1. إِذَا جَآءَكَ ٱلْمُنَٰفِقُونَ قَالُوا۟ نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ
iżā jā`akal munāfiqụna qālụ nasy-hadu innaka larasụlullāh, wallāhu ya’lamu innaka larasụluh, wallāhu yasy-hadu innal-munāfiqīna lakāżibụn
1. Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
Tafsir :
Dalam ayat ini orang-orang munafik menyebutkan pernyataan mereka yaitu نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ dengan tiga penguatan (penekanan):
Pertama: mereka mengatakan dengan kalimat نَشْهَدُ “kami bersaksi” dan para ulama mengatakan bahwa ini kedudukannya sama dengan bersumpah([1]). Yaitu seakan-akan mereka mengatakan “kami bersumpah wahai Rasulullah”.
Kedua: pada perkataan mereka إِنَّكَ “sesungguhnya engkau”, dan إِنَّ untuk ta’kid (penguatan atau penekanan), jadi artinya “sesungguhnya engkau benar-benar….”.
Ketiga: yaitu pada kalimat لَرَسُولُ اللَّهِ terdapat huruf ل “lam” yang fungsinya untuk ta’kid juga.
Sehingga kalimat نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ dengan tiga penekanan ini jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kami bersumpah demi Allah sungguh engkau benar-benar utusan Allah”.
Apa alasan mereka datang kepada Nabi membawakan pernyataan ini? Dan biasanya ini disebabkan karena ada sesuatu yang membuat mereka diragukan hingga mereka datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan pernyataan ini, dan ini seperti yang disebutkan dalam sebuah perumpamaan dalam bahasa Arab:
كَادَ الْمُرِيْبُ أَنْ يَقُوْلَ خُذُوْنِيْ
“hampir-hampir orang yang dicurigai mengatakan: tangkaplah aku!” ([2])
Dimana dengan ungkapan-ungkapan tersebut seakan-akan dia mengatakan “sayalah yang telah melakukan dan sayalah yang telah bersalah”. Intinya tidaklah orang-orang munafik yang datang kepada Nabi dengan membawa pernyataan ini kecuali karena mereka memang diragukan, jika mereka tidak diragukan maka tidak perlu mereka datang dengan membawa pernyataan tersebut. Justru dengan pernyataan mereka inilah yang menyebabkan semakin terbongkarnya kedok mereka, mereka ingin berlepas diri dengan menyatakan bahwa mereka beriman akan tetapi dengan pernyataan berlepas diri mereka inilah yang semakin membongkar bahwa iman mereka bermasalah sehingga memaksa mereka untuk datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pernyataan tersebut.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لِرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.”
Dalam ayat ini Allah membantah pernyataan orang-orang-orang munafik, dan Allah juga mendatangkan 3 penekanan dalam membantah pernyataan mereka:
Pertama: pada kalimat وَاللَّهُ يَشْهَدُ “Allah bersaksi” maksudnya adalah Allah bersumpah.
Kedua: pada kalimat إِنَّ الْمُنَافِقِينَ “sesungguhnya orang-orang munafik, menggunakan huruf إِنَّ untuk penekanan.
Ketiga: pada kalimat لَكَاذِبُونَ “orang-orang munafik benar-benar pendusta”, yaitu dengan huruf ل “lam” yang fungsinya juga untuk penekanan. Jadi mereka menyatakan dengan 3 penekanan kemudian Allah membantah mereka dengan 3 penekanan juga.
Adapun munafiq maka kata ini secara bahasa diambil dari kata النَّفَقُ nafaq, dan nafaq dalam bahasa Arab artinya terowongan([3]). Dan hingga sekarang di Arab istilah nafaq adalah penamaan untuk underpass. Istilah munafiq juga diambil dari kata نَفِقَ الْيَرْبُوْعُ ([4]), al-yarbu’ adalah semacam hewan mirip dengan tikus akan tetapi dia tinggal di daerah pegunungan atau di padang pasir, yang dia membuat 1 lubang masuk adapun untuk lubang keluarnya dia membuat beberapa lubang, sehingga ketika dia dikejar musuh dia bisa keluar dari lubang mana saja, dan hewan yang ingin memangsanya tidak mengetahui dia keluar dari lubang yang mana. Intinya al-yarbu’ adalah hewan yang bermuka dua. Dan dikatakan juga bahwa al-yarbu’ adalah hewan yang ketika membuat lubang untuk keluar maka dia tidak akan membuat lubang keluarnya terlihat bolong, akan tetapi dia membuatnya dengan menyisakan sedikit tanah yang mudah ia tembus, dan orang yang melihat dari atas tanah melihatnya sebuah tanah yang tertutup bukan sebuah lubang. Dan demikianlah orang-orang munafik, jika di luar terlihat seakan-akan mereka adalah orang yang beriman akan tetapi di dalamnya isinya berupa kekufuran. Maka dari sinilah penyebutan istilah munafik, yaitu zhahirnya tidak sama dengan batinnya.
Nifaq terbagi menjadi 2([5]):
Pertama: an-nifaq al-akbar (kemunafikan yang besar) atau an-nifaq al-I’tiqhody, yaitu kemunafikan yang berkaitan dengan aqidah, yaitu orang kafir yang ber KTP (status) Islam,
Kedua: an-nifaq al-ashghor (kemunafikan yang kecil) atau an-nifaq al-‘amaly, yaitu kemunafikan yang berkaitan dengan amal perbuatan dan tidak sampai pada tingkat kekufuran, inilah yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
” آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “
“tanda kemunafikan ada tiga: jika dia berbicara dia berdusta, jika dia berjanji dia mengingkari, dan jika dia diberikan amanah dia berkhianat.” ([6])
Dalam hadits yang lain dari Abdullah bin Amr terdapat tambahan:
” أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا – أَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ – حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ “
“empat sifat yang barang siapa didapati dalam dirinya maka dia adalah orang munafik -atau didapati satu sifat dari empat sifat maka di dalam dirinya terdapat satu sifat kemunafikan- hingga dia meninggalkannya: : jika dia berbicara dia berdusta, jika dia berjanji dia mengingkari, jika ia melakukan perjanjian ia membatalkannya, dan jika berselisih maka ia melakukan kefajiran (kecurangan atau penipuan).” ([7])
Dalam hadits ini disebutkan salah satu ciri orang munafik adalah apabila bertikai maka dia akan berbuat kefajiran atau curang, dan kaum muslimin banyak yang melakukan hal demikian, banyak kita dapati di kantor pengadilan banyak orang yang bertikai dia berbuat fajir atau curang, dia mendatangkan saksi palsu, bukti palsu, dan yang lainnya yang mana dia berusaha agar musuhnya kalah, dan ini adalah ciri-ciri orang munafik.
Lima sifat yang disebutkan di atas yaitu: “jika dia berbicara berdusta, jika dia berjanji dia mengingkari, jika dia diberikan amanah dia berkhianat, jika ia melakukan perjanjian ia membatalkannya, dan jika berselisih maka ia melakukan kefajiran (kecurangan atau penipuan)” ini disebut dengan nifaq ‘amaly dan ini termasuk dosa besar akan tetapi derajatnya tidak sampai kepada kekufuran, karena dia hanya memiliki sifat-sifat orang munafik yaitu kemunafikannya hanya sebatas amalan tidak sampai pada keyakinan. Jadi intinya kemunafikan yang besar yang membuat kufur pelakunya adalah kemunafikan yang dikarenakan benci terhadap syari’at Islam dan tidak membenarkan syari’at Islam namun KTP-nya KTP Islam, adapun nifaq yang kecil yaitu seorang muslim yang melakukan perbuatan-perbuatan yang mirip dengan orang-orang munafik yang asli seperti yang disebutkan dalam hadits di atas.
Dan dalam surah ini yang Allah bicarakan adalah nifaq akbar yang derajat sampai pada kekufuran.
Terdapat khilaf di antara para ulama dalam masalah kapan turunnya surah ini, ada yang mengatakan turun pada tahun 5 H ketika perang Bani Musthaliq, ada juga yang mengatakan bahwa surah ini turun pada tahun ke 9 H tatkala perang Tabuk. Dan para ulama mengatakan yang benar bahwa surah al-munafiqun ini turun pada tahun 5 H di masa orang-orang munafik dalam kondisi kuat, sehingga dalam surah ini disebutkan bahwa mereka berani berkata:
{لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ}
“Sungguh, jika kita (orang-orang munafik) kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Musthaliq), pastilah orang yang kuat (orang-orang munafik) akan mengusir orang-orang yang lemah (Nabi Muhammad) dari sana.” QS. Al-Munafiqun: 9 ([8])
Dan mereka tidaklah mengucapkan hal ini kecuali mereka dalam kondisi yang sangat kuat, dan ini terjadi pada tahun 5 H. Adapun pada tahun 9 H ketika perang Tabuk maka pada saat itu mereka sedang dalam kondisi yang sangat lemah dan kaum muslimin dalam keadaan yang sangat kuat, yaitu setelah menaklukkan kota Makkah. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berani mengirim surat kepada raja Heraklius dan raja Persia untuk mendakwahi mereka, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah siap menghadapi resiko penolakan dan kemarahan para raja tersebut. Dengan demikian maka tidak mungkin kaum munafiq pada tahun tersebut berani mengatakan “Kami akan mengusir Muhammad yang hina”. Jadi ungkapan ini muncul ketika mereka dalam keadaan yang kuat dan kaum muslimin dalam keadaan lemah terutama ketika telah kalah dalam perang Uhud, sehingga mereka semakin angkuh dan sombong dengan kekuatan mereka. Jadi ungkapan ini terlontarkan pada tahun 5 H ketika terjadi peristiwa perang bani Musthaliq.
Dan terdapat hadits-hadits yang datang menjelaskan permasalahan ini, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Zaid bin Arqam ia berkata:
كُنْتُ مَعَ عَمِّي، فَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ ابْنَ سَلُولَ يَقُولُ: لاَ تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا، وَقَالَ أَيْضًا: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى المَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأَعَزُّ مِنْهَا الأَذَلَّ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمِّي، فَذَكَرَ عَمِّي لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ وَأَصْحَابِهِ، فَحَلَفُوا مَا قَالُوا، فَصَدَّقَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَذَّبَنِي، فَأَصَابَنِي هَمٌّ لَمْ يُصِبْنِي مِثْلُهُ قَطُّ، فَجَلَسْتُ فِي بَيْتِي، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِذَا جَاءَكَ المُنَافِقُونَ} [المنافقون: 1] إِلَى قَوْلِهِ {هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ: لاَ تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ} [المنافقون: 7] إِلَى قَوْلِهِ {لَيُخْرِجَنَّ الأَعَزُّ مِنْهَا الأَذَلَّ} [المنافقون: 8] فَأَرْسَلَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ قَدْ صَدَّقَكَ»
“Suatu ketika aku bersama pamanku, maka aku mendengar Abdullah bin Ubay bin Salul berkata: “Janganlah kalian memberi infak kepada mereka yang berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mereka lari darinya.” Dan ia juga mengatakan, “Jika kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengeluarkan orang-orang yang terhina darinya.” Maka aku pun menuturkan hal itu pada pamanku dan ia pun menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mengirim utusan kepada Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya, dan mereka bersumpah bahwasanya mereka tidak mengucapkan pernyataan tersebut. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan mereka dan mendustakanku. Aku pun tertimpa rasa sedih yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku hanya bisa duduk di dalam rumahku, sehingga Allah menurunkan surat: {إِذَا جَاءَكَ المُنَافِقُونَ} (Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad)) hingga firman-Nya {هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ: لاَ تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ} (mereka itulah orang-orang yang mengatakan ‘Janganlah kalian berinfak kepada orang-orang yang bersama Rasulullah) hingga firman-Nya {لَيُخْرِجَنَّ الأَعَزُّ مِنْهَا الأَذَلَّ} (Niscaya orang yang kuat akan mengusir yang lemah). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang padaku dan membacakannya kepadaku kemudian berkata, “Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu.” ([9])
Dan dikisahkan dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi:
غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعَنَا أُنَاسٌ مِنَ الأَعْرَابِ فَكُنَّا نَبْتَدِرُ الْمَاءَ، وَكَانَ الأَعْرَابُ يَسْبِقُونَا إِلَيْهِ، فَسَبَقَ أَعْرَابِيٌّ أَصْحَابَهُ، فَيَسْبِقُ الأَعْرَابِيُّ فَيَمْلَأُ الحَوْضَ وَيَجْعَلُ حَوْلَهُ حِجَارَةً وَيَجْعَلُ النِّطْعَ عَلَيْهِ حَتَّى يَجِيءَ أَصْحَابُهُ. قَالَ: فَأَتَى رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ أَعْرَابِيًّا فَأَرْخَى زِمَامَ نَاقَتِهِ لِتَشْرَبَ فَأَبَى أَنْ يَدَعَهُ فَانْتَزَعَ قِبَاضَ الْمَاءِ، فَرَفَعَ الأَعْرَابِيُّ خَشَبَةً فَضَرَبَ بِهَا رَأْسَ الأَنْصَارِيِّ فَشَجَّهُ، فَأَتَى عَبْدَ اللهِ بْنَ أُبَيٍّ رَأْسَ الْمُنَافِقِينَ فَأَخْبَرَهُ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَغَضِبَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ، ثُمَّ قَالَ: {لاَ تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا}، يَعْنِي الأَعْرَابَ، وَكَانُوا يَحْضُرُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الطَّعَامِ، فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: إِذَا انْفَضُّوا مِنْ عِنْدِ مُحَمَّدٍ فَأْتُوا مُحَمَّدًا بِالطَّعَامِ، فَلْيَأْكُلْ هُوَ وَمَنْ عِنْدَهُ، ثُمَّ قَالَ لأَصْحَابِهِ: {لَئِنْ رَجَعْتُمْ إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأَعَزُّ مِنْهَا الأَذَلَّ}، قَالَ زَيْدٌ: وَأَنَا رِدْفُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَسَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ أُبَيٍّ، فَأَخْبَرْتُ عَمِّي، فَانْطَلَقَ فَأَخْبَرَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَلَفَ وَجَحَدَ، قَالَ: فَصَدَّقَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَذَّبَنِي، قَالَ: فَجَاءَ عَمِّي إِلَيَّ، فَقَالَ: مَا أَرَدْتَ إِلاَّ أَنْ مَقَتَكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَذَّبَكَ وَالمُسْلِمُونَ. قَالَ: فَوَقَعَ عَلَيَّ مِنَ الهَمِّ مَا لَمْ يَقَعْ عَلَى أَحَدٍ. قَالَ: فَبَيْنَمَا أَنَا أَسِيرُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ قَدْ خَفَقْتُ بِرَأْسِي مِنَ الهَمِّ، إِذْ أَتَانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَرَكَ أُذُنِي وَضَحِكَ فِي وَجْهِي، فَمَا كَانَ يَسُرُّنِي أَنَّ لِي بِهَا الخُلْدَ فِي الدُّنْيَا، ثُمَّ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ لَحِقَنِي فَقَالَ: مَا قَالَ لَكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قُلْتُ: مَا قَالَ لِي شَيْئًا، إِلاَّ أَنَّهُ عَرَكَ أُذُنِي وَضَحِكَ فِي وَجْهِي. فَقَالَ: أَبْشِرْ، ثُمَّ لَحِقَنِي عُمَرُ، فَقُلْتُ لَهُ مِثْلَ قَوْلِي لأَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا أَصْبَحْنَا قَرَأَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُورَةَ الْمُنَافِقِينَ.
“Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terdapat beberapa orang badui yang bersama kami, kemudian kami bersegera menuju kepada sebuah air, sementara orang-orang badui mendahului kami mendatangi air tersebut, dan seorang badui mendahului para sahabatnya. Kemudian ia memenuhi telaga tersebut dan meletakkan bebatuan di sekitarnya, dan meletakkan tumpukan kulit di atasnya hingga para sahabatnya datang. Zaid bin Arqam berkata, “Kemudian seorang laki-laki Anshar mendatangi orang badui tersebut dan mengendurkan tali kendali untanya agar dapat minum, namun orang badui tersebut enggan untuk membiarkannya lalu ia menyingkirkan bebatuan yang ada di sekitar air, kemudian orang badui tersebut mengangkat kayu dan memukulkan ke kepala orang Anshar tersebut, sehingga melukainya. Kemudian ia datang kepada Abdullah bin Ubai pemimpin orang-orang munafik yang dahulunya ia adalah termasuk diantara sahabatnya, lalu orang tersebut memberitahukan kasusnya. Maka Abdullah bin Ubai (gembong kaum munafiq) marah kemudian ia berkata; janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang yang ada disisi Rasulullah hingga mereka bubar (meninggalkan Rasulullah) (yang ia maksud adalah orang-orang badui). Mereka (arab badui) menghadiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika makan. Kemudian Abdullah berkata; apabila mereka telah bubar dari sisi Muhammad maka datanglah kepada Muhammad dengan membawa makanan hingga ia dan orang yang bersamanya makan. Kemudian Abdullah bin Ubay berkata kepada para sahabatnya; Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya. Zaid berkata; ketika itu aku membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar Abdullah bin Ubai, kemudian aku memberitahukan kepada pamanku, lalu ia pergi dan mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan kepadanya (Ubay) kemudian ia bersumpah dan mengingkari hal tersebut. Zaid berkata; kemudian pamanku datang kepadaku dan berkata; engkau tidak menginginkan kecuali agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta orang-orang muslim memurkai dan mendustakanmu. Zaid berkata; kemudian aku merasa sedih yang tidak dirasakan oleh seorang pun. Ia berkata; ketika aku berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan aku telah mengantuk karena rasa sedih. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadaku dan memasukan jarinya di telingaku dan tertawa di hadapanku, dan aku tidak suka jika kegembiraanku ketika itu ditukar dengan hidup kekal di dunia, kemudian Abu Bakar menjumpaiku, dan berkata; apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadamu? Aku katakan; beliau tidak mengatakan apa pun kepadaku, hanya saja beliau memasukan jarinya di telingaku dan tertawa di hadapanku, lal u Abu Bakar berkata: bergembiralah. Kemudian Umar menemuiku dan aku katakan kepadanya seperti perkataanku kepada Abu Bakar. Kemudian setelah pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat Al Munafiqun. ([10])
Lafal Sumpah dan Hukumnya
Al-Qurthubi menjelaskan tentang firman Allah نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ “Kami bersaksi sungguh engkau (Muhammad) adalah benar-benar utusan Allah”, maka makna “bersaksi di sini artinya bersumpah. ([11])
Adapun hukumnya maka ada dua pembagian([12]):
Pertama: lafal yang tegas dan jelas, seperti أَشْهَدُ بِاللهِ, أَقْسَمْتُ بِاللهِ, أَحْلِفُ بِاللهِ, atau أَعْزَمْتُ بِاللهِ yang semuanya menggunakan lafal بِاللهِ (dengan nama Allah) maka semua ini termasuk ke dalam hukum sumpah jika ia melanggar maka ia harus membayar kaffaroh sumpah.
Kedua: lafal yang tidak tegas, seperti أَشْهَدُ, أَقْسَمْتُ, أَحْلِفُ, atau أَعْزَمْتُ yang semuanya tanpa menggunakan lafal بِاللهِ (dengan nama Allah) maka semua ini diperinci, jika ia mengucapkannya dengan niat menggunakan nama Allah maka ini termasuk hukum sumpah, dan jika tidak berniat dengan nama Allah maka ini tidak termasuk hukum sumpah. Intinya sumpah adalah jika seseorang mengucapkannya dengan menggunakan kalimat “dengan nama Allah” seperti ketika seseorang mengatakan “saya bersaksi dengan nama Allah” maka ini adalah sumpah, namun jika hanya mengatakan “saya bersaksi” maka ini ada dua kemungkinan, dan ini tergantung niatnya, jika niatnya untuk bersumpah maka ini adalah sumpah, jika dia tidak berniat untuk bersumpah maka ini bukan sumpah.
___________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/122
([2]) Lihat: Tahdziirul Jumhur min Mafaasidi Syahaadatiz Zuur hal: 31
([3]) Lihat: Kitab al-‘ain 5/177
([4]) lihat: Hasyiyatu Asy-Syihab ‘Alaa Tafsiir Al-Baydhowy atau dinamakan dengan kitab ‘Inaayatul Qaadhy wa kifaayatur Raadhy ‘Alaa Tafsiir Al-Baydhowy 1/310
([5]) Lihat: Kitab At-Tauhid karya Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hal:25-27
([8]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/231-232
([10]) HR. At-Tirmidzi no. 3313 dan dia mengatakan bahwa ini adalah hadits yang hasan