32. عَسَىٰ رَبُّنَآ أَن يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَآ إِنَّآ إِلَىٰ رَبِّنَا رَٰغِبُونَ
‘asā rabbunā ay yubdilanā khairam min-hā innā ilā rabbinā rāgibụn
32. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.
Tafsir :
Kisah Ashabul Jannah (pemilik kebun) ini menjadi dalil bahwa orang yang telah bertekad untuk melakukan keburukan maka Allah sudah mencatatnya sebagai dosa, tanpa dilihat apakah dia berhasil melakukannya atau tidak. Sebagaimana para pemilik kebun tersebut, mereka baru bertekad untuk menghalangi orang miskin di malam hari dan belum melakukannya. Akan tetapi Allah ﷻ telah mengirimkan azab sebelum mereka berhasil mewujudkan niatnya([1]). Oleh karenanya ini juga menunjukkan bahwa pelit adalah akhlak yang buruk. Oleh karenanya Allah ﷻ menamakan pelit dengan فَاحِشَة (perbuatan keji) ([2]). Sebagaimana dalam firman Allah ﷻ,
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 268)
Intinya meskipun sikap pelit mereka belum dikerjakan dan baru sekadar azam, ternyata Allah ﷻ telah turunkan azab([3]). Dan kaidah ini juga ditunjukkan oleh dalil-dalil yang lain, di antaranya sabda Nabi ﷺ,
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: إِنَّهُ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ
“Jika dua orang muslim berperang dengan pedang mereka, yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka.” para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, yang membunuh tentu saja (masuk neraka), tetapi bagaimana dengan yang terbunuh?’. Beliau menjawab, ‘Yang terbunuh juga ingin membunuh kawannya’.”([4])
Oleh karenanya kita harus ketahui bahwa jika seseorang telah berniat buruk dan telah berazam, atau bahkan telah melakukan usaha, maka berhasil atau tidak dia telah mendapatkan dosa([5]). Contoh zaman sekarang ini adalah seseorang yang masuk ke dunia internet dan hendak membuka situs-situs pornografi. Akan tetapi ternyata situs yang dia kunjungi tersebut terblokir. Berkali-kali dia mengulangi usaha tersebut untuk mencari situs yang lain, namun ternyata tetap terblokir. Ketahuilah bahwa usahanya tersebut telah dinilai dosa.
Sebagian ulama dalam buku-buku tafsir juga menjadikan kisah ini sebagai dalil bahwasanya jika ada seseorang yang memiliki harta yang telah mencapai nishab dan sebentar lagi tiba haulnya, namun dia kemudian mengeluarkan sebagiannya agar berkurang dari nishab dan agar tidak berzakat, maka dia telah berdosa. Dan Allah ﷻ Maha Mengetahui niat seseorang sengaja atau tidak. Karena yang demikian pula dia telah melakukan keburukan berupa mencegah hak orang miskin sebagaimana kisah Ashabul Jannah. Akan tetapi jika ditemukan ada orang yang seperti ini, maka sebagian ulama berpendapat bahwa dari orang tersebut tetap ditarik sebagian dari hartanya sebagai zakat. ([6])
Kisah ini juga merupakan dalil bahwa siapa yang tidak mensyukuri nikmat maka akan dicabut oleh Allah. Seorang ulama berkata :
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النِّعَمَ فَقَدْ تَعَرَّضَ لِزَوَالِهَا، وَمَنْ شَكَرَهَا فَقَدْ قَيَّدَهَا بِعِقَالِهَا
“Barangsiapa tidak mensyukuri nikmat berarti dia telah menjadikan nikmat tersebut terancam untuk hilang, dan barangsiapa mensyukurinya berarti dia mengikatnya dengan ikatannya”. ([7])
_____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/196 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/82.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 1/333.
([3]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/82.
([4]) HR. Bukhari no. 31 dan HR. Muslim no. 2888
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/241.