Muqaddimah
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu. Janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).” (HR. Al-Baihaqi)
Hadits tersebut merupakan petikan pelajaran dari kisah perjalanan penulis bersama Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr. Syaikh adalah salah seorang aktor sikap teladan dan menjadi sosok yang telah lama dinantikan kedatangannya di tanah air oleh orang-orang yang senang “ngaji”. Terlebih setelah beliau rutin menyampaikan nasihat-nasihat yang sangat berharga bagi kaum muslimin di Indonesia seminggu dua kali melalui radio dakwah ahlus sunnah wal jama’ah, Radio Rodja; 756 am.
Saat akan menuliskan keteladanan ini, ada rasa ragu yang terus mengalir di dadaku, terlebih saat jari-jari mulai berlantun memencet tombol-tombol keyboard yang sepertinya tidak sabar ingin melihat rangkaian kata-kata yang akan dituliskan. Akan tetapi keraguan terus mengalir, entah apakah rasa takut, atau perasaan lainnya. Yang jelas jiwa ini terus diliputi dengan keraguan antara ingin menyampaikan kisah yang sangat berharga yang aku alami selama perjalanan bersama seorang alim ulama yang kita cintai bersama dan apakah tidak lebih baik jika kisah tersebut disembunyikan sehingga bisa hilang bersama hilangnya waktu sehingga cukup diriku sajalah yang mengambil pelajaran dari kisah ini. “Ya Allah… salahkah hamba-Mu ini jika menceritakannya?”
Keraguanku semakin bertambah saat terbayang di mataku, bagaimana jika Syaikh Abdurrazzaq mengetahui kelancanganku untuk menulis apa yang aku lihat dari sikap-sikap beliau. Aku tahu betul bagaimana sikap beliau yang sangat tidak mau dipuji, dan hal itu sangat terlihat dari sikap-sikapnya. Menurut prediksiku, seandainya beliau mengetahui apa yang aku lakukan ini tentu beliau akan marah. Inilah yang semakin membuatku ragu untuk melanjutkan rangkaian kata-kataku ini. Prediksiku ini bukan sikap berlebihan terhadap beliau, tetapi karena apa yang pernah aku rasakan pada saat bersama beliau.
Salah satu kisah manis yang sering beliau sampaikan adalah tentang apa yang pernah beliau alami bersama Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin yaitu pada saat Syaikh Al-‘Utsaimin menyampaikan nasihat kepada para mahasiswa Universitas Islam Madinah. Ketika itu Syaikh Abdurrazzaq-lah yang menjadi moderator. Beliau berkata: “Al-Hamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan mendengarkan muhaadharah yang akan disampaikan oleh Al-‘Allaamah Muhammad bin Shaleh….”, belum lagi beliau melanjutkan perkataannya, tiba-tiba Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin segera menimpali dengan suara yang lantang: “uskut” (Diaammmm)!!! Syaikh Abdurrazzak sungguh tersentak mendengar suara keras tersebut. Beliau baru sadar ternyata Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin tidak ridha jika digelari dengan gelar Al-Allaamah, yang artinya orang yang sangat ‘alim.
Seringkali aku mendengar kisah ini dari beliau, sambil berkomentar: ”Lihatlah bagaimana Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin yang sama sekali tidak senang diberi gelar Al-‘Allaamah dan dengan spontan menegurku di hadapan mahasiswa yang begitu banyak, dan tanpa ragu-ragu dan tidak dibuat-buat”. Hal ini tentu sangat berbeda dengan sebagian orang yang senang diberi gelar, bahkan dengan gelar yang sebenarnya tidak pantas untuknya. Ia bahkan sangat ridho dengan gelar-gelar gombal tersebut. Padahal Nabi n bersabda:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كلَابِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
Barangsiapa yang bergaya (atau berhias) dengan sesuatu yang tidak ia miliki maka sesungguhnya ia telah memakai dua baju kedustaan.[1]
Prediksiku semakin menguat dengan sikap beliau yang tampak pada saat salah seorang ikhwan dari Indonesia hendak meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fiqhu Al-Ad’iyaa wa Al-Adzkaar (Fiqh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia. Beliau mempersyaratkan agar pada saat dicetak nama beliau hanya ditulis “Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr” tanpa dibubuhi gelar Profesor Doktor. Oleh karena itu, seluruh buku-buku beliau yang dicetak, baik di Arab Saudi maupun di Al-Jazaair (Algeria), tidak ada yang bertuliskan gelar beliau.
Demikian juga pada saat pihak Radio Rodja yang ingin menuliskan undangan kepada beliau untuk datang ke Indonesia. Beliau ingatkan untuk tidak perlu mencantumkan gelar dalam undangan tersebut bahwa beliau akan menyampaikan kajian di Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar di Indonesia. Beliau katakan cukup dicantumkan bahwa beliau akan mengisi di Radio Rodja, Bahkan saat pihak Radio Rodja menyampaikan kepada beliau bahwa ada salah satu stasiun televisi yang ingin meliput kajian tersebut dan ada sebagian wartawan yang ingin mewawancarai, beliau menolak. Menurutku, hal ini tidak lebih karena beliau tidak ingin tersohor. Karena demikianlah sabda Nabi n:
مَنْ تَوَاضَعَ لله رَفَعَهُ
Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ (merendah) maka Allah akan mengangkatnya.
Sikap beliau yang tidak ingin dipuji dan tersohor ini justru membuat beliau tersohor. Namun, di luar sana betapa banyak orang yang berusaha menampakkan ilmunya dan kehebatannya justru tenggelam dengan waktu dan tidak menjadikannya tersohor sekalipun. Innaa lillah.
Keraguanku untuk merangkai kata-kata semakin bertambah jika mengingat bagaimana sikap beliau yang berusaha menutupi amalannya. Ada tiga kejadian di mana beliau berusaha untuk menyembunyikan rasa sedihnya di hadapan orang lain. Pertama, saat beliau mengajarku di bangku kuliah S1 semester pertama di fakultas hadits, beliau menyampaikan muhadharah tentang iman kepada Hari Kiamat. Beliau dengan sangat menggebu-gebu menyampaikan dahsyatnya hari kiamat sehingga timbul rasa khauf (takut) yang sangat dalam hati kami, para mahasiswa. Namun tiba-tiba beliau terdiam, bahkan terpaku membisu sehingga membuat kami terkejut. Beliau terus membisu hingga sekitar beberapa menit lamanya, Kulihat ternyata mata beliau berkaca-kaca, hatiku berkata “Kenapa Syaikh menahan tangisnya?” Bukankah jika beliau menangis di hadapan kami maka akan semakin menambah haru suasana dan nasihat beliau akan semakin hidup? Namun beberapa waktu kemudian baru aku paham ternyata keikhlasan merupakan perkara yang sangat berat dan sangat mahal harganya. Terlebih menjaga keikhlasan setelah memperolehnya. Hal yang tidak dapat dipungkiri, bisa jadi seseorang ditimpa penyakit ujub pada saat ia mampu menangis di hadapan orang banyak, meskipun ini tidak lazim terjadi.
Kedua, saat beliau mengisi pengajian di masjid Nabawi dan menjelaskan materi berbakti kepada kedua orangtua. Beliau menjelaskan keberadaan orangtua di sebuah rumah merupakan hiasan bagi rumah tersebut. Keberadaan orangtua menjadikan kehidupan di dalam sebuah rumah menjadi indah dan ketiadaannya menjadikan kehidupan di rumah terasa gersang. Tiba-tiba nada suara beliau berubah seperti orang yang hendak menangis, beliau pun terdiam membisu beberapa menit kemudian memberi isyarat seakan-akan beliau hendak minum, saat memegang gelas tangan beliau tampak gemetar, hampir membuat air yang ada di dalam gelas tumpah. Subhaanallah, beliau berusaha menutupi tangisnya dengan minum air agar tidak diketahui para hadirin yang ratusan jumlahnya, bahkan jumlah hadirin saat itu menjadi yang terbanyak dibanding majelis-majelis ilmu lainnya yang ada di masjid Nabawi.
Ketiga, pada saat beliau sedang mengisi di Radio Rodja, yaitu saat menyampaikan kerinduan beliau untuk berkunjung ke studio Radio Rodja secara langsung dan beliau mengucapkan terima kasih kepada kru Radio Rodja[2]. Bahkan karena sangat terharunya tiba-tiba beliau terdiam, aku yang sudah siap menerjemahkan perkataan beliau tersentak kaget. Kulihat mata beliau berkaca-kaca, tampak sedang menahan tangis seperti kebiasaan beliau. Aku pun teringat sikap beliau ini pertama kali pada saat mengajarku di semester pertama bangku kuliah S1 fakultas hadits.
Semua ini beliau lakukan untuk menyembunyikan tangisnya di hadapan orang lain. Aku jadi teringat dengan kisah salah seorang salaf pada saat menyampaikan sebuah nasihat, tiba-tiba ia pun menangis karena terharu, kemudian untuk menutupinya ia berkata, “Sesungguhnya influenza itu berat”[3]. Ia menggambarkan kepada orang-orang di sekitarnya seakan-akan beliau sakit flu, padahal beliau tidak sedang sakit. Oleh karena itu, beliau tidak berkata “aku sedang flu”, namun beliau berkata “Penyakit flu itu berat”. Subhaanallah, keikhlasan memang sulit, dan menjadi sangat sulit setelah meraihnya.
Kisah yang terakhir ini sebenarnya tidak ingin aku sampaikan, bahkan mungkin tidak boleh aku sampaikan. Akan tetapi, melihat faedah yang begitu besar, akupun nekat untuk menyampaikannya, semoga Allah memaafkanku. Syaikh pernah memberikan bantuan kepada salah seorang ikhwah berupa sejumlah uang karena seorang teman mengabarkan kepada beliau istrinya telah melakukan operasi sesar untuk proses kelahiran. Maka pada saat beliau masuk kelas untuk mengisi pelajaran, dan ikhwan tersebut hadir di kuliah, beliau berkata kepadanya dengan suara lirih : “Fulan, ana ingin berbicara denganmu setelah pelajaran.” Setelah selesai pelajaran, seperti biasa para mahasiswa berkumpul di sekeliling beliau untuk menanyakan permasalahan-permasalahan agama, dan si ikhwan juga mengikuti beliau. Hingga saat seluruh mahasiswa sudah bubar dan meninggalkannya, beliaupun mengeluarkan sejumlah uang dan memberikan kepada si ikhwan tersebut sambil berkata, “Uang ini bukan hanya dari aku, tetapi dari beberapa orang baik, dan ana harap jangan kau ceritakan kepada siapapun juga, dan lupakanlah pemberianku ini, anggap saja seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.” Subhaanallah, lihatlah dua pelajaran yang dapat kita petik dari perkataan beliau ini.
Pertama, bagaimana beliau menjelaskan dengan tegas bahwa uang ini bukan hanya darinya, dan hal ini menunjukkan keikhlasan dan jauhnya beliau dari sikap ingin dipuji, terlebih dengan sesuatu yang tidak beliau lakukan. Seandainya beliau tidak mengatakan demikian, aku tentu akan mengira bahwa uang tersebut seluruhnya dari beliau. Sebenarnya beliau tidak perlu menjelaskan bahwa uang tersebut bukanlah seluruhnya dari beliau, yang penting tujuannya adalah bantuan tersampaikan kepada yang membutuhkan. Hal ini juga aku saksikan pada saat beliau di Jakarta, ada seseorang ustadz yang datang kepada beliau dan menceritakan kerinduannya untuk bertemu Syaikh. Bahkan meskipun harus meninggalkan istrinya yang sakit dan ada kemungkinan harus dioperasi. Sampai-sampai orang tersebut menangis di hadapan Syaikh karena sudah lama ia tidak mendengar nasihat-nasihat yang berharga dari para ulama. Setelah ustadz tersebut pergi, beliau pun meminta salah seorang donatur jika tidak keberatan untuk menanggung biaya operasi istri ustadz tersebut. Al-Hamdulillah, sang donatur sangat tidak keberatan. Setelah itu Syaikh pun menelepon sang ustadz dan meminta nomor rekeningnya, kemudian berkata, “Kita akan mentransfer uang ke rekeningmu sejumlah 5 juta rupiah, tetapi uang tersebut bukan dariku, ada seorang donatur yang memberikannya sebagai hadiah untukmu”.
Aku masih ingat juga kisah salah seorang ikhwan yang suatu saat mengunjungi rumah Syaikh. Maka Syaikh pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau liburan di negaramu pada liburan musim panas kemarin?” Sang ikhwan menjawab, “Alhamdulillah.” Syaikh pun bertanya lagi, “Bagaimana ibumu? Bagaimana keadaannya? Apakah engkau bertemu dengannya?.” Maka sang ikhwan terdiam sejenak lalu berkata, “Aku tidak sempat mengunjungi ibuku, karena tempatnya yang jauh dari ibu kota negaraku dan aku hanya berlibur sekitar sepekan di negaraku. Aku hanya menelepon beliau.” Syaikh pun terlihat agak kaget, lalu mulailah syaikh menasihati ikhwan tersebut pentingnya bertemu dengan ibunya, dan hal itu merupakan amalan yang luar biasa di hadapan Allah. Hingga akhirnya sang ikhwan berlinangkan air mata, bahkan semakin deras air matanya mengalir mengingat sikapnya yang salah karena tidak menyempatkan waktu untuk mengunjunginya. Sambil terisak-isak, sang ikhwan berkata, “Aku juga sebenarnya ingin bertemu dengan ibuku. Hanya saja aku tidak punya biaya untuk pergi ke tempat ibuku, tiket pesawat cukup mahal, dan saat itu aku tidak punya uang.” Syaikh lalu berkata, “Usahakan ibumu untuk bisa naik haji, nanti masalah biaya aku yang atur.” Beberapa hari kemudian Syaikh pun memberi seluruh ongkos naik haji kepada sang ikhwan, sambil berkata, “Ini biaya dari salah seorang donatur”.
Demikianlah kepribadian Syaikh, jika ternyata suatu amalan kebaikan bukan dari beliau maka beliau pun segera mengabarkannya agar tidak disangka beliaulah yang melakukan amal tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan kenyataan sebagian manusia. Ada di antara manusia yang hanya sebagai perantara atau sekadar mendistribusikan, namun mereka mengesankan kepada masyarakat atau kepada penerima sumbangan seakan-akan bantuan tersebut keluar dari kantong dan usaha mereka. Bahkan mereka terkadang menyebut-nyebut hal ini untuk mengingatkan kepada si penerima sumbangan agar jangan melupakan jasa mereka. Apakah mereka tidak takut termasuk dalam sifat orang-orang tercela yang difirmankan oleh Allah ﷻ:
Mereka suka untuk dipuji pada perkara yang tidak mereka lakukan. (QS. Ali ‘Imran (3): 188)
Kedua, perkataan Syaikh “dan ana harap jangan kau ceritakan kepada siapapun juga, dan lupakanlah pemberianku ini, anggap saja seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa”. Sungguh menunjukkan ketulusan hati dan keikhlasan niat beliau. Aku jadi ingat nasihat Abu Hazim Salamah bin Dinar:
اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ
Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.[4]
Dalam riwayat yang lain[5] beliau berkata:
أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ
Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu. Janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).
Suatu hari, setelah shalat ashar, seperti biasa aku menanti Syaikh keluar dari masjid untuk naik mobil bututku menuju rumah beliau untuk menyampaikan kajian di Radio Rodja. Akan tetapi, pada sore itu beliau mengisyaratkan kepadaku untuk pergi lebih dahulu. Setelah keluar dari masjid beliau berdiri dan berbicara cukup lama dengan salah seorang Syaikh yang buta. Aku hanya memandang dari jauh, lalu aku berpaling menuju rumah beliau. Tidak berapa lama kemudian beliau menyusulku, lalu meminta kepada sekretarisnya untuk mencetak lembaran-lembaran kitab karya beliau atau mengopinya dalam keping cd. Beliau berkata, “Tadi ada seorang yang tidak dapat melihat ingin membaca buku-buku karyaku, semoga bermanfaat. Orang yang buta tersebut mengatakan bahwa ia memiliki alat untuk membaca lembaran-lembaran tulisan Arab dalam bentuk word”. Setelah itu beliau terdiam dan tidak melanjutkan perkataannya sama sekali.
Hal ini cukup mengejutkan hatiku, karena ternyata orang buta yang dimaksud oleh beliau adalah Syaikh Shaleh As-Suhaimi, salah seorang ulama kota Madinah dan juga merupakan guru beliau sendiri. Setelah aku telusuri ternyata Syaikh Shaleh As-Suhaimi yang merupakan pengajar tetap di Masjid Nabawi telah beberapa kali mengajarkan kitab-kitab karya muridnya sendiri, Abdurrazzaq Al-Badr. Sungguh sikap tawadhu’ seorang guru kepada muridnya. Selain itu, seringkali Syaikh Shaleh Suhaimi memuji Syaikh Abdurrazzaq dengan berkata, “Murid kami yang sekarang telah mengungguli kami”.
Syaikh Abdurrazzaq ternyata menyembunyikan hal ini kepada kami dan tidak pernah membanggakannya. Padahal ini benar-benar suatu perkara yang sangat membanggakan. Apabila beliau mau, tentunya beliau bisa saja berkata, “Tadi ada Syaikh Shaleh As-Suhaimi hafizhahullah yang ingin meminta buku-buku karyaku untuk ia ajarkan di masjid Nabawi”. Seandainya hal ini dialami oleh salah seorang dari kita, bisa jadi kita akan membangga-banggakan dan ceritakan ke mana-mana.
Demikian pula dengan kajian Syaikh Abdurrazzaq di Radio Rodja dalam dua kali sepekan dan banyaknya orang-orang yang hadir, sekitar lebih dari seratus ribu dan saat beliau menyampaikan muhadharah dua kali di masjid Istiqlal, sama sekali bukanlah merupakan perkara yang diketahui oleh para masyaikh di Madinah. Sekalipun beliau tidak pernah menggembar-gemborkannya. Padahal rekor internasional ini merupakan perkara yang sangat patut dibanggakan, atau paling tidak bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk memberi kabar gembira tentang berkembangnya dakwah sunnah di Jakarta. Namun, beliau lebih memilih untuk menyembunyikannya. Meskipun akhir-akhir ini berita mengenai hal tersebut dengan sendirinya tersebar di kalangan masyaikh Madinah dan juga sebagian para penuntut ilmu di kota Madinah.
Demikanlah kira-kira sosok Syaikh Abdurrazzaq yang semua ini semakin menambah keraguanku untuk melanjutkan penulisan tentang perjalananku bersama beliau ke Indonesia. Akan tetapi, mengingat permintaan sebagian teman-teman agar menuliskan kisah tersebut karena banyak faedah yang bisa didapatkan dan agar lebih luas manfaatnya, aku pun memberanikan diri untuk tetap menyusun kata-kata yang dapat mengungkapkan faedah-faedah tersebut.
Syaikh Abdurrazzaq, sebagaimana pengakuan sebagian teman-teman yang pernah dekat dengan beliau sebenarnya bukanlah orang yang paling alim di kota Madinah, bahkan bukan pula orang yang paling alim di Universitas Islam Madinah. Karena memang pada kenyataannya masih ada para ulama lain yang lebih unggul daripada beliau dari sisi keilmuan. Akan tetapi yang menjadikan beliau istimewa di hati para mahasiswa adalah perhatiannya yang sangat dalam terhadap amal, ketakwaan, dan akhlak. Hal ini tidak mengherankan, karena seringkali ditunjukkan dari nasihat –nasihat beliau tentang pengamalan ilmu. Selama kurang lebih 9 tahun beliau mengajar sebuah kitab tentang adab karya Imam Al-Bukhari yang berjudul Al-Adab Al-Mufrad di masjid Universitas Islam Madinah setiap hari kamis setelah shalat shubuh dan selama tiga tahun beliau mengajar kitab yang sama di masjid Nabawi. Bahkan aku masih ingat, pernah sekali beliau mengisi di Radio Rodja dan pada saat tidak ada materi yang siap untuk disampaikan, serta kebetulan salah seorang pembawa acara di Radio Rodja ingin ada pengajian khusus tentang tanya jawab, beliau langsung setuju dan memberikan sedikit muqaddimah tentang pentingnya mengamalkan ilmu.
Penulis: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: SEPENGGAL CATATAN PERJALANAN
DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlaq dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr hafizohulloh)
________
Footnote:
[1] Hadits shahih diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya No. 5.219 dan Al-Imam Muslim dalam shahihnya No. 2.130. Adapun sebab wurudnya hadits ini adalah
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي ضَرَّةً فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِي غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي
Ada seorang wanita yang berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang madu (istri yang lain dari suaminya), apakah tidak mengapa bagiku jika aku berhias di hadapannya dengan sesuatu yang tidak diberikan suamiku kepadaku?
Maksudnya, dengan mengaku-ngaku bahwa suaminya telah memberikan kepadanya sesuatu, seakan-akan suaminya sayang kepadanya, di mana hal ini tentu akan menjadi madunya terpedaya dan menyangka benarnya hal itu. Ada beberapa penafsiran dari kalangan para ulama tentang maksud hadits ini, di antaranya: Pertama, maksud Nabi dengan dua pakaian kedustaan adalah seseorang yang memakai pakaian dengan gaya pakaian orang-orang yang ahli zuhud sehingga masyarakat yang melihatnya menyangka ia juga termasuk orang yang zuhud, padahal hakikatnya tidaklah demikian. Untuk penafsiran ini maksud Nabi dari dua kain kedustaan adalah izaar dan ridda’ yang dipakai oleh orang-orang zuhud.
Kedua, maksud Nabi dengan dua pakaian kedustaan adalah seakan akan ia telah menunjukkan kepada dua orang lain dua kedustaan. Penafsiran kedua inilah yang lebih dekat kepada sebab wurudnya hadits karena wanita tersebut telah menampakkan kepada madunya dua kedustaan. Yang pertama ia berdusta bahwa suaminya telah memberikannya sesuatu dan yang kedua adalah wanita tersebut menampakkan kepada madunya seakan-akan ia yang lebih dicintai oleh suaminya, dengan dalil ia telah diberikan sesuatu dari suaminya yang tidak diberikan kepada madunya. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi, 6/153-154). Namun, maksud dari kedua tafsiran ini adalah sama dan berdekatan maknanya.
Hadits yang kelihatannya sederhana ini ternyata merupakan cambuk yang sangat pedas terhadap sebagian orang yang mencoba menampakkan kepada orang lain kehebatan yang tidak dimilikinya. Oleh karena itu, sungguh hati ini merasa tersayat saat melihat praktik sebagian kita yang terkena ancaman hadits ini. Di antara praktik-praktik yang pernah dilakukan sebagian orang pada umumnya adalah sebagai berikut.
- Terkadang kita mendapati seseorang yang menerjemahkan sebuah ceramah atau tulisan dari seorang ulama, kemudian ia mengesankan bahwa dirinya yang telah letih untuk menyusun tulisan tersebut. Bahkan sebagian orang, sebagaimana yang pernah penulis lihat di sebuah tabloid Ahlus Sunnah menerjemahkan suatu makalah yang ditulis oleh seorang ulama, namun nama ulama tersebut sama sekali tidak disebutkan. Dengan tanpa malu-malu ia mencantumkan namanya sebagai penulis makalah tersebut. Tentunya orang awam tidak tahu akan hal ini, tetapi sebagian orang yang sering menelaah buku para ulama tentu mengetahuinya. Sungguh sebagaimana sabda Nabi, “Ia telah memakai dua pakaian kedustaan.” Seandainya ia menjelaskan bahwa ia hanyalah penerjemah, tentu itu lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah, “Ia telah memakai dua baju kejujuran”; jujur bahwa ia adalah sekadar penerjemah, dan jujur bahwa ilmunya belum sampai untuk menulis seperti tulisan ulama tersebut.
- Hal lainnya yang juga pernah terjadi, ada sebagian orang yang meringkas tulisan dari sebuah buku atau makalah tentang sebuah permasalahan fiqh, terlebih lagi pada permasalahan-permasalahan fiqh yang pelik, kemudian ia mengesankan kepada para pembaca seakan-akan dirinya yang telah membahas permasalahan tersebut. Padahal ia hanya menukil atau meringkas.
- Kenyataan lainnya yaitu seseorang yang menyalurkan sumbangan dari para donatur, kemudian mengesankan kepada para penerima sumbangan seakan-akan ia yang telah mengeluarkan dana. Padahal ia hanya sebagai penyalur.
- Ada pula seseorang yang dipercayai oleh para donatur luar negeri untuk membangun masjid yang terkadang mengesankan kepada para donatur bahwa ia mampu membangun masjid yang bagus dengan dana yang sedikit. Padahal perkaranya tidak demikian karena sebagian dana bersumber dari masyarakat setempat.
Akan tetapi, kepiluan hati ini terobati pada saat melihat betapa banyak saudara-saudara muslim, baik yang belajar di Madinah atau di Qasim atau di Yaman, bahkan yang tidak pernah belajar di Timur Tengah pun banyak berkarya dengan karya-karya ilmiah yang menunjukkan kepiawaian ilmu mereka. Segala puji bagi Allah atas nikmat yang telah Ia anugrahkan kepada mereka.
[2] Termasuk sikap tawadhu’ Syaikh beliaulah yang menyampaikan rasa terimakasih kepada kru Radio Rodja. Hal ini beliau sampaikan langsung kepada kru Radio Rodja. Pada saat kru Radio Rodja menyampaikan rasa gembira mereka atas kedatangan beliau di Jakarta, syaikh langsung menimpali, “Aku yang harus berterimakasih kepada Radio Rodja yang telah memberiku kesempatan untuk bisa berdakwah“. Subhaanallah, sikap tawadhu yang tidak dibuat-buat, semoga Allah meninggikan derajat beliau.
[3] Ulama salaf tersebut adalah Ayub As-Syikhtiyani, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitabnya “Ar-Riqqah wa Al-Bukaa”
قال حماد بن زيد : ذَكَرَ أَيُّوْبُ يَوْمًا شَيْئًا ، فَرَقَّ ، فَالْتَفَتَ كَأَنَّهُ يَتَمَخَّطُ. ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَقَالَ : « إِنَّ الزُّكَّامَ شَدِيْدٌ عَلَى الشَّيْخِ »
Hammaad bin Zaid berkata, “Suatu hari Ayyub menyebutkan sesuatu, kemudian ia pun terenyuh, kemudian memalingkan wajahnya seakan-akan hendak buang ingus. Kemudian ia kembali menghadap kami dan berkata, “Sesungguhnya flu berat bagi Syaikh”.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasq (22/68)
[5] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman No. 6500.