PerhatianTerhadap Amal
Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah menceritakan bahwa suatu saat beliau pernah mengunjungi suatu kampung yang terkenal banyak penuntut ilmu. Beliau pun shalat di masjid kampung tersebut. Setelah itu beliau menyapa salah seorang kakek yang shalat, seraya berkata: “Masyaa Allah, kampung kakek banyak sekali penuntut ilmu”. Kakek tersebut langsung menjawab dengan suara lantang, “Tidak ada thalabul ‘ilm (para penuntut ilmu) di kampung kami, orang yang tidak shalat shubuh berjama’ah bukan penuntut ilmu!”. Syaikh pun kaget karena dari ucapan kakek tersebut ternyata banyak penuntut ilmu di kampung itu yang tidak menghadiri shalat shubuh berjama’ah. Beliau berkata, “Perkataan kakek tua ini benar, bahwa ilmu itu untuk diamalkan. Bahkan, bisa jadi kita mendapatkan seorang penuntut ilmu semalam suntuk membahas tentang hadits-hadits Nabi yang menunjukan keutamaan shalat shubuh secara berjama’ah. Bahkan bisa jadi dia menghafal hadits-hadits tersebut di luar kepala, namun saat tiba waktu mengamalkan hadits-hadits tersebut, dia tidak mengamalkannya atau ketiduran sehingga tidak shalat shubuh berjam’ah”.
Ini salah satu cerita Syaikh yang cukup melekat di hati. Benar bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Rasulullah bersabda:
القُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
Al-Qur’an akan menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang akan menyerangmu.
Seperti pernah ditegaskan oleh Syaikh Utsaimin bahwa ilmu hanya akan memberi dua pilihan dan tidak ada pilihan atau kemungkinan yang ketiga, yaitu hanya menjadi pembela bagi pemiliknya atau akan menyerangnya pada hari kiamat jika tidak diamalkan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak menuntut ilmu hanya untuk menambah wawasannya, namun hendaknya dengan niat untuk diamalkan agar tidak menjadi bumerang yang akan menyerangnya pada hari kiamat kelak.
Sekarang coba renungkan, sudah berapa lama kita ikut pengajian, berapa kitab yang kita baca, dan muhaadharah yang kita dengarkan?. Sungguh merupakan kenikmatan tatkala seseorang bisa aktif ikut pengajian, tetapi apakah kita siap untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan kepada kita semua, sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw?
وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟
Ia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?
Syaikh Abdurrazzaq menjelaskan, seseorang yang telah banyak mengumpulkan ilmu kemudian tidak diamalkan, hal ini menunjukkan, niat yang tidak benar di dalamnya. Sungguh menyedihkan jika Ahlus Sunnah yang memberi perhatian sangat besar terhadap ilmu aqidah baik penanaman nilainya maupun pembenahan aqidah-aqidah yang menyimpang di masyarakat, namun ilmu aqidah yang ia miliki tidak tercermin pada amalan shalehnya.
Syaikh Abdurrazzaq berkata: “Aku ingin mengingatkan sebuah perkara yang terkadang kita melalaikannya saat kita mempelajari ilmu aqidah. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata:
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ
Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki (tercoreng). (Al-Fawaid: 86)
Maksud perkataan “telah termasuki”, yaitu telah termasuki sesuatu, baik riya, tujuan duniawi, atau yang semisalnya. Hal ini menjadikan ilmu tersebut tidak akan bermanfaat diberkahi. Oleh karena itu niat yang baik merupakan perkara yang harus baik dalam mempelajari aqidah ataupun ilmu agama yang lain secara umum. Jika seseorang mempelajari ilmu aqidah, hendaknya ia tidak mempelajarinya hanya sekadar untuk menambah telaah dan memperbanyak wawasan. Akan tetapi, hendaknya ia mempelajarinya karena aqidah merupakan bagian dari agama Allah yang diperintahkan kepada para hamba-Nya, serta menyeru mereka kepadanya dan menciptakan mereka karena aqidah dan dalam rangka merealisasikannya. Oleh karena itu, hendaknya ia berijtihad (berusaha keras) untuk memahami dalil-dalilnya dan bertaqarrub kepada Allah dengan mengimani dan menanamkannya di dalam hati. Jika ia mempelajari aqidah dengan niat seperti ini maka akan memberikan manfaat yang sangat besar dan akan mempengaruhinya dalam perbaikan sikap, amal, dan akhlaq dalam seluruh kehidupannya.
Akan tetapi, jika ia mempelajari aqidah hanya karena untuk jidal dan perdebatan tanpa memperhatikan sisi pensucian jiwa dengan keimanan, keyakinan, serta rasa tenang dengan aqidah tersebut –yang telah diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya maka tidak akan membuahkan hasil. Di antara contoh tentang perkara ini, yang berkaitan dengan iman kepada melihat Allah di akhirat kelak, dijelaskan dalam sabda Nabi ﷺ:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ ، لاَ تُضَامُونَ ـ وفي رواية :”لا تُضارُّون”، وفي رواية :”لا تُضَامُّون”ـ في رؤيته، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَلاَّ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وّقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوا
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan, kalian tidak akan tertutupi oleh awan, (dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling mencelakakan dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling berdesak-desakan), maka jika kalian mampu untuk tidak luput untuk melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari maka lakukanlah.
Kemudian Nabi ﷺ membaca firman Allah ﷻ:
yang artinya : dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). (QS. Qaaf (50)39 ). Maksud nabi di sini yaitu shalat shubuh dan shalat ashar.
Perhatikanlah keterkaitan antara aqidah dan amal. Nabi menyebutkan kepada para sahabat perkara aqidah, yaitu beriman kepada Allah, lalu Nabi menyebutkan kepada mereka tentang amal yang merupakan buah dari aqidah yang benar, maka Nabi berkata kepada mereka: “Jika kalian mampu untuk tidak terluputkan.”
Jika ada seseorang mempelajari hadits-hadits tentang iman kapada Allah, kemudian meneliti jalan-jalan haditsnya serta sanad-sanadnya lalu ia mendebat para ahlul kalam dan membantah syubhat-syubhat seputar hal ini. Kemudian ternyata ia bergadang dan akhirnya meninggalkan shalat shubuh, bahkan bisa jadi shalat shubuh tersebut tidak ada nilainya di sisi-Nya. Sang mu’adzin telah mengumandangkan adzan untuk shalat “As-Shalaatu khairun minan naum” (Shalat itu lebih baik dari pada tidur), namun kondisinya menunjukkan seakan-akan ia berkata tidur lebih baik daripada shalat. Jika demikian, mana pengaruh aqidah pada sikapnya?
Orang seperti ini butuh untuk memperbaiki niat dan tujuannya dalam mempelajari aqidah agar dapat membuahkan hasil yang diharapkan dan terwujudkanlah pengaruh yang baik, yang berbarakah baginya. Seorang muslim mempelajari aqidah karena itu adalah aqidahnya dan agamanya yang Allah telah memerintahkan kepadanya untuk mengamalkannya. Oleh karena itu, hendaknya dia bersungguh-sungguh agar ilmu aqidahnya tersebut dapat memberi pengaruh kepada dirinya, ibadahnya, dan taqarrubnya kepada Allah. (Tadzkirah Al-Mu’tasi Syarh Aqidah Al-Hafizh Abdul Ghaniy Al-Maqdisi, hlm. 21-22)
Marilah kita bercermin dan instrospeksi diri, apakah semakin bertambah ilmu kita diikuti dengan bertambah amalan kita? Ataukah bertambah ilmu justru semakin malas dalam beramal? Bukankah kita masih ingat saat di awal-awal kenal pengajian semangat kita begitu besar dalam menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Akan tetapi, kenapa sebagian kita pada saat semakin bertambah ilmu semakin sedikit beramal? Bahkan, setelah mengetahui beberapa amalan hukumnya sunnah (mustahab) dan tidak wajib, justru semakin mendorong kita untuk meninggalkan amalan tersebut. Ilmu yang dimilikinya justru mengantarkannya untuk meninggalkan amalan. Bahkan bisa jadi karena terbiasa meninggalkan amalan-amalan sunnah akhirnya perkara-perkara yang wajib pun bisa ditinggalkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata,
وَإِذَا أَصَرَّ عَلَى تَرْكِ مَا أُمِرَ بِهِ مِنْ السُّنَّةِ وَفِعْلِ مَا نُهِيَ عَنْهُ فَقَدْ يُعَاقَبُ بِسَلْبِ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ حَتَّى قَدْ يَصِيرُ فَاسِقًا أَوْ دَاعِيًا إلَى بِدْعَةٍ
Seorang jika terus meninggalkan sunnah yang diperintahkan dan melakukan perkara yang terlarang maka bisa jadi ia dihukum (oleh Allah) dengan meninggalkan hal-hal yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang fasiq atau orang yang menyeru kepada bid’ah. (Majmuu’ Al-Fataawa, 22/306)
Kita juga memeriksa hati dan ketakwaan kita, apakah dengan bertambah ilmu setelah sekian tahun mengikuti pengajian apakah ketakwaan dan keimanan kita semakin berkobar? ataukah justru semakin mengendur? Jika ternyata kita semakin malas beramal dan lemah iman maka ingatlah nasihat Syaikh Abdurrazzaq bahwasanya niat kita selama ini ternyata terkontaminasi dan ternodai dengan penyakit-penyakit hati, baik riya, ujub, atau tujuan-tujuan duniawi lainnya. Allahul musta’aan.
Tahukah Anda bahwa ilmu itu bukanlah ibadah yang independen? Ilmu hanyalah dikatakan ibadah dan terpuji jika ilmu tersebut membuahkan amalan. Jika ilmu tidak membuahkan amal maka jadilah tercela dan akan menyerang pemiliknya. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Al-Imam Asy-Syaathibi dalam kitabnya yang luar biasa Al-Muwaafaqqaat. Beliau berkata:
أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ لا يُفيد عَمَلاً؛ فَلَيْسَ فِي الشَّرعِ مَا يَدُلُّ عَلَى استِحسَانِه
Semua ilmu yang tidak membuahkan amal maka tidak dalam syari’at satu dalil pun yang menunjukan akan baiknya ilmu tersebut. (Al-Muwaafqaat, 1/74)
Oleh karena itu, semua dalil yang berkaitan dengan keutamaan ilmu dan penuntut ilmu semuanya harus dibawakan kepada ilmu yang disertai dengan amal. Contohnya firman Allah ﷻ:
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar (39): 9).
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali ‘Imraan (3): 18)
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS. Al-Mujaadalah (58):11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat ia faqih (paham) tentang ilmu agama.
Maksud hadits tersebut yaitu orang yang dikendaki kebaikan oleh Allah adalah orang yang diberi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Adapun orang yang berilmu dan tidak mengamalkan ilmu maka tercela, karena jelas ilmunya akan menjadi bumerang baginya. Asy-Syaathibi rahimahullah membawakan banyak dalil yang menunjukan hal tersebut. Beliau berkata: “Sesungguhnya ruhnya ilmu adalah amal, jika ada ilmu tanpa amal maka ilmu tersebut kosong dan tidak bermanfaat. Allah telah berfirman:
Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah adalah para ulama (QS. Fathir (35):28)
Allah juga berfirman:
Dan Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. (QS. Yusuf (12): 68)
Qatadah berkata: Maksudnya adalah لَذُو عَمَلٍ بِمَا عَلَّمْنَا “ia mengamalkan ilmu yang Kami ajarkan kepadanya.” (Al-Muwaafaqaat, 1/75). Hal yang paling menunjukan kepada masalah ini yaitu hadits Nabi ﷺ:
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا الْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يُسأَلَ عَنْ خَمْسِ خِصَالٍ
“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima perkara.” Salah satu dari lima perkara yang disebutkan oleh Nabi: وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟ “ia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?”
Pernah ada seseorang yang bertanya-tanya (masalah agama) kepada Abu Ad-Darda’, maka Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya: “Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab: “Tidak,” Abu Ad-Dardaa’ pun menimpalinya: “Apa yang engkau lakukan dengan menambah hujjah yang akan menjadi bumerang bagimu?” (Al-Muwaafaqaat, 1/82 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdilbarr Dala Al-Jaami’, No. 1232). Oleh karena itu, sungguh indah kesimpulan yang disampaikan oleh Asy-Syathibi dalam perkataannya: “Dan dalil akan hal ini (bahwasanya ilmu hanyalah wasilah untuk amal dan bukan tujuan) terlalu banyak, dan semuanya memperkuat bahwa ilmu merupakan sebuah wasilah (sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari kacamata syari’at. Akan tetapi, ilmu hanyalah merupakan wasilah untuk beramal. Oleh karena itu, semua dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu hanyalah berlaku bagi ilmu yang disertai dengan amalan. Kesimpulannya, seluruh ilmu syar’i tidaklah dituntut (dalam syari’at), kecuali dari sisi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yaitu amal” (Al-Muwaafaqaat, 1/83-85)
Sungguh indah wasiat Al-Khathib Al-Bagdadi kepada para penuntut ilmu:
إِنِّي مُوصِيكَ يَا طَالِبَ الْعِلْمِ بِإِخْلَاصِ النِّيَّةِ فِي طَلَبِهِ، وَإِجْهَادِ النَّفْسِ عَلَى الْعَمَلِ بِمُوجَبِهِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ شَجَرَةٌ وَالْعَمَلَ ثَمَرَةٌ، وَلَيْسَ يُعَدُّ عَالِمًا مَنْ لَمْ يَكُنْ بِعِلْمِهِ عَامِلًا، … وَمَا شَيْءٌ أَضْعَفُ مِنْ عَالِمٍ تَرَكَ النَّاسُ عِلْمَهُ لِفَسَادِ طَرِيقَتِهِ ، وَجَاهِلٍ أَخَذَ النَّاسُ بِجَهْلِهِ لِنَظَرِهِمْ إِلَى عِبَادَتِهِ …
وَالْعِلْمُ يُرَادُ لِلْعَمَلِ كَمَا الْعَمَلُ يُرَادُ لِلنَّجَاةِ ، فَإِذَا كَانَ الْعَمَلُ قَاصِرًا عَنِ الْعِلْمِ، كَانَ الْعِلْمُ كَلًّا عَلَى الْعَالِمِ ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عِلْمٍ عَادَ كَلًّا، وَأَوْرَثَ ذُلًّا، وَصَارَ فِي رَقَبَةِ صَاحِبِهِ غَلًّا ، قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ : الْعِلْمُ خَادِمُ الْعَمَلِ، وَالْعَمَلُ غَايَةُ الْعِلْمِ
“Aku memberi wasiat kepadamu wahai penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu. Sesungguhnya ilmu adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap sebagai orang alim apabila tidak mengamalkan ilmunya. Tidak ada yang lebih merupakan kelemahan dari kondisi seorang alim yang ditinggalkan ilmunya oleh masyarakat karena jalannya (yang kosong dari amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh masyarakat karena melihat ibadahnya. Tujuan dari ilmu adalah amal sebagaimana tujuan dari amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya, dan kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang kembali menjadi beban (bumerang) dan mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya. Sebagian ahli bijak berkata, ‘Ilmu adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak dari ilmu.’”. (Iqtidhaa Al-Ilmi Al-‘Amal, 14-15)
Ada kisah lain yang pernah disampaikan syaikh kepada kami –murid-murid beliau- untuk memotivasi kami dalam beramal. Uniknya, kisah ini berkaitan dengan orang Indonesia. Beliau bercerita, “Suatu ketika aku pernah shalat tarawih di masjid Nabawi. Dahulu masjid Nawabi setiap malam bulan Ramadan para imam membaca 3 juz dari Al-Qur’an dangan bacaan yang tartil. Hal ini berbeda dengan sekarang yang para imam hanya membaca 1 juz setiap malam pada waktu shalat tarawih. Ketika itu aku shalat dan ternyata di hadapanku ada seorang dari Indonesia yang juga ikut shalat malam. Yang menarik perhatianku, ternyata orang tersebut kakinya buntung satu, saat berdiri ia hanya bertopang pada satu kakinya. Pemandangan ini sungguh menakjubkan, kita yang berkaki dua apabila harus menunggu imam selama berjam-jam untuk membaca 3 juz dalam shalat 10 rakaat merupakan perkara yang melelahkan. Akan tetapi orang Indonesia ini meskipun hanya bertopang pada satu kaki akan tetapi semangatnya begitu luar bisa, sama sekali tidak bergeming selama shalat. Tidak terjatuh dan tidak tertatih-tatih. Keimanannya yang luar bisa yang menjadikannya kuat untuk bertahan berjam-jam melaksanakan shalat tarawih”.
Kisah yang luar biasa ini beberapa kali penulis dengar dari syaikh saat memotivasi murid-muridnya untuk semangat beramal. Di satu sisi, timbul kebanggaan karena yang dicontohkan oleh syaikh adalah seorang dari tanah air, namun sekaligus timbul rasa malu, hati kecil ini berkata, “Kenapa aku tidak semangat beribadah seperti ia yang buntung?!”
Di akhir pembahasan bab ini, ada jawaban unik Syaikh terhadap suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau, yaitu saat beliau mengisi pengajian, “Ya syaikh, bagaimanakah manhaj Nabi? Ini merupakan pertanyaan yang unik, dan seiring terjadinya fitnah tahdzir-mentahdzir di Arab Saudi. Si penanya tentu berniat baik, yaitu ingin mengetahui bagaimanakah manhaj yang benar sehingga ia dapat berada di atas manhaj yang lurus dan selamat di tengah badai tahdzir dan fitnah. Namun, apa jawaban Syaikh, beliau berkata, “Manhaj Nabi sudah jelas dan diketahui. Nabi bangun tengah malam lantas shalat malam, dan jika menjelang shubuh beliau bersahur, lalu beristighfar menunggu shubuh. Kemudian shalat shubuh berjama’ah setelah itu duduk di masjid berdzikir hingga waktu syuruq lalu shalat dua rakaat. Jika tiba waktu dhuha beliau shalat duha, beliau bersedekah, mengunjungi orang sakit, membantu orang yang kesusahan, menjamu tamu, dan seterusnya. Manhaj beliau makruf”.
Jawaban tersebut mengingatkan sebagian kita yang hobi tahdzir mentahdzir agar jangan lupa beramal. Jangan sampai kita yang mengaku di atas manhaj yang benar dan memberikan porsi yang besar terhadap manhaj, kita sendiri yang justru lalai dari beramal shaleh. Jangan sampai kita yang semangat mentahdzir kesalahaan orang lain, ternyata orang yang kita tahdzir tersebut lebih perhatian terhadap amal daripada kita. Adapun nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang yang hobinya demikian, yaitu sebagaimana Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak orang-orang yang mengingkari bid’ah-bid’ah ibadah dan adat engkau dapati mereka muqosshir (kurang) dalam mengerjakan sunnah-sunnah dari hal itu (yang berkaitan dengan ibadah-pen) atau dalam beramar makruf (menyeru manusia) untuk mengerjakan sunnah-sunnah tersebut (yang berkaitan dengan ibadah). Dan mungkin saja keadaan banyak dari mereka[1] lebih buruk daripada keadaan orang yang melakukan ibadah-ibadah tersebut yang bercampur dengan suatu kemakruhan[2]. Bahkan agama itu adalah amar makruf dan nahi mungkar, dan tidak dapat tegak salah satu dari keduanya kecuali jika bersama dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali diperintahkan suatu kemakrufan.”[3]
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: SEPENGGAL CATATAN PERJALANAN
DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlaq dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh)
________
Footnote:
[1] Yaitu mereka yang mengingkari bid’ah, namun tidak mengerjakan banyak sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2] Maksud beliau dengan kemakruhan di sini adalah kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam penjelasan beliau sebelumnya.
[3] Iqtidha’ As-Shiraath Al- Mustaqiim, II/126.