Melempar Jamarot
Hikmah melempar jamarot
Pertama : Untuk mengingat Allah
Allah berfirman :
وَاذْكُرُواْ اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ
Dan berdzikirlah (dengan mengingat) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. (QS Al-Baqoroh 203)
Hari-hari berbilang tersebut adalah hari-hari tasyriq (lihat tafsir At-Thobari 3/549-553). Allah memerintahkan untuk berdzikir kepada Allah di hari-hari tersebut. Diantaranya adalah berdzikir kepada Allah dengan melempar jamarot. Karenanya setelah itu berfirman :
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa” (QS Al-Baqoroh : 203)
Ini menunjukan bahwa melempar jamarot dalam rangka berdzikir kepada Allah([1]). Didukung oleh hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لِإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“Hanyalah disyariátkan thowaf di ka’bah dan saí antara shofa dan marwah serta melempar kerikil (jamarot) adalah untuk menegakan dzikir kepada Allah”([2])
Karenanya tatkala seseorang melempar setiap kerikil disyariátkan untuk bertakbir sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah.
Kedua : Meneladani Ibrahim álaihis salam dalam memusuhi dan tidak mentaati syaitan
Ibnu Ábbas meriwayatkan secara marfu’ :
«لَمَّا أَتَى إِبْرَاهِيمُ خَلِيلُ اللَّهِ الْمَنَاسِكَ عَرَضَ لَهُ الشَّيْطَانُ عِنْدَ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ فَرَمَاهُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ حَتَّى سَاخَ فِي الْأَرْضِ، ثُمَّ عَرَضَ لَهُ عِنْدَ الْجَمْرَةِ الثَّانِيَةِ فَرَمَاهُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ حَتَّى سَاخَ فِي الْأَرْضِ، ثُمَّ عَرَضَ لَهُ عِنْدِ الْجَمْرَةِ الثَّالِثَةِ فَرَمَاهُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ حَتَّى سَاخَ فِي الْأَرْضِ»
“Ketika Ibrahim kekasih Allah mendatangi manasik maka syaitan muncul menghadanginya/menggodanya di jamrotul Áqobah, maka Ibrahimpun melemparnya dengan tujuh kerikil hingga syaitan pun tenggelam ke bumi. Lalu syaitan pun menggodanya di jamarot yang kedua maka Ibrahimpun melemparnya dengan tujuh kerikil hingga hilang di telan bumi, lalu syaitan muncul dan menggoda beliau di jamroh yang ketiga, maka Ibrahimpun melemparnya dengan tujuh kerikil hingga menghilang di telan bumi”.
Ibnu Ábbas berkata الشَّيْطَانَ تَرْجُمُونِ وَمِلَّةَ أَبِيكُمْ تَتَّبِعُونَ “Kalian melempar syaitan dan kalian mengikuti agama ayah kalian (Ibrahim)”. (HR Al-Hakim no 1713 dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro 9693 dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Al-Albani dalam Shahih At-Trghiib no 1156)
Al-Ghozali berkata, “Adapun melempar jamarot maka jadikanlah tujuannya adalah untuk tunduk kepada perintah Allah dengan menampakan penghambaan dan membudakan diri kepadaNya, yaitu dengan semangat bangkit menjalankan perintahnya meskipun tidak memahami dan tidak keuntungan bagi jiwa. Lalu niatkan untuk meniru Nabi Ibrahim álaihis salam dimana beliau digoda oleh Iblis -yang dilaknat oleh Allah- di lokasi tersebut untuk memasukan syubhat kepada beliau atau untuk menjerumuskan beliau dalam kemaksiatan. Maka Allah memerintah beliau untuk melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan memutuskan harapannya.
Jika terbetik dalam benakmu bahwasanya syaitan memang menggoda Ibrahim dan disaksikan oleh Ibrahim maka Ibrahim pun melemparnya, adapun aku maka syaitan tidak muncul menggodaku, maka ketahuilah bahwa pikiran ini dari syaitan, dialah yang telah melemparkan pemikiran itu kepada hatimu agar engkau jadi malas melempar, dan ia mengkhayalkan kepadamu bahwa melempar jamarot adalah perbuatan yang tidak ada faidahnya dan hanya mirip dengan permainan belaka, maka cueklah darinya dan buanglah pemikiran tersebut dari dirimu dengan serius dan semangat dalam melempar sehingga menjengkelkan syaitan.
Ketahulilah sesungguhnya engkau meskipun secara dzhohir sedang melempar kerikil ke jamarot namun pada hakikatnya engkau sedang melempar wajah syaitan, dan engkau mematahkan pundaknya. Karena tidaklah menjadikan syaitan jengkel kecuali jika engkau menjalankan perintah Allah sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dengan menjalankan perintahNya meskipun tidak ada manfaat bagi jiwa dan tidak bisa dipahami” (Ihyaa’ Úluum ad-Diin 1/270)
Asy-Syingqithi berkata, “Seakan-akan melempar jamarot merupakan lambang dan isyarat permusuhan kepada syaitan yang Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhinya dalam firmanNya إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا “Sesungguhnya syaitan adalah musuh kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh” (QS Fathir : 6), dan juga dalam firmanNya -yang mengingkari orang-orang yang berwala kepada syaitan- أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ “Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?” (QS al-Kahfi : 50). Dan sebagaimana diketahui bahwasanya melempar dengan batu termasuk bentuk yang paling besar yang menunjukan akan permusuhan” (Adwaaul Bayaan 4/479-480)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan melempar jamaroot
1. Jamarot di Mina ada 3 :
- Al-Jamrot As-Sughro, yang teletak paling dekat dengan Mina
- Al-Jamrot al-Wushtho, yang terletak setelah al-Jamrot as-Shugro, yaitu letaknya di pertengahan
- Al-Jamrot al-Kubro (dinamakan juga dengan Jamrot al-Áqobah), yang terletak paling jauh dari Mina, yang terakhir, yang paling dekat dengan Mekah. Dan lokasi al-Jamroh ini bukan bagian dari Mina([3]). (yang tidak termasuk dari Mina ialah areal dibalik fisik Jumrah yg ke arah Makkah, adapun bagian jumrah yg ke arah Mina maka itu termasuk mina).
2. Tatkala tanggal 10 Dzulhijjah (Hari An-Nahr) maka yang dilempar hanyalah al-Jamroh al-Kubro (Jamrot al-Áqobah) sebanyak 7 kerikil.
3. Sunnahnya melempat jamarot al-Áqobah adalah setelah matahari terbit, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam. Akan tetapi boleh bagi orang yang diizinkan keluar dari Muzdalifah lewat tengah malam untuk langsung melempar jamrot al-Áqobah sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat.
4. Jika tidak sempat melempar di siang hari maka boleh melempar di malam hari. Dan waktu melempar memanjang hingga sebelum terbit fajar (adzan subuh) esok harinya. ([4])
5. Diantara syarat melempar :
- Yang digunakan untuk melempar harus berupa batu kerikil. Maka tidak boleh melempar dengan menggunakan tanah, logam, pasir, dan aspal
- Harus 7 kerikil pada setiap sumur lemparan (Jamrah)
- Lemparnya harus satu per satu, tidak boleh 7 kerikil dilemparkan sekaligus
- Kerikilnya harus masuk ke dalam sumur. Adapun tiang/dinding yang dibuat hanyalah sebagai petunjuk, bukan tujuan. Jika lemparan terlalu kuat di pinggiran sumur sehingga kerikilnya mental keluar sumur jamarat maka tidak sah.
- Harus niat melempar. Jika tangan seseorang tersenggol oleh orang lain sehingga kerikilnya terjatuh masuk dalam sumur jamarot maka tidak sah, karena tidak ada niat melempar.
- Kerikilnya harus dilempar, tidak hanya sekedar diletakan.
6. Kerikil yang digunakan untuk melempar ukurannya sedang, tidak terlalu kecil dan tidak juga terlalu besar. ([5])
Ibnu Ábbas berkata :
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ، وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَاحِلَتِهِ: ” هَاتِ الْقُطْ لِي ” فَلَقَطْتُ لَهُ حَصَيَاتٍ هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ، فَوَضَعَهُنَّ فِي يَدِهِ، فَقَالَ: ” بِأَمْثَالِ هَؤُلَاءِ ” مَرَّتَيْنِ، وَقَالَ بِيَدِهِ – فَأَشَارَ يَحْيَى أَنَّهُ رَفَعَهَا – وَقَالَ: ” إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ؛ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata kepadaku di pagi hari melempar jamrot al-Áqobah, sementara beliau menunggangi onta beliau, “Carikan buatku (kerikil)”. Maka akupun mengambil untuk beliau kerikil-kerikil yaitu kerikil ukurang untuk mengutik, lalu beliau meletakkan kerikil-kerikil tersebut di tangan beliau lalu beliau berkata sebanyak dua kali, “Seperti (ukuran) kerikil-kerikil inilah (kalian melempar)”. Dan beliau berkata -dengan mengangkat tangannya-, “Waspadalah kalian dari sikap berlebih-lebihan dalam agama. Karena sesungguhnya umat sebelum kalian dibinasakan oleh sikap berlebihan dalam agama” (HR Ibnu Majah no 3029 dan Ahmad no 1851 dan 3248)
Ini menunjukan bahwa sikap berlebih-lebihan dalam ukuran kerikil adalah terlarang. ([6])
7. Hendaknya melempar dengan tangan kanan disertai takbir setiap kali lemparan kerikil
8. Tidak mengapa kerikil diambil dari manapun, karena tetap saja namanya adalah kerikil([7]). Hanya saja para ulama khilaf dari mana lebih utama untuk diambil, apakah dari Muzdalifah ataukah dari perjalanannya dari Muzdalifah menuju Mina ([8])
9. Kerikil-kerikil tersebut tidak perlu dicuci terlebih dahulu, karena ketika Nabi memerintahkan Ibnu Ábbas mencari kerikil posisi beliau sedang berada di atas onta beliau, dan tidak diriwayatkan bahwa beliau mencuci kerikil tersebut. ([9])
10. Jika seseorang tidak mampu untuk melempar jamarot karena sakit atau udzur yang sulit diharapkan hilangnya hingga akhir waktu melempar, maka boleh baginya untuk mewakilkan lemparannya. Yang perlu diperhatikan :
- Wakilnya yang mau melemparkan hendaknya sudah melempar untuk dirinya terlebih dahulu.
- Jika dia hendak mengambil nafar awal, maka janganlah ia keluar dari mina kecuali setelah wakilnya tersebut melempar
11. Setelah melempar jamrot al-Áqobah -baik pada tanggal 10 Dzulhijjah maupun tanggal 11,12,dan 13 Dzulhijjah- maka tidak disunnahkan berdoa. Hanyalah disunnahkan berdoa adalah setelah melempar al-Jamrot as-Shugro dan al-Jamrot al-Wushtho pada hari-hari tasyriik (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
12. Bagi yang berudzur kuat, maka boleh menggabungkan pelemparan 2 hari dilaksanakan pada satu hari.
Footnote:
([1]) Lihat Adwaaul Bayaan, Asy-Syinqithy 4/479
([2]) HR Abu Dawud no 1888, at-Tirmidzi no 902, An-Nawawi berkata, “Sanadnya seluruhnya shahih kecuali Úbaidillah, maka kebanyakan para ulama menilainya dhoíf (lemah) dengan kelemahan yang ringan” (Al-Majmuu’ 8/56), dan hadits ini dinilai dhoíf oleh Al-Albani.
([3]) Karena Mina adalah dari wadi al-Muhassir hingga Jamrotul Áqobah. Dan telah shahih dari Umar bin Al-Khotthob, Ibnu Umar, dan Ibnu Ábbas radhiallahu ánhum dimana mereka melarang orang-orang mabit di balik Jamrotul Áqobah (Lihat At-Taudhiih Li Syarh al-Jaami’As-Shahih, Ibnul Mulaqqin 11/448)
([4]) Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Ábbas, tatkala hari An-Nahar ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam رَمَيْتُ بَعْدَ مَا أَمْسَيْتُ “Aku melempar setelah masuk waktu petang”. Nabi berkata, لاَ حَرَجَ “Tidak mengapa” (HR Al-Bukhari no 1735).
Meskipun orang yang bertanya kepada Nabi dalam hadits ini tidak melempar di malam hari, tapi di sore hari, akan tetapi dalam Bahasa Arab المَسَاءُ mencakup malam hari.
Secara Bahasa المَسَاءُ al-Masaa’ atau الإِمْسَاءُ al-Imsaa’ ada dua pendapat di kalangan ahli bahasa:
Pertama : dari dzuhur hingga terbenam matahari.
Kedua : dari dzuhur hingga tengah malam.
Al-Kholil bin Ahmad Al-Farohidi (wafat 170 H) berkata :
والمساء: بعد الظُّهْر إلى صلاةِ المَغْرِب. وقال بعضٌ: إلى نِصْفِ اللَّيل
“Al-Masaa’ (petang) adalah setelah dzuhur hingga sholat magrib. Sebagian berkata : hingga tengah malam” (Al-‘Ain 7/323, hal serupa dinyatakan oleh Al-Azhari (wafat 310 H) dalam kitabnya Tahdziib al-Lughoh 13/82 dan Az-Zabiidi dalam Taajul ‘Aruus 39/530)
Sehingga pendalilan dari hadits ini -akan bolehnya melempar di malam hari- dari tiga sisi :
- Keumuman makna al-Masaa’ dalam Bahasa Arab yang mencakup makna awal malam. Dan Nabi juga tidak merinci kepada sang penanya, apakah dia melempar di akhir hari atau di awal malam?, yang ini menunjukan perkaranya lapang (lihat Asy-Syarh al-Mumti’ 7/354)
- Karena Nabi tidak membatasi waktu melempar hingga kapan?. Dan tatkala Nabi tidak melarang atau membatasi maka hukum asalnya adalah boleh. (Lihat Majmuu Fataawaa Ibnu Baaz 17/368)
- Diqiaskan dengan hari Arofah, sesungguhnya hari Arofah boleh wukuf lanjut hingga malam hari hingga sebelum terbit fajar bagi yang tidak bisa wuquf di siang hari, karena malamnya mengikuti hukum siangnya. Maka demikian pula tatkala melempar jamarot (lihat Asy-Syarh al-Mumti’ 7/355)
Sebagian ulama berpendapat jika seseorang tidak sempat melempar jamrot al-Áqobah di tanggal 10 Dzulhijjah hingga matahari tenggelam maka hendaknya dia melemparnya di tanggal 11 Dzulhijjah setelah masuk waktu dzuhur. Jadi ia mulai dulu melempar buat hari kemarin, setelah itu baru ia melempar untuk yang tanggal 11 (lihat Asy-Syarh al-Kabiir, Ibnu Qudaamah 9/203). Namun yang benar tidak mengapa dia melempar meski di malam hari.
([5]) Para ulama menjelaskan tentang ukuran kerikil untuk melempar jamaroot, yaitu kira-kira seukuran kacang merah, atau seukuran ruas jari, atau biji kurma. (lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 8/191, Mirqoot Al-Mafaatiih 5/1815)
([6]) Meskipun sebagian ulama menyatakan jika lebih besar atau lebih kecil tetap saja sah hanya saja menyelisihi perintah Nabi shallallahu álaihi wasallam (lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 8/191)
([7]) Lihat Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab 8/124. Al-Imam Ahmad berkata “Ambillah kerikil dari mana saja yang kau kehendaki” (Asy-Syarh al-Kabiir, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi 9/188)
([8]) Dzohir hadits Ibnu Ábbas menunjukan Nabi menyuruh beliau mencari kerikil adalah di perjalanan menjelang melempar jamarotul áqobah di Mina. Akan tetapi para salaf (seperti Ibnu Umar radhiallahu ánhu dan Saíd bin Jubir rahimahullah) mereka mereka mengambil kerikil dari Muzdalifah agar bersiap-siap untuk melempar. Sehingga tatkala tiba di Mina yang pertama mereka lakukan adalah melempar dan tidak sibuk lagi mencari-cari kerikil. (lihat : Asy-Syarh al-Kabiir, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi 9/188)
([9]) Bahkan sebagian ulama berpendapat jika ternyata ia melempar jamarot dengan kerikil yang ada najisnya maka tetap sah, karena ia telah melempar kerikil. (Lihat Asy-Syarh al-Kabiir, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi 9/190).