9. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَٰدُكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
yā ayyuhallażīna āmanụ lā tul-hikum amwālukum wa lā aulādukum ‘an żikrillāh, wa may yaf’al żālika fa ulā`ika humul-khāsirụn
9. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.
Tafsir :
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memulai memberikan nasihat kepada orang-orang yang beriman, karena di sini Allah subhanahu wa ta’ala memanggil dengan panggilan orang-orang yang beriman. Nasihat tersebut adalah jangan sampai anak-anak dan harta mereka menjadikan mereka sebagai orang-orang yang lalai, karena harta dan anak-anak adalah termasuk hal yang melalaikan sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” QS. Al-Kahfi: 46
Dan manusia memang memiliki tabiat senang memiliki harta yang sangat banyak, dan juga senang dan sayang terhadap anak-anaknya, apa pun yang mereka pinta maka orang tua akan berusaha untuk memenuhinya jika mereka memiliki harta untuk memenuhi apa yang mereka inginka. Betapa banyak orang tua yang bekerja keras hanya demi menyenangkan anak-anak mereka sampai terkadang tidak begitu memikirkan istri mereka sendiri dan hanya memikirkan anak-anaknya. Maka jangan sampai harta dan anak-anak kita menjadikan kita lalai dari ketaatan, menjalankan kewajiban, dan dari menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang dimaksud dengan ذِكْرِ اللَّهِ “mengingat Allah subhanahu wa ta’ala” di sini adalah طَاعَةُ اللهِ “ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala” ([1]), dan para ulama mengatakan bahwa ini umum mencakup yang wajib juga mencakup yang sunnah.
Apa hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang orang-orang munafik? Para ulama mengatakan bahwa kaitan ayat ini dengan kisah tentang orang-orang munafik adalah agar orang-orang yang beriman tidak meniru orang-orang munafik sedikit pun([2]), karena mereka orang-orang munafik itu pelit dan mereka tidak mengingat Allah subhanahu wa ta’ala keculai hanya sedikit. Yang mereka pikirkan hanya masalah dunia. Maka janganlah sampai orang-orang yang beriman meniru orang-orang munafik, dan hendaknya orang-orang yang beriman membersihkan diri-diri mereka dari seluruh sifat kemunafikan. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan beberapa sifat orang munafik di dalam Al-Quran:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۗ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” QS. At-Taubah: 67
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan beberapa sifat orang-orang munafik, di antaranya adalah bahwasanya mereka adalah orang-orang yang pelit dan tidak mau berinfak. Dan ini adalah ciri-ciri orang munafik, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menegur orang-orang yang beriman agar mereka tidak seperti orang-orang yang munafik yang tidak mau berinfak, dan juga termasuk sifat orang-orang munafik yaitu yang telah disebutkan di atas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
” آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “
“tanda kemunafikan ada tiga: jika dia berbicara dia berdusta, jika dia berjanji dia mengingkari, dan jika dia diberikan amanah dia berkhianat.” ([3])
Dalam hadits yang lain dari Abdullah bin Amr terdapat tambahan:
” أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا – أَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ – حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ “
“empat sifat yang barang siapa didapati dalam dirinya maka dia adalah orang munafik -atau didapati satu sifat dari empat sifat maka di dalam dirinya terdapat satu sifat kemunafikan- hingga dia meninggalkannya: : jika dia berbicara dia berdusta, jika dia berjanji dia mengingkari, jika ia melakukan perjanjian ia membatalkannya, dan jika berselisih maka ia melakukan kefajiran (kecurangan atau penipuan).” ([4])
Dan ini semua adalah sifat-sifat orang munafik, maka hendaknya kita tidak mengikutinya sama sekali, hendaknya kita membersihkan hati kita dari segala bentuk kemunafikan, hendaknya kita membersihkan segala perbuatan kita dari segala bentuk kemunafikan, dan hendaknya kita sebagai seorang muslim ketika berkata jujur dan komitmen, jika berjanji ditepati, dan jangan sampai seorang muslim menjadi orang yang suka berdusta dan suka mengobral janji namun tidak ditepati.
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menegur orang-orang yang beriman agar jangan sampai mereka seperti orang-orang munafik yang mereka pelit dan juga lalai dari mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, dan barang siapa yang tetap melakukan hal tersebut sungguh mereka termasuk orang-orang yang merugi.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/129