Renungan dari Akhlaq Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr
Contoh-contoh teladan dari sikap dan kepribadian Syaikh yang telah disebutkan tidak lain adalah sebagai cambuk bagi kita, khususnya penulis yang masih sangat kurang dan jauh dari akhlak para ulama. Terkadang karena bisikian setan, kita merasa akhlak kita sudah baik. Hal itupun dikarenakan seringnya kita berhusnuzhan pada jiwa kita yang sangat lemah ini, namun jika membaca perjalanan hidup para ulama dan menelaah akhlak mereka tampaklah bahwa kita sangat jauh. Padahal permasalahan akhlak menjadi perhatian serius dalam dakwah Ahlus Sunnah, tidak hanya masalah aqidah. Bahkan bukanlah hal yang berlebihan apabila dikatakan dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah yang menitikberatkan pada aqidah dan akhlaq. Itulah ciri dakwah Nabi, bahkan ciri ini dikenal oleh musuh-musuh Nabi dari kalangan kaum musyrikin.
Pada saat Heraqlius bertemu dengan Abu Sufyan, yang saat itu masih dalam keadaan musyrik , Heraqlius bertanya kepadanya mengenai ciri-ciri Nabi. Pertanyaan yang dikemukakan Heraqlius antara lain: مَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ “Apa yang diperintahkan Nabi tersebut kepada kalian?” Maka Abu Sufyan yang pada saat itu gembong kaum musyrikin berkata:
يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
Ia (Muhammad) berkata, “Tauhidkanlah Allah dalam beribadah dan janganlah kalian berbuat kesyirikan apa pun bentuknya, dan tinggalkanlah apa yang telah dikatakan oleh nenek moyang kalian”. Dan ia (Muhammad) memerintahkan kami untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, bersikap jujur, dan menjaga kehormatan diri serta menyambung silaturahmi.[1]
Demikianlah dakwah Nabi yang dikenal di kalangan kaum musyrikin sebagai dakwah tauhid dan akhlaq. Oleh karena itu, Abdullah bin Salaam pernah berkata:
لَمَّا أَنْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- الْمَدِينَةَ ، وَانْجَفَلَ النَّاسُ قِبَلَهُ فَقَالُوا : قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَجِئْتُ فِى النَّاسِ لأَنْظُرَ إِلَى وَجْهِهِ ، فَلَمَّا أَنْ رَأَيْتُ وَجْهَهُ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ، فَكَانَ أَوَّلُ شَىْءٍ سَمِعْتُ مِنْهُ أَنْ قَالَ :« يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَأَفْشُوا السَّلاَمَ، وَصِلُوا الأَرْحَامَ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ».
Saat Rasulullah mendatangi kota Madinah dan orang-orang pun segera pergi menyambut beliau dan mereka berkata, “Rasulullah telah datang”. Maka aku pun mendatangi orang-orang untuk melihat wajah Nabi. Saat aku melihat wajahnya, aku tahu bahwasa wajah beliau bukanlah wajah pendusta. Adapun hal yang pertama aku dengar dari beliau adalah sabda beliau “Wahai manusia, berilah makan, tebarkanlah salam, sambunglah silaturahmi, dan shalatlah di malam hari di saat orang-orang dalam keadaan tidur niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Ibnu Majah No. 3251 dan Ahmad 39/201 No. 23784 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Lihatlah Nabi membuka dakwahnya di kota Madinah dengan menyeru kepada penerapan akhlaq yang mulia. Oleh karena itu, bagaimana mungkin jika dakwah Ahlus sunnah tidak menitikberatkan permasalahan akhlaq, sedangkan Nabi pernah bersabda
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 45)
Bahkan barangsiapa yang mengamati dalil-dalil yang mendorong untuk berakhlak mulia maka ia akan kaget dan takjub karena terlalu banyaknya dalil yang mengacu pada hal tersebut. Ia akan terpukau dengan ganjaran dan pahala yang diberikan kepada orang yang berakhlak mulia, di antaranya dijelaskan dalam sabda Nabi berikut:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ السَّاهِرَ بِاللَّيْلِ الظَّامِىءِ بِالْهَوَاجِرِ
Sesungguhnya seseorang dengan akhlaknya yang mulia mencapai derajat orang yang bergadang (karena shalat malam) dan orang yang kehausan di siang hari yang panas (karena puasa).[2]
Demikian pula sabda beliau:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى الله وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
Yang paling banyak dapat memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia. (HR At-Tirmidzi, Ibnu Maajah, dan Al-Haakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Juga sabda beliau
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah seseorang yang paling baik akhlaknya di antara mereka[3].
Juga sabda beliau
مَا مِنْ شَىْءٍ أَثْقَلُ فِى الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
Tidak ada yang lebih berat pada timbangan (kebaikan di hari qiamat) daripada akhlaq yang baik.[4]
Selain itu, disebutkan pula dalam sabda beliau sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dan dari kakeknya bahwa ia mendengar Nabi berkata:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ فَأَعَادَهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ الْقَوْمُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَحْسَنُكُمْ خُلُقًا
“Maukah Aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang paling Aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya dengan-Ku pada hari kiamat kelak?” Para sahabat pun terdiam, lalu Nabi mengulangi perkataannya tersebut sebanyak dua atau tiga kali. Maka para sahabat menjawab, “Iya ya Rasulullah.” Nabi pun berkata, “Yang paling baik akhlaqnya di antara kalian.” (HR. Ahmad 11/347 No. 6.735 dengan sanad yang hasan)
Nabi juga bersabda
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ عَلَى كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang diharamkan masuk neraka, atau neraka diharamkan untuknya? Yaitu diharamkan bagi setiap orang yang dekat (dengan orang lain), ringan (dengan orang lain), dan mudah (berakhlak mulia).” (HR. At-Tirmidzi No 2.488 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di Ash-Shahihah No. 935, dan lihat penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi, 7/160)
Bahkan terlalu banyak ayat dan hadits yang mengkaitkan antara aqidah dengan akhlaq, karena akhlaq merupakan penerapan aqidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin untuk beribadah kepada-Nya dan untuk berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana firman Allah berikut.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An-Nisaa’ (4): 36)
Ayat ini merupakan perintah untuk berakhlaq yang tinggi (mulia) dan Allah mencintai akhlaq yang mulia dan membenci akhlaq yang buruk. [5] Pada ayat di atas pun Allah menggandengkan antara tauhid dengan akhlaq yang mulia. Oleh karena itu, dalam banyak hadits Nabi menegaskan bahwa akhlaq yang mulia adalah bukti dari aqidah dan keimanan yang benar, di antaranya dalam sabda beliau berikut ini.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia mengganggu tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak amanah. (HR. Ahmad 19/376 No. 12.383 dengan sanad yang hasan)
Tidaklah seseorang menjaga lisannya, kecuali karena keyakinannya akan adanya malaikat Allah yang mencatat seluruh amalannya dan akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat kelak. Demikian juga tidaklah seseorang memuliakan tamunya, kecuali karena imannya yang kuat bahwa Allah akan membalas kebaikannya. Tidaklah seseorang menjaga amanah, kecuali karena imannya yang kuat dan keyakinannya bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabannya pada hari kimat kelak. Sebaliknya, jika ada orang yang bicaranya ceplas ceplos, tidak dipikirkan dampak buruk ucapannya, bisa jadi menyebabkan banyak keburukan atau menyakiti hati orang lain, ini menunjukan keimanannya lemah. Meskipun ia sangat menghapal hadits ini maka ilmunya dapat dikatakan hanya sekadar hiasan bibir tanpa ada penerapan. Demikian juga jika ada orang yang mengaku beraqidah benar, kemudian tidak amanah dan tidak jujur maka ketahuilah imannya itu juga hanyalah hiasan. Bagaimana tidak? Rasulullah telah menafikan keimanan dari orang yang tidak amanah.
Demikian juga jika ada orang yang mengaku beraqidah benar, namun bersifat bakhil sehingga tidak memuliakan tamunya. Sikap ini jelas tidak menunjukkan keimanan dan aqidah yang diaku-akuinya tersebut. Hal ini karena keyakinannya masih lemah. Oleh karena itu, Nabi pernah bersabda
وَلَا يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
Dan tidak akan terkumpul rasa pelit dan keimanan dalam hati seorang hamba selamanya. (HR. An-Nasaai No. 3110 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Melalui buku ini diharapkan dapat mendorong penulis dan kaum muslim umumnya untuk mengoreksi diri, apakah pengakuan kita selama ini bahwa kita berada di atas aqidah dan keimanan yang benar hanya sebatas ilmu dan wawasan dengan tanpa bukti atau hanya sebagai hiasan bibir?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memasukkan penerapan akhlaq yang mulia dalam permasalahan aqidah. Beliau berkata dalam risalah beliau Al-Aqidah Al-Washithiyyah yang menjelaskan aqidah Al-Firqah An-Naajiah Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah,
وَيَدْعُوْنَ إِلَى مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ وَمَحَاسِنِ الأَعْمَالِ وَيَعْتَقِدُوْنَ مَعْنَى قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم : ( أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقَا ) وَيَنْدُبُوْنَ إِلَى أَنْ تَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَكَ وَتَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَيَأْمُرُوْنَ بِبِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَصِلَةِ الأَرْحَامِ وَحُسْنِ الْجِوَارِ وَالإِحْسَانِ إِلَى الْيَتَامَى وَالمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالرِّفْقِ بَالْمَمْلُوْكِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْفَخْرِ وَالْخُيَلَاءِ وَالْبَغْيِ وَالاِسْتِطَالَةِ عَلَى الْخَلْقِ بِحَقٍّ أَوْ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَأْمُرُوْنَ بِمَعَالِي الأَخْلاَقِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ سَفْسَافِهَا
Dan mereka (al-firqah an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada (penerapan) akhlaq yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi bahwa yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaqnya di antara mereka. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan utnuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan zhalim dan permusuhan terhadap orang lain, baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlaq yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk.
Kita harus dapat membuktikan kepada masyarakat bahwa dakwah Ahlus sunnah adalah dakwah yang dikenal dengan dakwah aqidah dan akhlaq sebagaimana orang-orang musyrik mengenal dakwah Nabi. Kita harus menunjukkan bahwa ahlus sunnah adalah orang yang berakhlaq mulia. Lihatlah bagaimana akhlaq para ulama kita, bacalah sejarah Syaikh Bin Baaz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Albani, niscaya kita akan mendapatkan penerapan akhlaq yang mulia dari mereka, juga sepercik teladan yang telah kita lihat dari syaikh Abdurrazzaq yang memberikan contoh nyata di zaman kita. Bukankah Nabi kita dikenal sebagai orang yang sangat berakhlak? bahkan betapa banyak kaum musyrikin yang masuk Islam karena melihat akhlak beliau? Lihatlah bagaimana Khadijah berdalil dengan akhlak Nabi untuk menunjukkan kepada Nabi bahwasanya beliau adalah orang yang tidak akan dihinakan oleh Allah? Khadijah berkata:
فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
Demi Allah, sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah.[6]
Bahkan merupakan perkara ajaib yang sangat luar biasa, yaitu Nabi tersohor sebagai seorang yang amanah di kalangan orang-orang kafir quraisy. Bahkan pembesar-pembesar mereka mengetahui hal ini. Oleh karena itu, pada saat para kafir Quraisy hampir saling menumpahkan darah ketika mereka bertikai dalam hal peletakan hajar aswad maka akhirnya merekapun bersepakat untuk menjadikan keputusan permasalahan mereka berada di tangan orang yang pertama kali masuk ke Al-Masjidil haram dari pintu shafa. Ternyata yang pertama kali masuk dari pintu tersebut adalah Nabi Muhammad yang saat itu belum menjadi nabi. Mereka secara serentak berkata, “Telah datang kepada kalian orang yang amanah.” Akhirnya Nabi Muhammad memberikan keputusan kepada mereka yang memuaskan seluruh pihak.[7] Hal yang perlu dicatat di sini yaitu tersohornya Nabi di antara para pembesar kaum kafir Quraisy adalah beliau berakhlaq mulia, yaitu memiliki sifat amanah yang sangat dapat dipercaya. Oleh karena itu, para kafir Quraisy menyimpan uang mereka di Nabi, saat Nabi belum diutus sebagai seorang Rasul. Tidaklah hal ini mereka lakukan, kecuali karena tersohornya nabi dengan sifat Amanah.
Hal yang juaga sangat menakjubkan, apakah setelah Nabi diutus sebagai seorang Rasul, mereka pun mencabut uang mereka dari Nabi dan tidak menitipkannya kepada Nabi? Setelah Nabi diutus sebagai seorang rasul, jadilah kaum kafir di kota Mekah memusuhi Nabi, yaitu permusuhan dalam aqidah dan keyakinan. Bagaimana mereka tidak membenci nabi, sementara nabi mencela sesembahan-sesembahan mereka, bahkan menyalahkan nenek moyang mereka yang terjerumus dalam kesyirikan. Akan tetapi, apakah permusuhan dan kebencian mereka yang amat sangat kepada Nabi membuat mereka mengambil kembali harta mereka yang telah mereka titipkan kepada beliau?
Ternyata tidak, meskipun mereka memusuhi nabi, dan bahkan memberi berbagai gelar buruk kepada Nabi dengan gelaran-gelaran yang sangat buruk seperti penyihir, penyair gila, pendusta, dan gelar lainnya. Sampai-sampai tingkat kebencian mereka terhadap Nabi sudah tidak terbendungkan hingga akhirnya mereka bersepakat untuk membunuh Nabi. Hal ini yang akhirnya membuat Nabi harus keluar dari kota Mekah untuk berhijrah ke Madinah.
Sungguh luar biasa sifat amanah yang dimiliki nabi, di saat beliau pergi berhijrah beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tetap di Mekah dan mengembalikan seluruh harta titipan kaum musyrikin Quraisy yang telah mereka titipkan kepada Nabi. Ali pun menetap di Mekah selama tiga hari untuk mengambalikan harta titipan tersebut. Setelah itu baru beliau menyusul Nabi[8]. Lihatlah meskipun Nabi telah sadar bahwasanya kaum musyrikin Quraisy berencana dan bersepakat untuk membunuhnya, namun beliau tetap menjaga harta mereka, bahkan tidak terbetik sama sekali dalam hati beliau untuk mengambil harta tersebut. Bisa jadi setan datang dan menggoda serta membisikan, “Ambil saja harta tersebut, bukankah bisa digunakan untuk berdakwah? Bukankah mereka hendak membunuhmu?” Akan tetapi, nabi tetap mengembalikan amanah yang telah dititipkan kepada beliau. Allahu Akbar, betapa tingginya akhlaq Nabi. Sungguh benar firman Allah:
Dan engkau sungguh berada di atas akhlaq yang agung. (QS. Al-Qalam (68): 4)
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: SEPENGGAL CATATAN PERJALANAN
DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlaq dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh)
_____________
[1] HR Al-Bukhari No. 7.
[2] As-Silsilah Ash-Shahihah No. 794.
[3] HR. At-Tirmidzi No. 1.162 dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Majah No. 1987 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat Ash-Shahihah No. 284)
[4] HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah No. 876
[5] Majmuu’ Al-Fataawaa, 1/195.
[6] HR. Al-Bukhari I/4 No. 3 dan Muslim I/139 No. 160.
Sifat-sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan oleh Khadijah, semuanya kembali pada memberi manfaat kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan serta menghilangkan kesulitan mereka. Ini merupakan cerminan akhlak yang sangat mulia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada manusia (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 426)
Oleh karena itu, barang siapa yang hendak menjadi pemegang panji pembela kebenaran, dalam mendakwahkan risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia harus berusaha merealisasikan sifat-sifat ini pada dirinya, baik dalam perkataan maupun praktiknya dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk teladan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau dengan ibarat lain yang lebih jelas bahwa barangsiapa yang memutuskan tali silaturahmi atau tidak memberi faedah kepada masyaratkat padahal ia memiliki kedudukan atau posisi penting, jangan memiliki angan-angan untuk menjadi pemegang panji utama pembela kebenaran. Terlebih sikapnya keras terhadap fakir miskin dan orang-orang yang lemah, hatinya tidak tergugah dengan rintihan mereka, dan matanya tidak meneteskan air mata karena kasihan kepada mereka. Jika demikian, hendaklah ia menyerahkan panji tersebut kepada orang lain karena sesungguhnya ia belum layak menjadi penerus Muhammad dalam memimpin umatnya, Allahul Musta’aan.
[7] Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya (34/261 No. 15.504) dan sanadnya dishaihihkan oleh para pentahqiq musnad Ahmad, sebagaimana dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (lihat ta’liq syaikh Al-Albani di Fiqhu Ash- Shirah, hlm. 84)
[8] Hadits ini dikatakan oleh Ibnul Mulaqqin, “Masyhuur di buku-buku shirah dan yang lainnya”, setelah itu beliau membawakan takhrij tentang kisah ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaaq dalam kitab shirahnya sebagaimana juga dihikayatkan oleh Al-Baihaqi. (Al-Badr Al-Muniir, 7/304). Sanad kisah ini dihasankan oleh Dr. Mahdi Ahmad dalam kitab Ash-Shirah An-Nabawiyyah fi Dhaui Al-Mashaadir Al-Asliyyah, 1/318)