4. تَعْرُجُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُۥ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
ta’rujul-malā`ikatu war-rụḥu ilaihi fī yauming kāna miqdāruhụ khamsīna alfa sanah
4. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.
Tafsir :
Kata تَعْرُجُ artinya adalah naik. Oleh karenanya peristiwa naiknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ke langit disebut dengan Isra’ Mi’raj. Adapun makna الرُّوحُ, ada dua pendapat kuat di kalangan Ahli Tafsir tentang maknanya. Pendapat pertama, Ar-ruh maknanya adalah malaikat Jibril ([1]), sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan Jibril dengan Ar-Ruh dalam firman-Nya,
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
“Yang dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril).” (QS. Asy-Syu’ara: 193)
Dan adapun dalam ayat ini, penyebutan malaikat Jibril mengandung penyebutan secara khusus setelah penyebutan secara umum. Konteks seperti ini sering dijumpai pada ayat-ayat yang lain, dimana Jibril disebutkan secara khusus karena dia adalah pemimpinnya para malaikat.
Pendapat kedua, Ar-ruh dalam ayat ini maksudnya adalah arwah (ruh-ruh), yaitu ruh-ruh seluruh manusia tatkala dicabut oleh malaikat maut ([2]), maka akan dibawa naik ke langit. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang hasan, diriwayatkan dari al-Baraa’ bin ‘Azib, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ، نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الشَّمْسُ، مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ، وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ، حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ، اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ. قَالَ: فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ، فَيَأْخُذُهَا، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا، فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ، وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ… وَإِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ، نَزَلَ إِلَيْهِ مِنَ السَّمَاءِ مَلَائِكَةٌ سُودُ الْوُجُوهِ، مَعَهُمُ الْمُسُوحُ، فَيَجْلِسُونَ مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ، حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ، اخْرُجِي إِلَى سَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَغَضَبٍ. قَالَ: فَتُفَرَّقُ فِي جَسَدِهِ، فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّودُ مِنَ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ، فَيَأْخُذُهَا، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوهَا فِي تِلْكَ الْمُسُوحِ، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila akan meninggal dunia, maka para malaikat rahmat turun kepadanya, wajahnya seperti matahari yang bersinar, mereka membawa kain kafan dan wangi-wangian dari surga. Mereka duduk di tempat sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut duduk di samping kepalanya, lalu berkata: ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya.’ Maka ruh tersebut keluar dari jasadnya seperti tetesan air yang mengalir dari bibir tempat air minum. Malaikat maut pun mengambil ruh yang sudah keluar dari jasadnya itu. Tiba-tiba para malaikat rahmat yang menunggu tidak membiarkan ruh tersebut berada di tangannya sekejap mata pun. Mereka segera mengambil dan menaruhnya di dalam kafan dan wangi-wangian tersebut, dan keluarlah bau wangi misik yang paling harum yang dijumpai di muka bumi. Dan apabila seorang hamba yang kafir akan meninggal dunia, turunlah malaikat azab dari langit. Wajah-wajahnya hitam dan seram. Mereka membawa kain yang kasar dan jelek. Mereka duduk di tempat sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat maut hingga dia duduk di samping kepalanya. Kemudian dia berkata: ‘Wahai jiwa yang jelek, keluarlah menuju kemurkaan Allah l dan kemarahan-Nya.’ Maka ruh tersebut bergetar di seluruh tubuhnya, kemudian malaikat maut mencabutnya sebagaimana dicabutnya besi alat pemanggang dari bulu-bulu yang basah. Dia kemudian mengambil ruh tersebut. Para malaikat yang menunggu tadi tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun, sampai mereka mengambil dan meletakkannya di kain yang kasar lagi jelek tadi. Keluarlah darinya bau seperti bau bangkai yang paling busuk yang ditemukan di muka bumi.”([3])
Bahkan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan bagaimana kematian orang-orang kafir, beliau membacakan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat.” (QS. Al-A’raf : 40)
Inilah dua bentuk tafsiran di kalangan para ulama tentang makna الرُّوحُ dalam ayat ini.
Kata إِلَيْهِ menunjukkan bahwa الرُّوحُ tersebut naik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka baik Ar-Ruh ditafsirkan dengan malaikat Jibril ataupun ruh-ruh manusia, intinya semuanya naik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya ayat ini juga merupakan di antara dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas langit karena الْعُرُوْجُ bermakna naik([4]). Adapun kita pahami bahwa yang namanya naik artinya dari bawah ke atas. Oleh karenanya ini adalah dalil bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas yang merupakan fitrah yang Allah tancapkan kepada hamba-hamba-Nya.
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.”
Ayat ini pada dasarnya menguatkan bahwasanya yang dimaksud الرُّوحُ dalam ayat ini adalah malaikat Jibril. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang naiknya para malaikat dan Jibril kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, di hari yang ukurannya satu hari seperti lima puluh ribu tahun.
Di dalam Alquran Allah menyebutkan dua model hari. Terkadang Allah mengungkapkannya dengan 50.000 tahun seperti dalam surah Al-Ma’arij ini, dan terkadang pula Allah Subhanahu wa ta’ala mengungkapkannya dengan 1.000 tahun, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَن يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّونَ
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj : 47)
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّونَ
“Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah : 5)
Apa perbedaan hari yang kadarnya 1.000 tahun dan hari yang kadarnya 50.000 tahun? Ibnu ‘Abbas pernah ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab,
هما يومان ذكرهما الله في القرآن، الله أعلم بهما
“Keduanya adalah hari yang berbeda, Allah menyebutkannya dalam Alquran. Allah yang lebih tahu tentang dua hari tersebut.”([5])
Kalau kita membuka buku-buku tafsir, tentu kita akan dapati banyak tafsiran mengenai hal ini. Sebagian menafsirkan dengan mengatakan bahwa 50.000 tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk berjalan dari pusat bumi hingga ke ‘Arsy, sedangkan 1.000 tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk berjalan dari pusat bumi menuju langit kedua. Akan tetapi ini hanyalah sekadar pendapat di kalangan Ahli Tafsir, adapun yang lebih aman adalah sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala yang lebih mengetahui hakikat kedua hari tersebut.
Akan tetapi Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan empat pendapat Ahli Tafsir tentang makna 50.000 tahun dalam ayat ini.
Pertama, 50.000 tahun adalah waktu yang dibutuhkan manusia untuk berjalan dari pusat bumi hingga ke ‘Arsy.
Kedua, 50.000 tahun adalah umur dunia ini sejak Allah menciptakannya hingga hari kiamat. Namun tidak ada yang mengetahui berapa tahun yang sudah berlalu dan berapa tahun yang bersisa, sehingga dari penafsiran ini tetap tidak bisa diketahui kapan hari kiamat itu akan datang.
Ketiga, 50.000 tahun adalah waktu transisi antara alam dunia dan alam akhirat.
Keempat, 50.000 tahun adalah jarak waktu yang akan dialami oleh seseorang di padang mahsyar sejak dia dibangkitkan sampai sebelum surga dan neraka.([6]) Pendapat keempat ini merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan para ulama Ahli Tafsir lainnya. Oleh karenanya salah seorang salaf bernama Yaman berkata,
هُوَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، فِيهِ خَمْسُونَ مَوْطِنًا كُلُّ مَوْطِنٍ أَلْفُ سَنَةٍ
“Itu adalah hari kiamat. Di sana ada lima puluh tahapan (yang harus dilewati oleh seseorang). Masing-masing tahapan tersebut lamanya adalah seribu tahun.”([7])
Dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
هُوَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، جَعَلَهُ اللَّهُ عَلَى الْكَافِرِينَ مِقْدَارَ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، ثُمَّ يَدْخُلُونَ النَّارَ لِلِاسْتِقْرَارِ
“Itu adalah hari kiamat. Allah jadikan bagi orang-orang kafir ukurannya lima puluh ribu tahun, kemudian setelah itu mereka dimasukkan ke dalam neraka untuk menetap.”([8])
Di antara dalil yang menguatkan tafsiran ini adalah berdasarkan hadits yang sahih tentang orang yang tidak bayar zakat. Dalam tafsir Al-Qurthubi, diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ رَجُلٍ لَمْ يُؤَدِّ زَكَاةَ ماله إِلَّا جُعِلَ شُجَاعًا مِنْ نَارٍ تُكْوَى بِهِ جَبْهَتُهُ وَظَهْرُهُ وَجَنْبَاهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ بَيْنَ الناس
“Tidak seorang pun yang tidak membayarkan zakat hartanya kecuali hartanya itu dijadikan ular jantan dari neraka yang digunakan untuk menyeterika dahi, punggung dan lambungnya pada hari yang mana kadarnya adalah lima puluh ribu tahun sampai Allah memutuskan nasib manusia. Ini menunjukkan bahwa itu adalah hari kiamat.”([9])
Namun dalam Shahih Muslim diriwayatkan dengan redaksi,
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”([10])
Demikianlah jika dibandingkan dengan kehidupan di akhirat, maka kehidupan kita di dunia ini sangat sebentar. Oleh karenanya benarlah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (QS. Muhammad : 36)
Kehidupan dunia ini tidak lain sebagaimana seseorang yang bersenda gurau kemudian selesai dari senda guraunya. Tatkala seorang manusia meninggal dunia, dia akan memasuki alam barzakh yang waktunya pun belum diketahui, bisa ratusan bahkan sampai ribuan tahun. Setelah itu, semua manusia akan dibangkitkan dan akan menjalani hari-hari yang sangat panjang. Oleh karena itu, seorang yang cerdas seharusnya menyadari bahwa yang menentukan semua nasibnya sejak di alam barzakh sampai dibangkitkan dan melewati 50.000 tahun tersebut adalah tergantung bagaimana dia menjalani kehidupan dunianya. Karena orang yang beriman akan dibuat ringan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk menjalani hari-hari tersebut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi bersabda,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَوْمًا كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، مَا أَطْوَلَ هَذَا الْيَوْمَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّهُ لَيُخَفَّفُ عَلَى الْمُؤْمِنِ، حَتَّى يَكُونَ أَخَفَّ عَلَيْهِ مِنْ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ يُصَلِّيهَا فِي الدُّنْيَا
“Bahwasanya ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang satu hari yang lamanya sebanding dengan lima puluh ribu tahun, ‘Betapa lamanya hari itu?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya hari itu akan dirasakan sebentar oleh orang yang beriman bahkan seakan-akan lebih cepat dari waktu melaksanakan salah satu shalat wajib ketika di dunia’.”([11])
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, namun didhaifkan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, ini adalah konsekuensi yang akan diberikan kepada orang beriman, bagaimanapun kedahsyatan hari kiamat orang beriman akan merasakan kemudahan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak amal saleh, karena itu akan mempengaruhinya bagaimana kondisinya di hari akhirat kelak.
________________________
Footnote :
([1]) TafsirAth-Thabariy: 23/ 601.
([2]) Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 281.
([5]) Tafsir Ath-Thabari 23/602
([6]) Tafsir Ibnu Katsir 8/221-
([7]) Tafsir Al-Qurthubi 18/282
([8]) Tafsir Al-Qurthubi 18/282