Thowaf Wada’ (perpisahan)
Setelah meninggalkan Mina maka jamaáh haji kembali ke Mekah untuk melakukan thowaf wada’ sebelum meninggalkan kota Mekah.
Ibnu Ábbas berkata :
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ
“Orang-orang diperintahkan agar kagiatan terakhir yang mereka lakukan sebelum meninggalkan kota Mekah adalah thowaf di kábah, hanya saja diberi keringanan kepada wanita yang haid” (HR Al-Bukhari no 1755 dan Muslim no 1328)
Ibnu Ábbas juga berkata :
كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ»
“Orang-orang pergi (setelah dari Mina) ke segala arah, maka Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata, “Janganlah seorangpun pergi (meninggalkan Mekah untuk pulang) hingga kegiatannya yang terakhir adalah ia thowaf di ka’bah” (HR Muslim no 1327)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan thowaf wada’
- Thowaf wada’ hukumnya wajib bagi orang yang haji, karena hadits-hadits di atas menyebutkan “perintah”, dan hukum asal perintah adalah untuk wajib. Namun thowaf wada’ tidak wajib bagi orang yang umroh([1]).
- Thowaf wada’ hanya disyariátkan bagi jamaáh haji yang datang dari luar Mekah, sehingga butuh untuk thowaf perpisahan, adapun penduduk kota Mekah yang haji maka tidak perlu untuk thowaf perpisahan karena ia tinggal di Mekah. Demikian pula tidak wajib bagi jamáah haji yang datang dari luar Mekah lalu setelah haji ia berniat untuk bermuqim/menetap di kota Mekah.
- Disyaratkan bagi wanita harus suci dari haid dan nifas. Karenanya wanita yang haid dan nifas gugur kewajiban thowaf wada’ atas mereka.
Aisyah berkata :
أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ – زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَاضَتْ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَحَابِسَتُنَا هِيَ» قَالُوا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ قَالَ: «فَلاَ إِذًا»
“Bahwasanya Shofiyyah bintu Huyay -istri Nabi shallallahu álaihi wasallam- haid, maka akupun menyebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam. Maka Nabi berkata, “Apakah Shofiyyah akan menahan kita (sehingga tidak bisa pulang ke Madinah)?”. Mereka berkata, “Shofiyyah telah melakukan thowaf ifadhoh”. Nabi berkata, “Kalau begitu ia tidak menahan kita untuk pulang” (HR Al-Bukhari 1757 dan 4410 dan Muslim no 1211)
Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid, sehingga gugur juga kewajiban thowaf wada’. Jika seorang wanita sebelum meninggalkan bangunan kota mekah ternyata haidnya berhenti atau nifasnya berhenti maka wajib baginya untuk kembali untuk thowaf wada’. Namun jika ia suci setelah melewati jarak safar (80 km) maka tidak perlu kembali untuk thowaf wada’([2])
- Waktu pelaksanaan thowaf wada’ adalah setelah semua kegiatan selesai tinggal hanya pulang. Sebagaimana sabda Nabi di atas “Janganlah seorangpun pergi (meninggalkan Mekah untuk pulang) hingga kegiatannya yang terakhir adalah ia thowaf di ka’bah” (HR Muslim no 1327)
Akan tetapi tidak mengapa jika setelah thowaf wada’ ia melakukan kegiatan yang merupakan persiapan safar seperti membeli perbekalan safar, menunggu bis, mengangkat barang ke bis, dan menunggu rombongan safar. Karena kegiatan-kegiatan ini tidak merubah statusnya menjadi muqim([3])
- Setelah thowaf wadaa’ tidak boleh melakukan kegiatan yang menunjukan seakan-akan kegiatan seorang yang hendak muqim (tinggal), seperti tidur, dll. ([4])
- Bagi orang yang telah melakukan thowaf wadaa’ lalu berjalan menuju keluar Mekah (menuju ke hotel/penginapan) menunggu bis jemputan, ternyata bisnya datang terlambat hingga harus bermalam, atau ia ternyata tersibukkan memperbaiki mobilnya yang rusak, atau ia mencari keluarganya yang hilang, dengan niat kapan ia ketemu keluarganya tersebut ia langsung meninggalkan Mekah, maka ia tidak perlu mengulangi thowaf wadaa’nya karena ia telah berniat keluar dari Mekah, hanya saja ada halangan udzur
- Setelah thowaf wadaa’ disunnahkan sholat dua raka’at.
- Boleh menggabungkan thowaf wada’ dengan thowaf ifadhoh([5]) dengan syarat :
- Niatnyabukan niat thowaf wada’, akan tetapi niatnya adalah niat thowaf ifadhoh, atau meniatkan keduanya (menurut sebagian ulama). Jika dia thowaf dengan niat thowaf wada’ saja maka ia harus thowaf ifadhoh lagi.
- Agar thowaf ifadhohnya sudah mencukupkan dari thowaf wada’ maka harus thowaf ifadhohnya dikerjakan yang paling terakhir sebelum meninggalkan kota Mekah. Dan bagi yang belum sa’i haji maka boleh melakukan sa’i haji setelah thowaf ifadhoh, karena saí mengikuti thowaf ([6])
- Sebagian orang menyangka bahwa jika setelah thowaf wadaa’ tidak boleh lagi sholat di masjidil haram. Ini adalah persangkaan yang keliru, karena Nabi setelah thowaf wadaa’ beliau masih mengimami sholat subuh. Karenanya jika setelah thowaf wadaa’ ternyata sebentar lagi tiba waktu sholat maka tidak mengapa ia menunggu waktu sholat di masjidil haram. Demikian juga jika ternyata setelah thowaf wada’ bertepatan dengan waktu sholat jumat lalu iapun menunggu untuk sholat jumat([7])
- Barang siapa yang sakit dan masih mampu untuk thowaf dalam keadaan diangkat atau di dorong pakai kursi roda maka kewajiban thowaf wadaa’nya tidaklah gugur. Berbeda jika ia sakit parah dan tidak bisa thowaf meskipun diangkat atau didorong dengan kursi roda, maka gugurlah kewajiban thowaf wadaa’nya. Namun jika dia diberi kelapangan maka lebih baik ia membayar dam dengan memotong seekor kambing untuk dibagikan kepada kaum fuqoro di Mekah([8])
- Barang siapa yang keluar dari Mekah dengan jarak safar (sekitar 80 km) maka hendaknya ia thowaf ifadhoh sebelum keluar, meskipun ia akan kembali lagi ke Mekah. Sebagai contoh adalah jama’ah haji yang setelah selesai seluruh amalan hajinya lalu hendak jalan-jalan ke Madinah atau ke Jeddah, meskipun ia akan kembali lagi ke Mekah, maka ia hendaknya thowaf wadaa’ sebelum keluar ke Madinah atau Jeddah, dan ini pendapat kebanyakan ulama dan merupakan pendapat yang lebih hati-hati. Jika setelah kembali ke Mekah lalu ia hendak pulang ke tanah air maka lebih hati-hati ia thowaf wada’ lagi([9]). Meskipun ada sebagian ulama yang menyatakan kemanapun ia pergi meskipun melewati jarak safar, akan tetapi ia niat untuk kembali ke Mekah, maka ia tidak perlu thowaf wadaa’. Ia hanya thowaf wadaa’ jika hendak kembali ke kampung halamannya([10])
______________
Footnote:
([1]) Hal ini karena perintah kewajiban untuk thowaf wada’ dalam hadits Ibnu Ábbas hanya berkaitan dengan haji. Dan Nabi shallallahu álaihi wasallam berhaji beliau sudah umroh sebanyak tiga kali, yaitu umroh al-Hudaibiyah, umroh al-Qodhoo’, dan umroh al-Ju’ronah. Akan tetapi tidak diriwayatkan sama sekali bahwa beliau melakukan thowaf wada’ setelah umroh beliau. Bahkan tatkala umroh al-Qodhoo’ Nabi shallallahu álaihi wasallam dan para sahabat menetap di Mekah selama 3 hari (lihat As-Siroh An-Nabawiyah As-Shahihah, Dr Akrom al-Úmari 2/464) namun tidak diriwayatkan bahwa salah seorang dari mereka melakukan thowaf wada’.
Selain itu umroh disyariátkan kapan saja sepanjang tahun, berbeda dengan haji yang disyariátkan hanya sekali dalam setahun, sehingga diperlukan bagi seseorang untuk thowaf perpisahan sebelum balik ke tanah airnya. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh madzhab Hanafiyah dan dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani, bahwasanya tidak disyariátkan thowaf wada’ bagi orang yang umroh.
Sebagian ulama memandang bahwa thowaf wada’ wajib bagi orang yang umroh sebagaimana wajib bagi orang yang haji. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaikh al-Útsaimin. Bahkan sebagian ulama berpendapat jika seseorang menetap di Mekah (meskipun tidak sedang haji dan umroh) lantas ia ingin meninggalkan kota Mekah maka ia wajib untuk thowaf wada’.
Sebagiannya lagi berpendapat bahwa thowaf wada’ hanya disunnahkan bagi orang yang umroh namun tidak sampai wajib, dan ini adalah pendapat yang dipilih para ulama al-Lajnah ad-Daaimah diantaranya Asy-Syaikh Bin Baaz.
Peringatan : Khilaf para ulama di atas adalah berkaitan dengan seorang yang setelah melakukan umroh masih bermuqim/menetap di Mekah. Adapun yang setelah umroh langsung meninggalkan kota Mekah maka tidak ada khilaf di kalangan para ulama bahwa ia tidak perlu lagi untuk melakukan thowaf wada’.
([2]) Lihat Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab 8/255
([3]) Lihat al-Majmuu, An-Nawawi 8/253, Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 24/387. Bahkan Asy-Syaikh Bin Baaz berkata, “Barang siapa yang thowaf wada’, lalu butuh untuk membeli sesuatu untuk berdagang maka tidak mengapa selama selang waktunya sebentar. Adapun jika selang waktunya lama secara úrf maka ia mengulangi thowaf wada’nya” (Majmu’ Fataawa Bin Baaz 16/151)
Adapun dalilnya :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ – زَوْجِ النَّبِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ بِمَكَّةَ، وَأَرَادَ الخُرُوجَ، وَلَمْ تَكُنْ أُمُّ سَلَمَةَ طَافَتْ بِالْبَيْتِ وَأَرَادَتِ الخُرُوجَ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أُقِيمَتْ صَلاَةُ الصُّبْحِ فَطُوفِي عَلَى بَعِيرِكِ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ». فَفَعَلَتْ ذَلِكَ، فَلَمْ تُصَلِّ حَتَّى خَرَجَتْ
Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anhaa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Rasulullah tatkala di Mekah dan hendak keluar (meninggalkan Mekah) dan Ummu Salamah belum thowaf di Ka’bah namun juga hendak keluar (meninggalkan Mekah), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Jika telah ditegakan sholat subuh maka thowaflah engkau di atas ontamu sementara orang-orang sedang sholat”. Maka Ummu Salamahpun mengerjakan hal tersebut dan ia belum sholat hingga keluar (dari Masjidil Haram)” (HR Al-Bukhari no 1626)
Dalam riwayat yang lain, Ummu Salamah berkata :
شَكَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَشْتَكِي قَالَ: «طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ» فَطُفْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَى جَنْبِ البَيْتِ يَقْرَأُ بِالطُّورِ وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ
“Aku mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya aku sakit, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Thowaflah engkau di belakang jama’ah, dan engkau sambil naik (ontamu)”. Maka akupun thowaf, sementara Rasulullah tatkala itu sedang sholat di sisi ka’bah, dan beliau membaca “Watthuur wa kitaaabim masthuur….” (Surat At-Thuur)” (HR Al-Bukhari no 1619)
Sisi pendalilan : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah thowaf wadaa’ (sebelum subuh) beliau ingin keluar dari Mekah (Masjidil Harom) akan tetapi ternyata istri beliau Ummu Salamah belum thowaf wadaa’ karena sakit. Akhirnya Nabi menunggu Ummu Salamah, dan beliaupun memimpin sholat subuh di masjidil haram sementara Ummu Salamah melakukan thowaf wadaa’. Hal ini menunjukan bahwa sholat subuh di Masjidil Harom juga tidak membatalkan thowaf wadaa’, padahal bacaan Nabi tatkala sholat subuh bacaan yang panjang. Beliau membaca surat At-Thuur. (lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ 7/370)
([4]) Barang siapa yang setelah thowaf wadaa’ ternyata melakukan kegiatan seperti orang yang muqim, seperti sengaja tidur dan bermalam di hotel tanpa ada udzur, maka ia harus mengulangi thowaf wadaa’nya lagi. Atau jika ia tahu bahwa jadwal safarnya adalah ba’da magrib lalu ia thowaf sebelum subuh maka ia harus mengulangi thowaf wadaa’nya. (lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/330). Akan tetapi tidak mengapa jika setelah thowaf wadaa’ lalu keluar dari batas kota Mekah, lalu bermalam di luar kota Mekah, maka ia tidak perlu lagi mengulangi thowaf wadaa’nya, karena ia telah meninggalkan kota Mekah. (lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/326)
Namun barang siapa yang telah melakukan thowaf wadaa’ lalu berjalan menuju keluar Mekah (menuju ke hotel/penginapan) menunggu bis jemputan, ternyata bisnya datang terlambat hingga harus bermalam, atau ia ternyata tersibukkan memperbaiki mobilnya yang rusak (lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/338) , atau ia mencari keluarganya yang hilang, dengan niat kapan ia ketemu keluarganya tersebut ia langsung meninggalkan Mekah, maka ia tidak perlu mengulangi thowaf wadaa’nya karena ia telah berniat keluar dari Mekah, hanya saja ada halangan udzur (lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/360)
([5]) Akan datang pembahasannya secara khusus disertai penjelasan tentang perselisihan para ulama dan pendapat yang lebih kuat dalam hal ini.
([6]) Lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/350-351
([7]) Lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/350-356
([8]) Lihat Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/358-359.