Teladan Sikap Berkasih Sayang
Surabaya, kota penuh kenangan, meskipun aku tidak pernah menetap di Surabaya, tetapi bagaimanapun ada perasaan cinta terhadap kota ini. Bagaimana tidak, aku dilahirkan di kota besar ini. Ibuku adalah orang Surabaya dan sering bercerita kepadaku tentang kota ini. Meskipun aku dilahirkan di kota ini, namun baru berumur sebulan aku harus meninggalkan kota besar ini menuju kota Sorong di Irian Jaya karena mengikuti orang tua yang mengadu nasib di sana. Tidaklah aku berkesempatan untuk menginjak kembali tempat kelahiranku ini, kecuali saat menginjak umur 20 tahun. Jadilah aku dikenal sebagai dai dari Irian Jaya[1].
Al-Hamdulillah, Allah masih memberikan aku kesempatan untuk mengunjungi tempat kelahiranku, terlebih dengan menemani Syaikh Abdurrazzaq. Kami tiba di bandara Surabaya pada Kamis pagi hari, setelah itu kami pun beranjak menuju ke salah satu apartemen yang cukup mewah milik salah seorang dermawan yang ada di Surabaya. Sebelumnya Syaikh meminta waktu satu jam untuk ke kamar kecil dan sarapan pagi serta persiapan untuk menuju ke lokasi pengajian, tetapi kenyataannya waktu yang tersedia tidak sampai satu jam sehingga Syaikh tidak sempat beristirahat. Akan tetapi, beliau tetap bersemangat saat mengisi pengajian. Di lokasi pengajian sudah berkumpul sekitar 350 orang yang dapat berbahasa Arab untuk mendengarkan nasihat beliau. Kemudian beliau mengisi pengajian hingga tiba waktu shalat zhuhur. Setelah shalat, kami masuk ke sebuah kamar kecil yang tersedia di dalamnya dua tempat tidur. Beliau pun minta untuk dipijit sambil menunggu diantarnya hidangan makan siang. Tidak lama kemudian ada tiga orang santri mengantarkan hidangan makan siang yang cukup mewah dan banyak. Aku pun mengatur meja makan yang terdapat dalam kamar dan juga ikut mengatur hidangan tersebut. Saat tiga santri tersebut ingin keluar dari kamar, Syaikh melarang mereka untuk keluar, dan meminta mereka untuk ikut serta makan bersama kami. Ketiga santri tersebut meminta maaf untuk tidak bisa makan bersama kami dengan alasan bahwa mereka sudah memiliki jatah makan siang. Akan tetapi, Syaikh tetap tidak mengizinkan mereka keluar, dan beliau tidak mau makan, kecuali ketiga santri tersebut makan bersama kami. Akhirnya dengan malu-malu ketiga santri tersebut ikut makan bersama kami. Bahkan Syaikh mengambilkan makanan bagi mereka, karena tampak sekali rasa malu mereka. Berulang kali Syaikh berkata kepadaku, “Firanda, tuangkan buat mereka sayur,” tidak berapa lama kemudian beliau berkata lagi, “Firanda berikan mereka ikan dan udang”, “Firanda ambilkan buat mereka buah”. Demikian seterusnya hingga makanan benar-benar bersih tidak tersisa sama sekali. Ini merupakan kebiasaan beliau, apabila makan beliau selalu menghabiskan makanan tanpa sisa. Bahkan sering kali saat piring beliau bersih, sebagian orang hendak menambah makanan ke piring beliau karena mengira beliau minta tambah, tetapi beliau menolak, seraya berkata, “Tidak, aku sudah cukup, hanya saja aku senang membersihkan piring”. Saat kami makan bersama ketiga santri, Syaikh mengajak ketiga santri tersebut mengobrol, beliau bertanya tentang asal mereka. Ternyata ketiga-tiganya berasal dari tempat yang berbeda-beda dan saling berjauhan. Maka Syaikh berkata, “Al-Hamdulillah, yang telah mengumpulkan kita dari tempat yang berbeda-beda di atas keimanan”. Bahkan Syaikh sempat mencandai mereka seraya berkata, “Firanda kalau nanti mereka mau mengambil jatah mereka di luar kabarkan ke panitia bahwa mereka bertiga sudah makan siang bersama kita”. Ketiga santri tersebut pun tertawa.
Setelah makan Syaikh pun istirahat, dan beliau juga menyuruhku untuk istirahat dalam kamar tersebut mengingat telah disediakan dua tempat tidur. Akan tetapi, aku katakan bahwa aku hendak keluar maka beliau dengan tegas berkata, “Pokoknya, kamu harus tidur di sini, jangan tidur di tempat lain.” Sepertinya Syaikh melihat tanda letih pada wajahku sehingga beliau bersikeras agar aku tidur di kamar beliau. Sebenarnya aku juga sudah letih, hanya saja aku tidak ingin mengganggu beliau, karena beliau belum istirahat sejak shubuh dan semalam tidur beliau kurang, serta hanya tinggal 1 jam lagi adzan shalat ashar akan dikumandangkan. Aku pun berkata, “Ya Syaikh, afwan ana ingin keluar mau menelpon keluarga, insyaa Allah nanti ana tidur selepas shalat ashar saat antum mengisi kajian.” Beliau berkata, “Jika perkaranya demikian maka silakan.” Aku berkata, “Insyaa Allah jam 3 sore tepat aku akan bangunkan antum untuk persiapan shalat ashar.”
Selepas shalat ashar kembali syaikh mengisi pengajian hingga tiba waktu shalat isya. Demikianlah Syaikh kalau sudah mengisi pengajian beliau sangat bersemangat, meskipun terkadang para hadirin yang justru letih. Ini sering kita rasakan saat di kota menghadiri daurah-daurah masyayikh di kota Madinah pada saat musim panas. Beliau biasanya memilih jadwal pengajian beliau selepas shalat shubuh hingga sekitar pukul 8 pagi. Pengajian beliau bisa jadi berlangsung 3 jam tanpa berhenti dan biasanya pada waktu seperti itu para hadirin diserang rasa kantuk berat. Akan tetapi beliau tetap bersemangat dalam mengisi pengajian. Demikian juga saat di Surabaya, meskipun beliau kurang istirahat, sejak shubuh tidak tidur dan hanya tidur 1 jam ditambah lagi keletihan bersafar serta tubuh beliau yang kurang sehat, semangat beliau tidak kendor dalam mengisi pengajian.
Selepas shalat isya kami pun diundang makan di rumah salah seorang ikhwan di Surabaya, dan tidak lupa ikhwan tersbut menghadirkan durian buah kesukaan Syaikh. Beliau pun memakan durian dengan lahapnya. Setelah itu kami kembali ke apartemen, dan setiba di apartemen Syaikh kembali minta untuk dipijit oleh si ahli herbal yang masih setia menemani perjalanan kami. Beliau dipijit sekitar 1 jam, dari jam 11 malam hingga jam 12 malam. Beliau sempat mengingatkan aku untuk bertanya kapan waktu adzan shubuh. Saat dipijit –seperti biasa- aku sering bertanya-tanya kepada beliau untuk memperoleh faedah. Kesempatan ini ternyata digunakan juga oleh si ahli herbal, ia minta agar syaikh menasihatinya. Syaikh pun tanpa ragu-ragu menasihati ahli herbal ini pada beberapa poin. Di antara nasihat beliau kepadanya, yaitu agar berhati-hati saat mengobati wanita, sesungguhnya fitnah wanita adalah fitnah terbesar bagi kaum pria. Setan sangat bersemangat untuk menggelincirkan kaum pria dengan menggunakan wanita sebagai perangkap. Kedua, hendaknya ahli herbal ini berusaha untuk mengungkap bentuk-bentuk pengobatan yang berbau mistis dan kesyirikan agar umat dapat terhindar dari tipuan dan bulan-bulanan mereka. Ketiga, agar ahli herbal ini mengajarkan beberapa orang khusus dengan gratis untuk mewarisi ilmunya sehingga dapat lebih bermanfaat bagi kaum muslimin. Saat mendengar nasihat-nasihat yang sangat berharga ini beliau pun menghaturkan ucapan terima kasih kepada beliau.
Setelah selesai dipijat kami pun tidur. Sebelum tidur beliau mengingatkan kepada kami untuk bertemu jam 4.30 tepat untuk melaksanakan shalat shubuh berjama’ah di kamar, karena adzan tidak dapat terdengar di apartemen tersebut. Malam itu aku dan si ahli herbal merasa letih hingga akhirnya kami pun terlambat bangun. Sekitar pukul 4.35 Syaikh mengetuk pintu kamarku, aku pun segera bersiap-siap, demikian juga si ahli herbal ini. Setelah memasuki kamar beliau ternyata beliau sudah menyiapkan sajadah untuk kami shalat berjama’ah. Beliau pun memerintahkan kami untuk shalat sunnah fajar terlebih dahulu setelah itu memimpin kami shalat shubuh. Meskipun beliau letih, dan jelas lebih letih daripada kami, beliau tetap menjalankan sunnah nabi dalam shalat shubuh saat hari Jum’at, yaitu membaca di rakaat pertama surah As-Sajdah dan di rakaat kedua membaca surah Al-Insaan.
Sekitar jam 9.15 kami berangkat untuk mengunjungi salah sebuah pesantren di Surabaya, setelah itu kamipun berangkat ke masjid Agung di Surabaya karena syaikh akan menyampaikan khutbah jum’at di masjid tersebut. Selepas shalat jum’at, khutbah pun diterjemahkan oleh salah seorang ustadz di Surabaya, setelah itu di buka forum tanya jawab dengan para jama’ah. Saat itu banyak orang awam yang hadir, dan mungkin beragam juga pemahaman mereka. Di antara pertanyaan yang menarik –sepertinya ingin menimbulkan kericuhan- sebuah pertanyaan yang disampaikan langsung oleh salah seorang jama’ah yang hadir. Inti dari pertanyaan tersebut, “Ya Syaikh, kenapa kaum muslimin sepertinya tidak suka dengan keluarga Nabi?” Setelah itu Syaikh menjawab dengan jelas dan tegas akan aqidah Ahlus Sunnah terhadap keluarga Nabi, bahwasanya Ahlus Sunnah cinta dan menghormati para keturunan Nabi. Setelah itu Syaikh menyebutkan bukti bahwa Ahlus Sunnah dan kaum muslimin cinta kepada keturunan Nabi. Beliau memberi kaidah bahwasanya tidaklah seseorang memberi nama kepada anaknya kecuali dengan nama seseorang yang dicintainya. Kemudian beliau menjelaskan bahwa banyak orang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab benci kepada keluarga dan keturunan Nabi. Maka kata syaikh ini merupakan tuduhan dusta, karena syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki enam orang putra dan seorang putri. Semuanya diberi nama dengan nama keluarga nabi, kecuali hanya salah seorang putranya yang bernama Abdul Aziz. Ini merupakan kebiasaan ulama Ahlus Sunnah, yaitu memberikan nama putra putri mereka dengan nama-nama alul bait. Bahkan ayah aku, Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad juga memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama keturunan nabi.
Setelah menjelaskan kaidah ini, beliau kemudian bertanya kepada para hadirin jama’ah shalat jum’at, beliau berkata, “Siapa yang salah satu nama anaknya seperti nama keturunan nabi hendaknya mengangkat tangan.” Rupanya banyak sekali yang mengangkat tangan. Setelah itu beliau berkata, “Lihatlah yang angkat tangan sangatlah banyak, ini menunjukan bahwa perkataan si penanya kalau kaum muslimin tidak suka dengan keluarga nabi adalah pernyataan yang tidak benar”. Cara menjawab Syaikh seperti ini banyak membuat para hadirin kagum, demikian juga ustadz-ustadz yang ada di Surabaya, mereka berujar, “Syaikh sangat cerdas.”
Setelah itu kami pun menuju bandara karena jadwal keberangkatan sekitar jam 4 sore. Di tengah perjalanan, kami mampir di sebuah restoran Indonesia untuk makan siang. Saat itu di antara hidangan yang ada adalah nasi putih, ikan goreng, dan sayur kangkung. Rupanya pada saat makan Syaikh melihat aku lahap sekali makan sayur kangkung. Beliau bertanya kepadaku, “Sayur apa itu?” Aku katakan, “Syaikh ini adalah munawwim (obat tidur),” Beliau berkata, “Kalau begitu berikan yang banyak sayur itu untukku, karena aku ingin bisa tidur di pesawat.” Demikianlah Syaikh tidak pernah mempermasalahkan makanan selama kami di Indonesia. Bahkan nasi putih, yang biasanya tidak disukai orang Arab pun disantap habis oleh beliau. Tidak terkecuali sayur kangkung.
Setelah itu kami pun berangkat dari Surabaya menuju ke Jakarta.
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: SEPENGGAL CATATAN PERJALANAN
DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlaq dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh
___________
Footnote:
[1] Di antara cerita lucu yang pernah aku alami, tatkala di bulan Ramadhan tahun 2009 aku diminta untuk mengisi pengajian di kota Medan. Saat aku tiba di sana untuk menyampaikan kajian, tiba-tiba ada seorang –di antara para hadirin- yang nyeletuk, “Ana kira ustadz hitam besar berambut kribo seperti pemain bola Ruud Gulit”. Rupanya orang ini mengira aku orang asli Irian Jaya yang berkulit hitam dan berambut kriting. Maka aku pun menjelaskan kepadanya bahwa ayahku berasal dari suku bugis, dan ibuku dari Surabaya, tetapi aku besar di Irian Jaya. Kemudian aku pun mencandai orang tersebut, “Aku bukan seperti Ruud Gulit, tetapi aku seperti Marco van Basten yang berambut lurus.” Orang itupun tertawa.