Teladan Menyenangkan Hati
Sudah lama terbetik dalam hatiku untuk mengajak Syaikh mengunjungi Indonesia. Hal ini tentu dapat memberikan faedah kepada saudara-saudara yang ada di Indonesia secara langsung dan mempertemukan mereka dengan seseorang yang dapat diteladani. Akan tetapi, niat tersebut menciut saat melihat kesibukan beliau yang sangat luar biasa dan waktu beliau yang sangat berharga. Namun, akhirnya aku memberanikan diri untuk menawarkan hal ini kepada beliau –setelah di dorong oleh sebagian ikhwan dengan menunjukan kesiapan mereka untuk mengatur prosedur dan teknis kedatangan syaikh di Indonesia-. Terkait hal ini sempat terjadi perbincangan dengan beliau dan tawar menawar serta tarik ulur. Aku mencoba menawarkan beliau pilihan pertama, yaitu beliau ke Indonesia pada saat liburan musim panas yang merupakan liburan panjang bagi Universitas Islam Madinah. Liburan ini biasanya mencapai tiga bulan lamanya. Akan tetapi, tawaran pertama ini beliau tolak dengan berkata: “Aku di liburan musim panas lebih memilih untuk mengisi kajian harian di masjid Nabawi, terlebih lagi yang menghadiri kajian banyak orang-orang arab yang berdatangan dari luar Arab Saudi, seperti Al-Jazaair, Libia, Sudan, Kuwait, Emirat Arab, dan lain-lain. Ini sangat menghemat waktu aku, daripada aku harus bersafar ke negara-negera mereka. Alhamdulillah mereka yang mendatangi kota Madinah.” Demikian jawaban beliau yang cukup menyedihkan hati, namun mengingat pertimbangan yang beliau sebutkan, aku tidak putus asa, dan menawarkan tawaran yang lebih menggiurkan, “Syaikh bagaimana jika antum bersafar ke Indonesia dengan membawa istri serta anak-anak antum, insyaa Allah teman-teman di Indonesia sudah siap mengatur, mumpung sekalian keluarga antum bisa berpesiar dan melihat keindahan Indonesia yang hijau dan subur. Tentunya mereka akan senang.” Namun, apa jawaban beliau, “Yaa Firanda, aku tidak ingin keluarga aku pergi ke luar Arab Saudi, termasuk ke Indonesia karena banyak fitnah yang akan mereka lihat. Al-Hamdulillah, Allah telah menjaga mereka, lagi pula istri dan anak-anak aku tidak memiliki paspor, dan mereka tidak perlu untuk membuat paspor. Karena jika mengurus paspor, mereka harus difoto. Aku tidak suka jika keluarga aku di foto bukan pada perkara-perkara yang memang dibutuhkan. Berlibur tidak mesti ke Indonesia.”
Sedih juga hatiku saat mendengar jawaban ini. Namun, aku tetap terus berusaha mengajukan penawaran berikutnya. Aku berkata, “Ya Syaikh, bagaimana jika safar ke Indonesia pada saat liburan semester, yang liburnya lebih singkat, dan safar hanya beberapa hari saja ke Indonesia.” Beliau menjawab, “Yaa Firanda, saat liburan semester adalah waktu milik keluarga aku, mereka juga punya hak untuk berpesiar dan bertamasya. Aku tidak ingin melalaikan hak mereka ini.” Aku pun diam seribu bahasa, entah penawaran apa lagi yang bisa disampaikan. Namun Al-Hamdulillah, pada hari-hari berikutnya penulis mendapatkan ide baru dengan mengatakan, “Wahai Syaikh, bagaimana jika Anda ke Indonesia bukan pas waktu liburan resmi, tetapi pas waktu mengajar?”, Syaikh menjawab, “Aku tidak ingin meninggalkan tugas mengajar aku.” Mendengar jawaban Syaikh tersebut, habis sudah penawaran yang ada, penulis pun terdiam. Tiba-tiba Syaikh berkata, “Bisa, jika aku mengatur murid-muridku agar jam mengajar aku ditunda dan dirapel, namun kita hanya bisa bersafar ke indo selama 5 hari. Kita berusaha menyenangkan hati-hati para pendengar Radio Rodja dengan menziarahi mereka di Indonesia.” Al-Hamdulillah, betapa senang hatiku saat mendengar perkataan beliau, penulis pun segera mengabarkan teman-teman di Indonesia kabar gembira ini agar mereka mempersiapkan segalanya.
Subhaanallah, obrolan yang sederhana ini menunjukan bagaimana perhatian beliau terhadap dakwah, dan menimbang kemaslahatan dakwah, sekaligus memperhatikan hak-hak keluarga beliau.
Ini merupakan pelajaran juga bagi para dai yang terkadang melalaikan hak-hak istri dan anak-anak yang juga butuh rekreasi. Terkadang seorang dai karena terlalu semangat dalam berdakwah akhirnya harus melalaikan hak-hak istri dan anak-anak. Kemudian, tidaklah mendorong beliau untuk mendatangi Indonesia yang cukup jauh dengan safar yang melelahkan kecuali dengan niat baik beliau “ingin memasukan rasa gembira dalam hati para pendengar Radio Rodja”. Syaikh Abdurrazzaq adalah seorang yang sangat memperhatikan hal ini, yaitu “memasukkan rasa gembira ke hati muslim yang lain”. Beliau selalu memperhatikan hal ini, dan berusaha untuk mempraktikkannya. Bukankah Rasulullah pernah bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُوْرٌ يدُخْلِهُ ُعَلَى مُسْلِمٍ أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً أَوْ يَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا أَوْ يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ( يعني مسجد المدينة) شَهْرًا وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ _ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ _ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيْهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى تَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُوْلُ الأَقْدَامُ وَإِنَّ سُوْءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلِ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ
Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah memasukan rasa gembira pada hati seorang muslim, atau mengangkat kesulitan yang dihadapinya, atau membayarkan utangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku untuk menunaikan kebutuhannya lebih aku sukai daripada aku iktikaf selama sebulan penuh di masjid ini (masjid Nabawi). Barangsiapa yang menahan rasa marahnya maka Allah akan menutup auratnya (keburukan-keburukannya) pada hari kiamat. Barangsiapa siapa yang menahan amarahnya –yang jika ia kehendaki maka bisa ia luapkan kemarahannya tersebut- maka Allah akan memenuhi hatinya dengan (selalu) mengharapkan hari kiamat. Barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk keperluannya hingga ia siap untuk menunaikan kebutuhannya maka Allah akan mengkokohkan kakinya di hari di mana kaki-kaki akan tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang buruk merusak amal sebagaimana cuka merusak madu. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah No. 906)
Beberapa nasihat yang pernah beliau sampaikan untuk mendorong kita memasukkan rasa gembira dalam hati saudara kita sesama muslim, antara lain saat beliau menjelaskan kitab Asy-Syamaa’il Al-Muhammadiyah. Saat itu, aku hadir di majelis beliau, masjid Nabawi, dalam penjelasannya tentang kitab Asy-Syamaa’il Al-Muhammadiyah karangan Al-Imam At-Tirmidzi terdapat hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah, ia berkata:
أَتَانَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم فِي مَنْزِلِنَا فَذَبَحْنَا لَهُ شَاةً فَقَالَ “كَأَنَّهُمْ عَلِمُوا أَنَّا نُحِبُّ اللَّحْمَ
Nabi mendatangi kami di rumah kami, maka kami pun menyembelih seekor kambing untuk menjamu beliau. Maka beliau pun berkata: “Sepertinya mereka tahu bahwasanya kita suka daging (kambing).
Syaikh Abdurrazzaq mengomentari hadits ini dengan berkata, “Lihatlah bagaimana Nabi menunjukkan rasa senang beliau atas makanan yang dihidangkan oleh keluarga Jabir bin Abdillah, yang tidak lain untuk menyenangkan hati mereka. Oleh karena itu, termasuk sunnah jika kita dijamu seseorang, kemudian kita senang dengan makanan yang dihidangkan maka hendaknya menunjukkan hal itu kepada orang tersebut agar menyenangkan hatinya. Hal ini berbeda dengan sebagian orang yang senang dengan makanan, tetapi menyembunyikan rasa senangnya”.
Di lain kesempatan, aku pernah akan mengisi pengajian di Radio Rodja, namun Syaikh belum juga siap untuk mengisi, beliau berkata kepadaku, “Sebentar ana mau nelpon”. Beliau pun disibukkan dengan pembicaran melalui HP, dan aku sempat menangkap sedikit-sedikit isi pembicaraan beliau. Setelah selesai pembicaraannya, beliau menjelaskan kepadaku bahwa beliau telah berbicara dengan salah seorang donatur, karena semalam beliau dikabarkan tentang seseorang yang dipenjara karena terlilit utang sejumlah 56 ribu real atau sekitar Rp140 juta. Permasalahannya, orang yang dipenjara ini berumur 97 tahun, jadi sudah sangat tua. Selain berusia jompo, ternyata ia juga seorang yang miskin sehingga akhirnya terlilit utang. Maka Syaikh pun tergerak hatinya, bagaimana seorang yang sudah tua seperti itu harus menghabiskan sisa hidupnya dengan berdekam di penjara? Akhirnya, beliau menelepon donatur tersebut untuk membantu orang tua ini, dan Al-Hamdulillah, sang donatur langsung menyetujui untuk melunasi utang orang tua tersebut. Aku masih ingat perkataan Syaikh, “Yaa kita menyenangkan hati orang tua itu”. Bayangkan jika kita berada di posisinya tentu betapa senang dan gembiranya karena dari sebelumnya harus menghabiskan sisa umur di penjara, Al-Hamdulillah, dapat kembali berkumpul dengan keluarga. Selain itu, beliau juga banyak menyampaikan cerita-cerita para ulama yang memotivasi murid-muridnya untuk mengamalkan hal ini, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, kisah yang beliau sampaikan saat beliau mengajarku di semester kedua di fakultas dakwah jurusan aqidah jenjang strata 2. Kisah tersebut tentang Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di guru dari Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin –rahimahumallah-. Kebetulan Syaikh banyak tahu cerita tentang Syaikh As-Sa’di karena memang tesis beliau saat di S2 berkenaan dengan karya-karya tulis Syaikh As-Sa’di. Selain itu salah seorang putra Syaikh As-Sa’di adalah sahabat dekat beliau. Beberapa cerita terkait persahabatan beliau, yaitu di saat istri dari Syaikh As-Sa’di baru pulang dari safar setelah beberapa lama berpisah dengan syaikh As-Sa’di karena safar tersebut. Syaikh As-Sa’di pun menggunakan jam beker untuk membantu beliau bangun shalat malam. Namun, malam hari itu saat datang istri beliau dari safar, rupanya ada salah seorang anak kecil di antara keluarga syaikh yang memainkan jam beker tersebut. Alhasil, keesokan harinya Syaikh As-Sa’di tidak nampak di masjid pada saat shalat shubuh. Padahal beliau adalah imam masjid. Kemudian saat shalat zhuhur datang, seperti biasa syaikh As-Sa’di yang mengimami shalat. Usai shalat zhuhur beliau memberi sedikit ceramah kepada para jam’ah masjid. Setelah ceramahnya selesai, tiba-tiba salah seorang di antara para hadirin berbicara dengan suara yang lantang, “Ya syaikh, tadi shubuh kok tidak kelihatan? Mentang-mentang istri antum baru datang dari safar…!?”. Mendengar celetukan orang tersebut para hadirin tertawa. Kemudian syaikh pun tersenyum, dan memanggil orang tersebut sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang untuk diberikan kepadanya, seraya berakata, “Ini hadiah untuk engkau, karena hari ini engkau memasukkan rasa gembira dalam hati para jama’ah”. Mendengar perkataan syaikh, para jam’aah pun kembali tertawa.
Kedua, kisah kedua ini juga tentang syaikh Abdurrahman As-Sa’di sebagaimana yang pernah diceritakan salah seorang putra syaikh As-Sa’di kepada beliau. Suatu saat syaikh As-Sa’di berjalan dengan salah seorang putranya, kemudian di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seseorang, dan berkata, “Ya Syaikh, tahukah engkau telah terjadi begini dan begitu…”, dan mulailah orang tersebut menceritakan perinciannya. Padahal syaikh telah mengetahui kejadian tersebut, namun syaikh bersikap seakan-akan beliau baru pertama kali mendengar kejadian tersebut, sehingga membuat orang itu semangat bercerita. Saat syaikh berkata, “Ooo begitu…”, orang itupun semakin gembira. Kemudian mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba datang lagi orang kedua yang bercerita kepada syaikh tentang kejadian yang sama, namun Syaikh tetap bersabar mendengarkannya seakan-akan baru pertama kali mendengarkan kisah tersebut. Putra Syaikh sendiri yang mendengarkan cerita orang kedua itu tidak sabar ingin mengatakan bahwa Syaikh telah mengetahui kejadiannya. Demikian pula datang orang yang ketiga menceritakan kejadian yang sama, namun semuanya didengarkan oleh syaikh As-Sa’di dengan penuh saksama seakan-akan beliau baru pertama kali mendengarkan. Sikap beliau yang penuh tawadhu’ ini tidak lain agar menyenangkan hati orang yang bercerita, dan tidak menyedihkan hatinya. Subhaanallah, kalau saja hal tersebut terjadi pada kita, mungkin kita akan mengatakan kepada orang pertama, “Ooo aku sudah tahu…”,kemudian kepada orang kedua, “Wah.. kamu ketinggalan zaman, aku udah tahu sebelum kamu ceritakan…”, dan kepada orang ketiga, “Wah… aku kira kamu mau nyampaikan sesuatu yang penting sama aku, aku kan sibuk, cerita kejadian itupun sudah basi”, dan ungkapan-ungkapan lainnya yang mungkin akan menyedihkan orang yang hendak bercerita tersebut. Lihatlah, Syaikh As-Sa’di yang sekaliber ulama, bahkan termasuk ulama paling alim di zamannya, bagaimana tidak beliau adalah guru syaikh Utsaimin. Tentunya ulama sekaliber beliau waktunya sangat berharga, meskipun demikian masih merendahkan diri untuk mendengarkan sebuah cerita yang ia sendiri sudah mengetahuinya.
Ketiga, kisah ketiga ini juga tentang syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di dengan syaikh Al-Utsaimin. Syaikh Abdurrazzaq bertutur, “Suatu saat syaikh Utsaimin datang mengunjungi kota Madinah. Kemudian salah seorang yang kaya raya di kota Madinah mengundang kami bersama syaikh untuk makan malam di rumahnya. Adapun yang hadir makan malam hanya empat orang, termasuk di dalamnya penulis dan syaikh Utsaimin. Saat masuk ke ruang makan, pandangan syaikh Utsaimin tertuju pada tumpukan buah-buahan yang beraneka ragam, yang tertata rapi seperti gunung kecil. Syaikh lalu mengambil buah apel dari tumpukan tersebut, kemudian beliau berkata kepada kami, “Tahukah kalian kapan pertama kali aku memakan buah apel?” Kemudian syaikh Utsaimin pun bercerita, “Dahulu syaikh As-Sa’di mengajar murid-murid beliau buku yang agak berat yaitu ‘Qawaa’id Ibni Rajab’ yang sedikit sulit untuk dipahami karena berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqh. Awal dibuka kajian ini banyak murid-murid beliau yang hadir, namun lama kelamaan karena sulitnya buku ini akhirnya berguguran, hingga akhirnya saat beliau menamatkan kitab tersebut hanya tinggal aku sendiri. Setelah menamatkan kitab tersebut, syaikh As-Sa’di merogohkan tangan ke dalam sakunya, lalu mengeluarkan sebutir buah yang berwarna merah besar. Baru pertama kali aku melihat buah seperti itu. Beliau berkata kepadaku, “Buah ini namanya tuffahah (apel), yang dimakan bagian dalamnya, dan ada bijinya di dalam jangan dimakan”. Aku pun sangat gembira saat menerima hadiah tersebut. Setelah itu, aku segera pulang dan mengumpulkan seluruh keluargaku, istri dan anak-anakku, lalu aku tunjukan kepada mereka buah apel. Rupanya mereka juga baru pertama kali melihatnya, salah seorang dari anggota keluargaku berkata, “Apakah ini tomat?” Akhirnya aku pun membelah-belah buah apel tersebut kemudian membagikannya kepada mereka.” Demikianlah syaikh Abdurrazzak menceritakan kisah yang pernah didengarnya langsung dari syaikh Utsaimin. Subhaanallah, hanya sebutir buah apel, tetapi sangat berkesan di hati syaikh Utsaimin dan menyenangkan beliau bahkan keluarga beliau.
Syaikh Abdurrazaq pernah berkata kepadaku, “Yaa firanda, meskipun sebuah hadiah nilainya tidak seberapa, tetapi bisa jadi sangat menyenangkan hati orang yang diberi hadiah tersebut. Suatu saat aku pernah dengan seorang penuntut ilmu dari Kuwait, dan aku hampir lupa kalau aku pernah mengajarnya. Lantas saat kami bertemu, ia segera memelukku kemudian mengingatkan aku bahwa ia pernah aku ajar di bangku kuliah. Bahkan ia berkata, “Yaa Syaikh aku tidak pernah lupa hadiah bunga yang antum berikan kepadaku, sampai sekarang masih aku simpan di bukuku”. Lihatlah setangkai bunga yang tidak bernilai -bisa jadi juga bunga plastik- tetapi sangat berkesan di hati orang tersebut.
Keempat: Syaikh Abdurrazzak juga pernah bercerita tentang Syaikh Utsaimin, “Sesungguhnya hampir seluruh rumah yang ada di Unaizah pernah diziarahi Syaikh untuk menyenangkan hati pemilik rumah. Suatu saat pernah Syaikh keluar dari pintu masjid setelah memberikan pengajian. Saat beliau keluar dari pintu masjid, tiba-tiba ada seorang pekerja yang berasal dari negara Mesir berbasa-basi kepada Syaikh sambil berkata, “Yaa Syaikh, silakan minum kopi di rumahku”. Orang mesir ini tidak pernah menghadiri kajian Syaikh, dan ia berkata demikian hanyalah basa-basi kepada Syaikh. Namun, tanpa ia duga, tiba-tiba Syaikh Utsaimin berkata, “Kapan? Aku bersedia minum kopi di rumahmu”. Orang Mesir inipun kaget dengan jawaban Syaikh. Akhirnya ia pun berkata, “Iya Syaikh, lain hari”. Kemudian Syaikh pun mengunjungi rumah orang Mesir ini pada hari yang ditentukan, dan ternyata kunjungan Syaikh sangat menggembirakan orang Mesir ini dan akhirnya ia pun jadi rajin dan selalu menghadiri kajian-kajian Syaikh.”
Kisah Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ini mengingatkan aku dengan kisah Syaikh Al-Jibrin rahimahullah yang pernah dituturkan salah seorang ikhwan asal Cirebon secara langsung kepadaku. Ikhwan tersebut pernah menjadi supir pribadi Syaikh Al-Jibrin selama kurang lebih setahun. Ternyata di usianya yang sangat sepuh, yaitu hampir 70 tahun, beliau memiliki jadwal makan malam bersama masyarakat yang mengundangnya. Menurut penuturan ikhwan tersebut bahwasanya setiap malam, Syaikh Al-Jibrin diantar ke rumah masyarakat yang mengundangnya untuk makan malam, dan undangan-undangan makan malam tersebut telah tecatat di jadwal Syaikh rahimahullah. Ini merupakan perkara yang menakjubkan yang menunjukan ketawadhuan beliau, dan juga perhatian beliau terhadap masyarakat. Di tengah kesibukannya, beliau masih menyempatkan diri untuk memenuhi undangan makan malam masyarakat, bahkan setiap malam.
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: SEPENGGAL CATATAN PERJALANAN
DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlaq dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh)