Berlemah Lembut dan Tidak Mengeluh
Akhirnya kembali kami menginjakkan kaki ke Jakarta. Kami tiba di bandara Cengkareng sekitar pukul 5 sore. Saat itu kami dijemput seorang ustadz yang ditemani oleh salah seorang pilot Garuda yang juga suka mendengarkan ceramah Syaikh di Radio Rodja. Syaikh sempat memintaku untuk menyampaikan kepada pilot tersebut rasa terima kasih beliau karena harus merepotkan sang pilot. Sang pilot berkata, “Aku yang senang dapat membantu beliau.” Cobalah lihat bagaimana akhlak Syaikh beliau berusaha memberitahu kepada sang pilot rasa terima kasihnya. Hal ini tentu menyenangkan hati sang pilot.
Lalu kami kembali berangkat menuju hotel, dan saat tiba di hotel kami pun shalat maghrib. Setelah itu aku minta izin Syaikh untuk tidak bisa hadir dalam acara makan malam dan ramah tamah malam ini yang diadakan di hotel tersebut karena aku harus tidur di rumah teman untuk bertemu dengan omku yang rumahnya terletak dengan rumah temanku tersebut. Al-Hamdulillah, syaikh mengizinkan aku. Namun, beliau sempat bertanya, “Kapan kita ketemu lagi”. Aku katakan, “Besok pagi insyaa Allah sekitar jam 9 pagi di lokasi pengajian.”
Keesokan harinya beliau mengisi pengajian di hadapan para dai dari sekitar pulau Jawa yang berjumlah sekitar 300 peserta. Tempat pengajian di aula kali ini cukup terbatas sehingga jumlah yang hadir pun terbatas. Aula tersebut disediakan oleh salah seorang menteri, dan menteri itu yang membuka acara pengajian ini dengan menyampaikan kesannya atas dakwah Ahlus Sunnah, terlebih dengan kehadiran Radio Rodja. Aku duduk di samping Syaikh dan menerjemahkan langsung apa yang disampaikan oleh pak menteri. Tidak lama kemudian Syaikh diminta untuk mengisi pengajian, tetapi ternyata sebelum syaikh menyampaikan pengajian, beliau sempat menyampaikan rasa gembiranya dengan sambutan pak menteri dan mendoakannya. Setelah itu baru beliau mengisi pengajian untuk para dai. Aku masih ingat sebelum beliau naik ke podium, beliau sempat memanggil dan memintaku untuk mencatat nama menteri tersebut dalam bahasa Arab untuk beliau hafalkan. Padahal namanya cukup sulit apabila diucapkan dalam bahasa Arab, namun beliau tetap menghapalkannya dan beliau sebut saat menyampaikan rasa gembira beliau terhadap sambutan menteri.
Pengajian dimulai hingga tiba waktu shalat zhuhur. Setelah acara makan siang, pengajian dilanjutkan hingga jam dua, dan pada saat jam dua tepat Syaikh memberhentikan materi yang disampaikannya, kemudian beliau membuka forum tanya jawab. Pertanyaan pertama yang disampaikan kepada Syaikh adalah pertanyaan dari salah seorang dai yang risau mengenai kekhilafan yang terjadi di antara para dai. Dai ini berkata yang intinya, “Ya syaikh, sesungguhnya bertemu dengan anda adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan. Kita mengetahui bersama atas berkembangnya dakwah ahlus sunnah, meskipun demikian masih ada perselisihan yang timbul di antara para dai, di antaranya permasalahan yayasan.” Belum sang dai melanjutkan pertanyaannya Syaikh menegurnya dengan berkata, “Tidak perlu diperinci contoh perselisihan yang ada, aku tidak butuh dengan perincian.” Kemudian beliau menasihati kepada dai tersebut dan seluruh yang hadir dengan berkata yang intinya, “Alhamdulillah, selama 6 hari di Indonesia di beberapa tempat Al-Hamdulillahaku menemukan ahlus sunnah bersatu, jika ada kesalahan di antara para dai maka itu merupakan hal yang wajar.”
Demikianlah Syaikh, beliau paling tidak suka masuk dalam kancah perselisihan. Bahkan setelah itu beliau berkata, “Aku sengaja memotong pertanyaan dai tersebut agar para hadirin tahu bahwasanya aku tidak suka masuk dalam perincian khilaf di antara para dai.” Dari peristiwa ini, aku jadi ingat pernah suatu saat ada perselisihan yang timbul di antara para dai dari sebuah negara. Sebagian dai yang berselisih tersebut masih belajar di kota Madinah, mereka pun mengunjungi Syaikh dan menyampaikan keluhan mereka terhadap sebagian dai-dai senior yang mengeluarkan kebijaksanaan yang kurang bisa diterima. Kebetulan saat itu aku sedang berada di rumah Syaikh sehingga ikut mendengarkan keluhan mereka. Beberapa hari kemudian syaikh bertemu dengan dai-dai tersebut, beliau pun berkata, “Si fulan dan si fulan serta teman-temannya di Madinah (maksud syaikh dari-dai muda yang masih belajar di Madinah yang mengeluhkan dai-dai senior) selalu memuji-muji kalian, dan menyebutkan kebaikan-kebaikan kalian.” Setelah dai-dai senior tersebut pergi, Syaikh berkata kepadaku, “Ya Firanda tidak ada yang lebih baik daripada mendamaikan di antara dua pihak yang bersengketa.” Beliau membaca firman Allah berikut ini:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. An-Nisaa’ (4): 114)
Pada pukul 14.30 kami langsung beranjak menuju Radio Rodja. Alhamdulillah, kami tiba di Radio Rodja saat shalat ashar. Sebelum masuk masjid, Syaikh sempat menyalami para ikhwah yang ada di sana. Saat ada seorang tua di depan masjid, Syaikh langsung memeluk orang tua tersebut menunjukkan rasa hormat beliau. Selepas shalat ashar syaikh langsung mengisi pengajian di Radio Rodja. Sebelum memulai pengajian, beliau sempat bertemu dengan anak-anak kecil yang telah berkumpul di halaman studio Radio Rodja. Beliau berjabat tangan dengan anak-anak, membagi-bagikan kue dan buah-buahan yang ada di mobil yang disediakan untuk beliau. Tidak cukup sampai di sini, kebetulan di dekat studio ada kios kecil yang menjual roti, Syaikh mengeluarkan uang 100 real dan berkata, “Firanda beli semua roti yang ada di kios tersebut, kemudian bagikan ke anak-anak!”
Setelah mengisi pengajian di Radio Rodja, kami pun kembali menuju hotel dan beristirahat untuk persiapan acara inti besok hari pada Ahad, 17 Januari 2010 yaitu tabligh akbar di masjid Istiqlal. Keesokan harinya setelah sarapan pagi kami pun berangkat menuju masjid Istiqlal, dan ternyata masjid itu telah dipenuhi dengan para hadirin. Syaikh pun memberi ceramah bertemakan sebab-sebab kebahagiaan, dari pukul 9 hingga tiba waktu shalat zhuhur. Alhamdulillah, pengajian berjalan dengan lancar yang dihadiri lebih dari100 ribu jama’ah. Saat di akhir pengajian, aku sampaikan kepada para hadirin mengenai bagaimana kecintaan Syaikh kepada rakyat Indonesia yang dikenal dengan sopan santun dan adabnya yang tinggi. Juga kelembutan mereka serta sikap yang baik, sabar, dan tidak senang ribut. Namun, saat mendengar kata terakhir bahwa orang Indonesia tidak senang ribut, para hadirin serentak tertawa. Mengingat, betapa banyak keributan terjadi di tanah air. Syaikh pun sempat heran melihat para hadirin tertawa karena beliau merasa tidak ada yang melucu sehingga beliau menanyakan hal ini kepadaku. Setelah aku jelaskan perkaranya, beliau pun ikut tertawa.
Beberapa kali Syaikh mengungkapkan kekaguman beliau terhadap adab dan sopan santun orang-orang Indonesia. Bahkan beliau sempat terheran-heran saat mengisi pengajian di masjid Istqlal ada salah seorang hadirin yang meminta izin untuk berwudhu dengan mengangkat tangan sambil memberi isyarat kepada Syaikh bahwa ia ingin keluar dari masjid. Kata Syaikh, “Subhaanallah, sempat-sempatnya ia angkat tangan minta izin, padahal jarak antara aku dan dia sangat jauh.” Hal seperti ini di kalangan orang Indonesia tentu menjadi hal biasa, namun fenomena seperti ini tidak pernah dilihat oleh Syaikh sebelumnya, baik di Arab Saudi maupun di negara-negara lain yang pernah beliau kunjungi.
Selesai shalat zhuhur kami kembali sebentar ke hotel setelah itu aku dan Syaikh diantar oleh salah seorang supir (ia juga merupakan salah satu donatur Radio Rodja) menuju pasar tanah abang untuk belanja hadiah untuk keluarga Syaikh di Madinah. Saat sampai di pasar, sang supir meminta maaf kepada Syaikh karena tidak dapat memarkirkan mobilnya dekat dengan pasar, tetapi harus jauh karena kondisi pasar yang sangat padat. Saat hendak parker, seperti biasa seorang tukang parkir membantu parkiran yang kemudian diberi ongkos jasa parkir. Syaikh sempat heran melihat kehadiran tukang parkir ini, ”Firanda, untuk apa orang itu bantu parkir, kan abu fulan (pak supir) bisa parkir sendiri tanpa bantuannya?” Hal yang wajar apabila Syaikh merasa terheran-heran karena di Arab Saudi tidak ada pemandangan seperti ini. Aku pun menjelaskan, “Ya syaikh, ia itu sedang mencari nafkah, karena kemiskinan di negara kita sehingga berbagai model kerjaan dilakukan, di antaranya kreasi para tukang parkir.”
Setelah mobil diparkir, kami pun berjalan menuju pasar Tanah Abang, dan saat itu kondisi pasar bagian luar agak becek, bahkan sebagian tempat tergenang air. Meskipun Syaikh harus berjalan agak jauh dan harus melewati tanah yang becek di tengah keramaian, namun beliau sama sekali tidak mengeluh. Kami pun memasuki pasar Tanah Abang, dan beliau memang ingin mencari baju-baju wanita khas Indonesia, terutama yang bernuansa batik. Akhirnya setelah lama berputar-putar sudah banyak baju yang dibeli beliau. Beliau juga membeli baju untuk anak-anak dan usia bayi karena beliau masih memiliki seorang putra yang berumur belum setahun. Selain itu beliau juga belikan untuk cucu-cucu beliau. Untuk sementara yang membayar adalah sang sopir karena syaikh hanya membawa uang real, tidak membawa uang rupiah. Tidak terasa ternyata telah masuk waktu ashar, dan subhaanallah ternyata kumandang adzan ashar terdengar di dalam pasar, hal ini sangat menyenangkan hati beliau. Kami pun menuju mushala, ternyata mushalanya sangat kecil, sekitar 2 kali 6 meter sehingga masing-masing orang shalat sendiri-sendiri, dan banyak orang yang ngantri. Aku dan Syaikh pun ikutan ngantri. Mushala kecil tersebut terbagi menjadi dua saf, saf depan untuk para lelaki dan saf belakang untuk para wanita. Suatu pemandangan yang aneh bagi Syaikh, ada beberapa wanita yang tidak berjilbab, bahkan ada yang menampakkan auratnya dengan memakai pakaian menor, tetapi ikut mengantri untuk shalat sambil membawa mukena. Syaikh bergumam, “Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka karena shalat mereka ini. Kasihan… karena kejahilan mereka.” Setelah shalat kami kembali melanjutkan belanja karena beliau ingin memberikan hadiah bagi seluruh anggota keluarganya untuk putra putri, istri dan juga cucu-cucu beliau.
Saat kami hendak keluar dari pasar tanah abang, Syaikh melewati seorang wanita yang menjual mainan gasing dengan lambu-lampu yang berputar. Akan tetapi sayang, gasing-gasing tersebut mengeluarkan musik. Beliau tertarik dan bertanya kepada wanita penjual tersebut, “Apakah ada gasing yang berputar tanpa musik?” Al-Hamdulillah, ternyata ada, Syaikh mengatakan ingin membeli lebih dari sepuluh butir dan minta didiskon. Setelah tawar-menawar akhirnya penjual itupun menurunkan harganya, tetapi syaikh belum sepakat dengan harga tersebut. Aku katakan kepada Syaikh agar beliau mengambilnya, namun Syaikh justru mengatakan untuk meninggalkan penjual tersebut, nanti ia akan memanggil kita. Ternyata benar saat kami pura-pura berpaling sang penjual memanggil kami dan setuju dengan harga yang diajukan Syaikh. Aku bergumam dalam hati, “Ternyata Syaikh juga pintar nawar, tidak seperti aku.” Tidak lama kemudian beliau berhenti beberapa menit, kali ini pandangan beliau tertuju pada mainan boneka monyet kecil yang bersatu dengan sendirinya sehingga terlihat lucu. Syaikh berkata kepadaku, “Mainan ini menarik, hanya saja berbentuk patung monyet.” Beliau pun tidak jadi membeli mainan tersebut dan kami pun keluar dari pasar. Ternyata sang supir yang mengantarkan kami belanja dan memegang seluruh plastik belanjaan Syaikh merasa ada barang belanjaan Syaikh yang tertinggal. Supir ini tampak grogi dan merasa bersalah. Syaikh memegang pundaknya seraya berkata, “Ya Abu fulaan, tidak usah khawatir, tidak mengapa kalau hilang. Namun bisa jadi juga tidak hilang.” Namun, sang supir masih saja merasa bersalah dan kembali memegang pundaknya sambil berkata, “Ya abu fulaan, jangan dipikirkan dan jangan khawatir serta bersedih. Perkaranya ringan.” Subhaanallah, beliau sama sekali tidak marah dan tidak mengeluh, bahkan berusaha menenangkan sang supir. Tidak lama kemudian, waktu menunjukkan masuk waktu shalat maghrib. Aku katakan, “Yaa syaikh kita akhirkan shalat maghrib saja, kita jamak dengan shalat isya, kita kan musafir?” Beliau berkata, “Iya kita memang musafir, tetapi si abu fulan (sang supir) bukan musafir, ia harus shalat pada waktunya.” Syaikh bercerita, “Suatu saat aku pernah di Brazil, bersama beberapa ikhwah dalam satu mobil. Kami sedang menuju suatu tempat, dan waktu sudah menunjukkan masuk shalat ashar. Mereka yang bersamaku memang agak lemah imannya (kemungkinan masih baru masuk Islam), maka aku pun berkata bahwa kita harus berhenti shalat ashar. Mereka berkata, “Kita belum sampai tujuan, nanti saja shalat asharnya.” Aku berkata, “Tidak, kita harus berhenti waktu ashar akan habis.” Akhirnya kami pun berhenti dan aku pun adzan sendiri kemudian shalat dengan salah seorang di antara mereka, sedang yang lain hanya menunggu. Saat kami sedang shalat, tiba-tiba banyak anak-anak kecil berkerumunan di sekililng kami, rupanya mereka anak-anak beragama Kristen, dan tidak pernah melihat gerakan shalat. Akhirnya kami shalat maghrib di sebuah masjid di pinggir jalan. Setelah shalat kami sempat mampir di salah satu supermarket untuk mencari pakaian olahraga untuk putra beliau. Al-Hamdulillah, kami mendapatkannya. Saat hendak keluar, Syaikh mengingatkan aku, “Firanda aku ingin beli coklat.” Aku katakan, “Syaikh coba beli silverqueen, itu coklat yang paling aku sukai hanya saja tidak ada di Arab Saudi.” Beliau berkata, “Bukan, tetapi buat anak-anak yang akan kita temui di Radio Rodja. Akhirnya kami pun membeli hadiah coklat yang cukup banyak untuk beliau bagi-bagikan kepada anak-anak. Tanpa aku sadari ternyata beliau juga membeli silverqueen dua buah. Saat naik mobil Syaikh membuka salah satu silverqueen kemudian beliau memakannya sambil berkata, “memang benar enak”, beliau lalu memberikan sepotong coklat kepadaku dan juga kepada sang supir. Setibanya kami di Radio Rodja tepat waktu shalat isya, kami pun shalat isya. Selepas shalat Syaikh pun mulai membagikan coklat kepada anak-anak, dan selanjutnya mengisi kajian. Setelah kajian Syaikh masih sempat membagi-bagikan coklat kepada anak-anak yang belum mendapatkan coklat sebelumnya. Di saat semua anak telah mendapatkan coklat Syaikh memanggil seorang ikhwah yang aku mengenalnya, dan ia sudah lulus di sekolah tingkat atas, hanya saja wajahnya masih babyface. Syaikh pun memberikan kepadanya coklat silverqueen yang masih tersisa satu. Kata Syaikh, “Meskipun ia sudah besar, tidak ada salahnya kita kasih coklat, insyaa Allah ia akan senang.”
Malam itu kami kembali bermalam di hotel, dan saat pagi harinya Syaikh diundang pemilik hotel untuk sarapan pagi. Tepat jam 8 pagi Syaikh turun menuju ruang makan, namun ternyata tidak ingin sarapan, hanya meminum teh dan menemani kami. Subhaanallah, meskipun beliau tidak sarapan pagi, tetapi beliau tetap memenuhi undangan pemilik hotel untuk sarapan pagi, tidak lain untuk menyenangkan hatinya. Setelah sarapan sang pemilik hotel ingin berbicara empat mata dengan Syaikh dan aku sebagai penerjemah. Syaikh pun bersedia. Kemudian kami bertiga duduk di pojok lobi, ternyata pemilik hotel ingin menyampaikan rasa terima kasih beliau terhadap dakwah Syaikh yang penuh barakah. Ia sangat terpukau dengan cara Syaikh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk dari para pemirsa Radio Rodja, yaitu dengan kelembutan dan hikmah. Pemilik hotel ini juga mengeluh dengan kondisi sebagian ustadz yang agak keras, bahkan ia bercerita kalau baru saja menghadiri walimah dan bertemu dengan salah seorang ahlul bid’ah yang sesat, tetapi ia –dan juga para hadirin- terpukau dengan keramah tamahannya. Saat bertemu dengannya sang ahlul bid’ah ini langung memeluk dan menanyakan kabar keluarganya serta hal lainnya yang semuanya benar-benar menyentuh hati. Pemilik hotel ini berkata, “Coba kalau para ustadz Ahlus Sunnah juga demikian?” Syaikh lalu mengomentari perkataan pemilik hotel ini seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kashar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Apabila nabi bersikap keras tentu para sahabat akan lari meninggalkan Nabi. Salah satu hal yang menunjukkan akhlak nabi saat beliau menaklukkan kota Mekah (Fathu Makkah), di mana saat Nabi memasuki kota Mekah beliau menundukan kepalanya. Ini menunjukan sikap tawadhu Nabi yang luar biasa. Sesungguhnya Nabi telah diusir oleh kaumnya dari kota Mekah dengan paksa, dan setelah sekian lama terusir akhirnya kembali menaklukkan kota Mekah. Apabila kita yang berada di posisi Nabi, mungkin kita sudah sangat sombong dan menunjukkan kemarahan terhadap orang-orang yang dahulu mengusir kita. Kita juga mungkin akan berkata, “Wahai kaum yang telah mengusirku, sekarang aku kembali dan menaklukkan kalian.” Bahkan bisa jadi kita membalas dendam. Akan tetapi, tidak demikian dengan, bahkan beliau memasuki kota Mekah dengan penuh ketenangan sambil menundukkan kepala beliau penuh dengan sikap tawadhu. Setelah itu Abu Bakr menemui Nabi sambil membawa ayah beliau Abu Quhaafah –yang saat itu sudah sangat tua dan masih musyrik-. Maka Nabi berkata kepada Abu Bakr, “Kenapa kau tidak biarkan syaikh (ayahmu) tetap di rumahnya dan biar saja aku yang mendatanginya?” Lihatlah bagaimana tawadhunya Nabi terhadap orangtua, Nabi yang terusir dari kota Mekah dan kembali menaklukkan kota Mekah sama sekali tidak membenci orang-orang musyrik yang dahulu memusuhinya. Bahkan dengan rendah hati berkata kepada Abu Quhaafah yang masih musyrik dengan perkataan tersebut “Biarkan aku yang ke rumahnya, bukan ia yang datang menemuiku.” Sungguh sikap tawadhu yang luar biasa. Setelah mendengar ucapan tersebut maka masuk islamlah Abu Quhaafah. Subhaanallah karena perlakuan dan sikap yang penuh kelembutan dan tawadhu dari Nabi ia pun masuk Islam. Syaikh berkata juga, “Jika kita berakhlak baik terhadap orang yang menyelisihi kita akan membuat ia terpaksa mendengar perkataan kita.”
Setelah pertemuan empat mata tersebut, kami pun kembali ditemani oleh sang supir yang setia untuk berjalan-berjalan membeli hadiah untuk keluarga Syaikh. Sekali lagi kami kembali pergi ke pasar Tanah Abang. Syaikh membeli lima buah jam dinding yang cukup indah berbentuk kapal dan jangkar yang terbuat dari kayu. Masing-masing harganya sekitar 300 ribuan rupiah setelah ditawar oleh Syaikh. Beliau berkata kepadaku, “Insyaa Allah keluargaku dan anak-anakku akan senang dengan jam dinding ini yang modelnya antik. Hadiah seperti ini akan bertahan lama, dan bisa dipajang di ruangan. Lagian aku akan mencandai mereka, aku akan berkata bahwasanya jam ini tadinya berharga 450 ribu, akhirnya setelah ditawar harganya jatuh menjadi 300 ribu tanpa aku sebutkan rupiah agar mereka mengira 300 ribu real (Rp750 juta).”
Setelah itu kami pun kembali ke hotel dan siap untuk berangkat menuju bandara Cengkareng. Di tengah perjalanan Syaikh memberikan uang kepada sang supir ongkos biaya belanja selama dua hari yang ditanggungnya. Namun, sang supir menolak seraya berkata, “Aku juga ingin dapat pahala, ingin memberikan hadiah kepada syaikh, kalau syaikh kan sudah banyak amalannya, sedang aku tidak punya amalan. Jadi, biarlah ini hadiah dariku untuk keluarga beliau.” Sang supir menolak menerima uang dari Syaikh. Namun, Syaikh punya cara agar dapat membuat sang supir menerima uang tersebut dengan perkataannya, “Wahai abu fulan (sang supir), saat pulang ke Madinah aku ingin kabarkan kepada anak-anakku bahwa hadiah ini aku yang belikan untuk mereka, agar mereka senang terhadap perhatian ayahnya. Tetapi kalau ternyata yang bayar engkau, berarti aku tidak jujur terhadap anak-anakku.” Akhirnya dengan berat hati sang supir menerima uang 2.000 real tersebut. Lihatlah bagaimana cara Syaikh agar sang supir tetap menerima uang tersebut, namun tidak tersinggung. Selama di dalam perjalanan, beberapa kali sang supir meminta nasihat kepada beliau, dan sesungguhnya nasihat yang disampaikan Syaikh sangatlah bagus. Jika saja nasihat tersebut tidak berkaitan dengan kepribadian sang supir, mungkin akan aku sampaikan di sini.
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: SEPENGGAL CATATAN PERJALANAN
DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlaq dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh)