereka adalah Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin, apabila murid-murid Syaikh Bin Baz dan murid-murid Syaikh Utsaimin yang telah lama bermulazamah dengan mereka begitu tampak pada diri mereka ajaran-ajaran para ulama tersebut, terlebih lagi jika gurunya adalah Rasulullah ﷺ maka jika kita kagum dengan keutamaan para Sahabat maka hal tersebut tidaklah mengherankan karena guru mereka adalah Rasulullah ﷺ.
Dalam tafsir ayat ini, para ulama membawakan dua kisah yang terkenal. Yang pertama : kisah Sa’ad bin Rabii’ dengan Abdurrahman bin Auf dimana Sa’ad, dimana Saád bin Robi’ berkata kepada Abdurrahman bin Auf:
إِنِّيْ مِنْ أَكْثَرِ الأَنْصَارِ مَالًا…
“Aku termasuk orang Anshar yang paling banyak hartanya, silakan ambil setengah hartaku dan aku memiliki istri lebih dari satu maka silakan pilih salah satu lalu aku akan ceraikan setelah habis ‘iddahnya maka silakan engkau nikahi”,
Hal ini diucapkan oleh Saád bin Robi’ karena Abdurrahman bin Áuf tadinya adalah saudagar kaya raya di kota Mekah, namun ketika berhijrah jadilah beliau menjadi seorang yang miskin mendadak, tidak memiliki harta apapun. Akan tetapi tawaran tersebut tidak diterima oleh Abdurrahman bin Áuf, akan tetapi beliau hanya meminta ditunjukan dimana lokasi pasar agar beliau bisa berdagang([3]).
Coba bandingkan dengan kondisi kita di zaman ini, tentu tidak ada yang sampai pada tingkat seperti ini. Saád bin Robii’ bukan hanya menawarkan sebagian hartanya bahkan setengah dari hartanya, dan bukan hanya hartanya bahkan istrinya sendiri pun rela ia berikan dan hal ini nyata pernah terjadi. Seandainya ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang shahih tentu kita akan berkata ini hanyalah dongeng belaka. Akan tetapi kisah ini benar adanya, pernah dilakukan oleh para sahabat. Tidak usah heran, karena guru mereka adalah Nabi shallallahu álaihi wasallam.
Adapun kisah yang kedua adalah kisah Abu Thalhah, ketika ada orang yang datang kepada Nabi ﷺ dan mengadukan kesulitannya maka Nabi ﷺ menanyakan kepada para istrinya apakah ada makanan namun jawaban semua istri Nabi ﷺ:
وَالّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا عِنْدَنَا إِلَّا مَاءً
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kita tidak memiliki apa pun selain air”
Ketika itu Nabi ﷺ sedang tidak memiliki makanan dan Nabi ﷺ tidak bisa menjamu orang tersebut maka Nabi ﷺ menawarkan kepada para Sahabat:
مَنْ يُضِيْفُ هَذَا اللَّيْلَةَ يَرْحَمُهُمُ اللهُ
“Siapa yang bisa menjamu orang ini pada malam ini niscaya Allah akan merahmatinya” maka Abu Thalhah menerima tawaran tersebut namun ia sendiri tidak mengetahui apakah ada makanan di rumahnya atau tidak. Lalu begitu sampai di rumahnya, Abu Thalhah bertanya kepada istrinya apakah ada makanan? namun ternyata hanya ada makanan untuk anak-anak mereka. Makanan untuk dia dan istrinya pun tidak ada. Maka Abu Thalhah memerintahkan untuk bermain dengan anak-anak mereka hingga tertidur dan makanan tersebut diperuntukkan untuk sang tamu.
Akhirnya anak-anak mereka diajak ngobrol sama istri Abu Tholhah hingga tertidur, sementara makanan yang tersedia hanya cukup untuk satu orang dewasa. Abu Thalhah memerintahkan istrinya untuk pura-pura memperbaiki penerang ruangan lalu mematikannya agar kondisi gelap. Ketika sang istri diperintahkanpun sang istri pun tidak protes sama sekali dan menuruti perintah suaminya. Istrinya tidak berkata, “Ayah ini bagaimana, kok bawa tamu tidak bilang-bilang terlebih dahulu?”, atau “Ayah ini bagaimana kok bawa tamu sementara kita tidak memiliki makanan, akupun belum makan !!’. Sama sekali istrinya tidak protes dan mengomel. Akhirnya sang istri pura-pura memperbaiki lilin dan mematikannya, semua itu dilakukan tujuannya adalah karena makanan yang ada hanya untuk satu orang dan kalaulah makanan tersebut dihidangkan sedangkan tuan rumah sendiri tidak makan maka tentu saja sang tamu akan merasa tidak enak dengan hal tersebut.
Akhirnya makanan tersebut hanya dihidangkan kepada tamunya dalam kondisi gelam, sedangkan kedua tuan rumah hanya memegang piring dalam keadaan gelap seolah sedang makan. Subhanallah mereka sang tuan rumah hakikatnya dalam keadaan susah namun masih tetap mengutamakan orang lain. Dan pada pagi harinya, mereka hanya diam saja tanpa bicara sedikit pun kepada orang lain. Yaitu mereka ikhlash tidak menshare apa yang mereka lakukan kepada orang lain. Namun Allah yang mengabarkan kepada Nabi ﷺ sehingga Nabi ﷺ pun memanggil Abu Thalhah dan berkata kepadanya:
عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللّيْلَةَ
“Allah takjub dengan perbuatan kalian berdua tadi malam terhadap tamu kalian”. ([4])
Sungguh benar sifat yang Allah sematkan kepada mereka dan itu tidaklah berlebihan, Allah berfirman:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (orang-orang Anshar) dalam kesusahan”.
Sebagaimana juga pernah terjadi dalam suatu peperangan dan terdapat beberapa orang yang sedang sekarat lalu datanglah orang yang membawakan minuman, maka ketika minuman sudah didekatkan lalu terdengar suara sahabat lainnya yang meminta air, maka sahabat yang hampir meninggal ini mengisyaratkan untuk memberi sahabat tersebut lalu dibawakanlah air tersebut kepada sahabat yang lain tersebut. Kemudian terdengar suara dari sebelahnya yang juga meminta air, lalu diisyaratkan untuk diberikan kepada teman yang satunya lalu air tersebut pun dibawakan dan akhirnya seluruhnya meninggal tanpa ada yang minum satu pun dari mereka([5]). Merekalah yang melakukan “itsar” (mendahulukan saudaranya) di saat-saat genting. Oleh karenanya persahabatan itu barulah teruji di saat kesulitan.
Lalu Allah menutup firman-Nya:
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“…Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa kikir maka merekalah orang-orang yang beruntung”.
Kataيُوْقَ berasal dari kata وِقَايَة yang artinya adalah penjagaan atau perlindungan. Mengapa dikatakan demikian?, karena sifat pelit itu setiap saat bisa menyerang dan menjangkiti. Pada hari ini seseorang bisa tidak memiliki sifat pelit namun pekan depannya dia bisa memiliki sifat pelit, oleh karena itu ia harus senantiasa menjaga dirinya dari sifat pelit dan kapan saja sifat pelit itu muncul maka sifat pelit itu harus ia lawan. Barangkali dalam kondisi lapang kita tidak pelit namun dalam kondisi sempit maka menjadi pelit. Oleh karena itu penting bagi kita agar mampu mengatur hati kita agar jangan sampai kita terjatuh kepada sifat pelit. Hal ini juga menunjukkan bahwasanya seseorang haruslah waspada dan barangsiapa yang bisa terjaga dari sifat pelit tersebut maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
__________________
Footnote :
([1]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 90-91.
([2]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 28 dari perkataan Abu Yazid Al-Busthomiy.
([5]) Atsar ini diriwayatkan oleh Hudzaifah Al-‘Adawiy disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam Tafsirnya: 18/ 28.