Teladan Sikap Disiplin Waktu
Pada hari Rabu sekitar pukul 1.30 siang, pesawat kami pun mendarat di pulau yang sangat indah, pulau Lombok. Kami pun dijemput oleh beberapa ikhwah. Melihat keindahan pulau ini, Syaikh terkagum-kagum. Hingga waktu telah menunjukkan waktu shalat zhuhur, kami pun singgah di rumah salah seorang ikhwah di Lombok. Ia menjamu kami dan juga ustadz-ustadz lokal yang ada di Lombok untuk makan bersama. Mereka sempat bertanya kepadaku, “Apa sih yang disukai Syaikh,” Aku pun mengabarkan kepada mereka bahwa Syaikh sangat suka sekali dengan buah durian. Akhirnya mereka pun menghidangkan buah durian untuk beliau. Syaikh mengatakan bahwa ia telah mengenal buah durian saat bersafar ke Thailand.
Setelah makan siang, kami pun duduk-duduk dan berbincang-bincang di serambi rumah ikhwah tersebut. Syaikh masih terus memperhatikan keindahan pulau Lombok, bahkan beliau kagum melihat pohon-pohon indah yang berada di rumah, beliau bertanya, “Pohon-pohon ini apakah berbuah atau hanya sebagai hiasan saja?” Mereka pun menjawab, “Hanya untuk hiasan.” Mereka juga berkata, “Yaa Syaikh, sayang waktu yang ada cukup terbatas. Kalau tidak, kita ingin mengajak antum berjalan-jalan ke pantai pulau Lombok yang terkenal sangat indah.” Syaikh berkata, “Tidak perlu, bertemu dengan para ikhwan di pulau Lombok sudah merupakan kebahagiaan tersendiri dan keindahan.”
Setelah itu kamipun berangkat menuju hotel, namun Al-Hamdulillahmasih ada waktu kira-kira satu jam untuk berjalan-jalan melihat keindahan pulau Lombok. Setelah itu kita langsung berangkat dari hotel menuju tempat pengajian yang jaraknya kurang lebih dua jam perjalanan dari hotel tersebut. Beliau tidak sempat istirahat di hotel, hanya meletakkan barang kemudian kami langsung melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, salah seorang ustadz lokal di lombok ingin membacakan matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah. Syaikh mengizinkan hal itu. Maka selama di perjalanan ustadz tersebut membacakan matannya dan syaikh men-syarah (menjelaskan) makna matan tersebut dan direkam oleh sang ustadz. Hingga akhirnya saat akan masuk waktu maghrib dan Syaikh masih terus melanjutkan penjelasannya di atas mobil, aku pun menegur ustadz tersebut dengan bahasa Indonesia, “Afwan ustadz, Syaikh belum dzikir petang, sekarang sudah mau masuk waktu maghrib, ana sarankan antum lanjutkan nanti setelah beliau mengisi pengajian.” Ustadz tersebut pun berhenti dari membaca matan aqidah tersebut dan Syaikh langsung berdzikir memanfaatkan waktu yang tersisa untuk dzikir petang hari. Beliau terus berdzikir hingga akhirnya kami pun masuk di areal masjid tempat beliau akan mengisi pengajian.
Ribuan orang telah berkumpul menantikan keadatangan beliau, mulai dari anak-anak hingga orang-orang tua. Beliau kemudian mengeluarkan kurma yang beliau bawa dari Madinah, beliau bagi-bagikan kepada anak-anak kecil. Beliau menjabat tangan anak-anak tersebut, yang sangat kelihatan dari pakaian mereka bahwa mereka adalah anak-anak orang miskin. Bahkan ada seorang yang sudah sangat tua yang ingin berjabat tangan dengan beliau, maka bukan hanyamengulurkan tangannya, beliau justru memeluk orang tua tersebut[1]. Pemandangan yang sangat mengharukan hingga akupun tidak dapat menahan air mataku melihat kelembutan Syaikh terhadap anak-anak dan orangtua tersebut. Sungguh sikap tawadhu yang seharusnya dicontoh setiap muslim.
Selepas shalat maghrib, syaikh pun menyampaikan ceramah beliau, dan aku menerjemahkannya. Meskipun dalam menerjemahkannya aku sedikit canggung dan sempat salah menerjemahkan karena terlalu banyak ayat yang disebutkan oleh Syaikh. Setelah menyampaikan materi pengajian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk, beliau balik bertanya kepada para hadirin tentang materi yang telah disampaikan. Sebelum bertanya, beliau berkata, “Ada tiga peserta yang selama aku menyampaikan materi mereka selalu mencatat materi tersebut. Meskipun banyak yang mencatat, tetapi aku memilih tiga orang ini.” Syaikh pun menunjuk ketiga orang tersebut yang ternyata masih sangat kecil-kecil, yaitu seusia anak kelas 3 atau 4 di sekolah tingkat dasar. Lalu Syaikh memberikan hadiah masing-masing anak 100 real, atau sekitar Rp250 ribu. Setelah itu Syaikh memberikan pertanyaan dan memberikan hadiah kepada hadirin yang dapat menjawab. Bahkan ada salah seorang hadirin yang diberi hadiah sebesar 200 real atau Rp500 ribu karena jawabannya yang lengkap. Demikianlah beliau, begitu memperhatikan sunnah “memasukkan rasa gembira di hati sesama muslim”.
Setelah pengajian berakhir kamipun makan malam di rumah salah seorang ikhwah yang berada di dekat lokasi pengajian, kemudian kembali beranjak menuju hotel dengan lama perjalanan sekitar dua jam. Syaikh tiba di hotel sekitar pukul 11.30 malam. Adapun jadwal keberangkatan kami ke Surabaya adalah pukul 7 pagi, sehingga syaikh harus dijemput dari hotel pukul 6 pagi untuk menuju bandara. Sebelum Syaikh masuk ke kamar hotelnya untuk beristirahat beliau sempat bertanya untuk menegaskan kapan beliau dijemput. Beliau berkata, “Besok aku dijemput jam berapa untuk berangkat ke bandara?” Panitia pun mengabarkan kepada beliau bahwa beliau akan dijemput pukul 6. Saat tiba pagi hari sebagian ikhwah yang ditugaskan untuk menjemput beliau di hotel sudah berada di hotel, hanya saja mereka datang agak lebih pagi ke hotel yaitu sebelum pukul 6. Kemudian mereka pun mengetuk-ngetuk pintu kamar Syaikh, tetapi mereka tidak mendapatkan jawaban dari dalam kamar Syaikh. Akhirnya mereka pun gelisah karena kawatir kalau Syaikh tertidur, mengingat beliau kurang istirahat. Mereka kembali mengetuk pintu, tetapi hasilnya nihil. Sementara waktu terus berjalan dan jadwal keberangkatan pesawat semakin mendekat. Para ikhwah yang hendak menjemput Syaikh semakin gelisah dan bingung. Apa boleh buat akhirnya mereka terpaksa harus melaporkan hal ini kepada petugas hotel, agar petugas hotel membuka pintu kamar Syaikh dengan menggunakan kunci hotel. Sebelum membuka pintu kamar petugas hotel kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar syaikh. Bahkan dengan ketukan yang lebih keras. Tidak berapa lama kemudian, sebelum pintu kamar dibuka dengan paksa, yaitu pada saat jam menunjukkan pukul 6 tepat ternyata Syaikh muncul, namun kemunculan beliau dari arah luar hotel. Rupanya setelah shalat shubuh, beliau berjalan-jalan menyisiri pantai yang ada di sekitar hotel. Syaikh memang pernah mengatakan kepadaku bahwa beliau senang berjalan kaki, “Al-harakah zainah” yang artinya, “Bergerak itu bagus”.[2] Begitulah Syaikh, seorang yang sangat disiplin mengenai waktu.
Kami pun berangkat menuju Surabaya dengan pesawat Batavia Air. Saat pesawat lepas landas Syaikh memandang ke arah luar, beliau melihat bukit-bukit berwarna hijau yang ada di pulau Lombok. Beliau berkata kepadaku, “Sungguh hijau dan indah gunung-gunung di sini”. Aku pun menimpali, “Syaikhanaa, yang seperti itu kalau di Indonesia bukanlah gunung, tetapi namanya bukit. Karena gunung yang ada di Indonesia tingginya menjulang hingga menembus awan di langit. Bisa mencapai ketinggian 2 km, bahkan ada yang 5 km. Berbeda dengan gunung-gunung yang ada di Arab Saudi semuanya memang pendek-pendek seperti ukuran bukit-bukit yang ada di Indonesia, tidak ada yang menjulang tinggi sampai ke awan.”
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: SEPENGGAL CATATAN PERJALANAN
DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlaq dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh)
______
Footnote:
[1] Suatu adab yang tentunya setiap kita –apalagi orang Indonesia- mengetahuinya, yaitu yang muda harus menghormati yang tua. Bukankah Nabi pernah bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا
Bukan dari kami orang yang tidak menghormati orang tua dan tidak menyayangi anak kecil (HR. Ahmad 11/529 No. 6937 dengan sanad yang shahih)
Namun demikianlah terkadang setan memperdaya sebagian kita sehingga saat kita telah memiliki ilmu agama yang mumpuni sementara di hadapan kita ada orang tua atau yang lebih berumur dari kita, namun tidak memiliki ilmu atau kurang ilmu agamanya akhirnya timbul perasaan meremehkan, atau kurang rasa hormat kita kepadanya. Seakan-akan yang harus dihormati hanyalah yang berilmu. Bukankah lebih tuanya umur seseorang juga merupakan sebab penghormatan sebagaimana hadits di atas? Lihatlah bagaimana sikap Syaikh yang beliau adalah seorang ulama, bahkan telah mencapai gelar profesor sejak dahulu, tetapi tetap beliau menunjukkan rasa hormatnya kepada orang yang lebih tua. Bahkan orangtua yang dipeluk sama sekali tidak dikenal oleh beliau, entah orang kaya atau orang miskin, entah berilmu atau tidak.
[2] Selama bersafar bersama beliau beberapa kali beliau senang untuk berjalan kaki. Seakan-akan beliau memiliki jadwal untuk berjalan kaki setiap hari. Pernah pada saat kami di Lombok, beliau sempat turun dari mobil lalu berjalan lebih dahulu sekitar 8 menit di hadapan kita. Beliau berkata, “Aku jalan lebih dahulu di depan, nanti kaliah nyusul dengan mobil kalian”. Hal serupa beliau lakukan saat kami transit di bandara Singapura. Sebenarnya beliau diberikan kesempatan lebih dahulu untuk masuk pesawat, mengingat beliau duduk di first class, bahkan petugas bandara datang untuk menawarkan beliau masuk terlebih dahulu melewati antrian penumpang yang panjang. Akan tetapi, beliau menolak dan mengabarkan kepada petugas tersebut bahwa beliau akan masuk paling akhir setelah seluruh penumpang naik pesawat. Waktu untuk menunggu antrian beliau gunakan untuk sedikit membaca, setelah itu beliau pun berjalan-jalan bolak-balik di ruang tunggu. Sekitar 15 menit beliau berjalan-jalan di ruang tunggu yang mungkin panjangnya sekitar 20 meter. Ternyata memang beliau memiliki jadwal khusus untuk jalan setiap harinya.