Mabit di Mina di malam hari-hari Tasyriiq
- Mabit di Mina di malam hari-hari tasyriq adalah wajib([1]).
- Kewajiban mabit di Mina adalah مُعْظَمُ اللَّيْلِ (mayoritas malam) yaitu setengah malam lebih([2]). Jika dari terbenam matahari hingga terbit fajar 12 jam, maka wajib berada di Mina minimal 6 jam lebih dikit.
- Bagi yang mengambil nafar awwal maka hanya wajib baginya untuk mabit pada malam ke 11 dan malam ke 12 Dzulhijjah, dan tidak wajib baginya untuk mabit pada malam ke 13 Dzulhijjah([3]). Adapun yang mengambil nafar tsani maka harus bermalam di Mina pada malam ke 13 Dzulhijjah.
- Barangsiapa yang hendak mengambil nafar awal maka wajib baginya untuk keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam pada tanggal 12 Dzulhijjah. Apabila ia masih berada di Mina hingga matahari tenggelam pada tanggal 12 Dzulhijjah maka wajib baginya untuk mengambil nafar tsani, sehingga wajib pula baginya untuk mabit lagi di Mina pada malam ke 13 Dzulhijjah([4]).
- Jika ia sudah siap-siap untuk mengambil nafar awal untuk meninggalkan Mina, namun ternyata bis terlamabat datang atau ia terhalangi suatu halangan sehingga matahari terbenam maka ia tetap boleh keluar dari Mina([5]).
- Bagi yang berudzur maka boleh meninggalkan mabit di Mina. Diantaranya Nabi memberi udzur untuk tidak mabit di Mina kepada para penggembala([6]) dan para penyedia air bagi jamaáh haji([7]). Karenanya barang siapa yang berudzur sehingga tidak bisa mabit di Mina maka tidak mengapa dan tidak berkewajiban untuk membayar dam. Udzur-udzur tersebut bersifat umum, baik udzur yang berkaitan dengan kemaslahatan pribadi (dan ini diqiaskan dengan para penggembala onta yang mengurus onta-onta pribadi jangan sampai hilang atau dicuri) atau demi kemaslahatan jamaah haji (dan ini diqiaskan dengan para penyedia minuman untuk jamaáh haji yang diberi izin untuk meninggalkan mabit) ([8]). Diantara contoh udzur-udzur tersebut
- Sakit
- Para dokter dan perawat yang mengurusi para jamaah haji yang sakit
- Para guide yang harus riwa riwi (pulang pergi) untuk mengurusi urusan dan kebutuhan jamaáh serta bus-bus jamaáh haji
- Orang yang tidak mendapati kemah atau tempat di Mina, setelah ia berusaha untuk mencari tempat.([9])
- Bagi yang tidak berudzur lalu tidak mabit di Mina maka jika hanya meninggalkan satu malam saja cukup baginya untuk bersedekah([10]), akan tetapi jika meninggalkan 2 malam maka wajib baginya untuk bayar dam([11]).
- Peringatan :
- Selama di Mina sholat wajib 5 waktu dikerjakan secara qoshor namun tidak dijamak, sehingga setiap sholat dikerjakan pada waktunya masing-masing.
- Tidak dikerjakan sholat rawatib kecuali hanya qobliah subuh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meskipun safar beliau tetap mengerjakannya. Namun boleh mengerjakan sholat-sholat sunnah yang lainnya seperti sholat duha dan sholat malam
- Hendaknya para jama’ah memperbanya dzikir dan membaca al-Qur’an serta mengisi waktu di Mina pada perkara-perkara yang bermanfaat yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah.
___________
Footnote:
([1]) Dalil akan wajibnya mabit di Mina malam hari-hari Tasyriq adalah hadits Ibnu Úmar radhiallahu ánhumaa, dimana beliau berkata
اسْتَأْذَنَ العَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ المُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى، مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ، «فَأَذِنَ لَهُ»
“Al-Ábbas bin Abdilmuttholib radhiallahu ánhu meminta izin kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam untuk mabit (menginap) di Mekah di malam-malam Mina (yaitu malam hari-hari Tasyriq-pen) untuk mengurusi penyediaan air minum. Maka Nabipun mengizinkannya” (HR Al-Bukhari no 1634 dan Muslim no 1315)
Dalam hadits yang lain dari Áashim bin Ádi :
رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرِعَاءِ الْإِبِلِ فِي الْبَيْتُوتَةِ، أَنْ يَرْمُوا يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُوا رَمْيَ يَوْمَيْنِ بَعْدَ النَّحْرِ، فَيَرْمُونَهُ فِي أَحَدِهِمَا ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ النَّفْرِ
“Rasulullah shallallahun álaihis salam memberikan rukhsoh (keringanan) bagi para penggembala kambing untuk mabit (di luar Mina), dan untuk melontar jamarot pada hari Nahar, lalu menggabungkan lontaran 2 hari -setelah hari An-Nahar- maka melempar di salah satuh hari dari dua hari tersebut, lalu mereka melempar pada hari 13 dzulhijjah” (HR Ibnu Maajah no 3037 dan Ahmad no 23775 dan 23776)
Lafal رَخَّصَ atau dalam riwayat yang lain أَرْخَصَ artinya adalah Nabi shallallahu álaihi wasallam memberi keringanan, yang ini menunjukan bahwa hukum asalnya adalah wajib (lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar 3/579, Asy-Syarh al-Mumti’, al-Útsaimin 7/389/390 dan Majmu Fataawa wa Rosaail al-Útsaimin 23/241). Demikian juga al-Ábbas tatkala hendak meninggalkan mabit di Mina beliau minta izin, yang ini mengisyaratkan bahwa mabit di Mina pada malam-malam hari-hari tasyriq adalah wajib.
Pendapat wajib ini adalah dzohir dari sikap Umar bin al-Khotthob, beliau berkata :
لَا يَبِيتَنَّ أَحَدٌ مِنَ الْحَاجِّ لَيَالِيَ مِنًى مِنْ وَرَاءِ الْعَقَبَةِ
“Janganlah sekali-kali seorangpun dari jamaáh haji yang mabit di balik Jumrotul Áqobah pada malam-malam Mina” (HR Malik di Al-Muwattho’ no 209, perkataan yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Ábbas sebagaimana di Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 14367 dan juga diriwayatkan dari Ibnu Úmar sebagaimana di Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 14368).
Bahkan Umar menugaskan orang-orang untuk memasukan para jamaáh haji yang bermalam di balik Jumrotul Áqobah agar masuk ke Mina (lihat Al-Muwattho’ no 208)
([2]) Lihat Al-Majmuu’, An-Nawawi 8/247, karena secara bahasa, jika seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan mabit (bermalam) di suatu tempat, maka tidaklah dikatakan sumpahnya batal keculai jika ia menginap lebih dari setengah malam (lihat Mughni Al-Muhtaaj, Asy-Syirbini 2/274)
وَاذْكُرُواْ اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
“Ingatlah Allah di hari-hari yang berbilang (yaitu tiga hari Tasyriiq), barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari (yaitu mengambil nafar awal), maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu yaitu mengambil nafar tsani), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa” (QS Al-Baqoroh : 203)
Para ulama telah ijmak bahwa yang dimaksud dengan “hari-hari yang berbilang” dalam ayat ini adalah hari-hari tasyriq yaitu 3 hari setelah hari íed/nahar (lihat At-Tamhiid, Ibnu Ábdilbarr 21/233 dan Al-Majumuu’, An-Nawawi 8/381)
Ayat ini menunjukan bahwa orang yang mengambil nafar awal maka boleh baginya untuk keluar di hari ke 2 dari hari tasyriq yaitu di siang hari, karena firman Allah يَوْم adalah siang hari dan tidak mencakup malam hari (lihat Al-Majmuu’, An-Nawawi 8/283)
([4]) Dalil akan hal ini adalah firman Allah
فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari (yaitu mengambil nafar awal), maka tiada dosa baginya” (QS Al-Baqoroh : 203)
Dan firman Allah يَوْم adalah siang hari dan tidak mencakup malam hari. Maka barang siapa yang mendapati malam pada hari ke 12 maka ia sudah masuk dalam وَمَن تَأَخَّرَ “orang yang mengambil nafar tsani”. Ini adalah pendapat Jumhur ulama dari Malikyah, Syafiah, dan Hanabilah. Adapun Hanafiyah maka seseorang boleh keluar dari Mina (nafar awal) meskipun telah terbenam matahari selama belum terbit fajar tanggal 13 Dzulhijjah. Namun yang benar adalah pendapat Jumhur ulama (lihat Al-Majmuu’, An-Nawawi 8/283, Asy-Syarh al-Mumti’, al-Útsaimin 7/361)
Ibnu Úmar berkata
مَنْ غَرَبَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ وَهُوَ بِمِنًى مِنْ أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَلَا يَنْفِرَنَّ حَتَّى يَرْمِيَ الْجِمَارَ مِنَ الْغَدِ
“Barang siapa yang terbenam matahari sementara ia masih di Mina pada tanggal 12 dzulhijjah maka janganlah ia meninggalkan Mina hingga ia melempar jamarot besoknya” (Atsar riwayat al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro no 9686 dan Al-Imam Malik dalam Al-Muwattho’ no 511, dan dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin di Al-Badr al-Muniir 6/310 dan Al-Albani dalam Manasik al-Hajj wa al-Úmroh hal 38)
([5]) Ini adalah pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafiíyyah. Karena ia sudah dalam hukum orang yang mengambil nafar awal. (Lihat al-Majmuu’ 8/250, Ar-Roudhoh 3/107, Mughni al-Muhtaaj 2/275, dan ini yang dirajihkan oleh Al-Útsaimin di Asy-Syarh al-Mumti’ 7/361 dan Majmuu Fatawaa wa Rosaail al-Útsaimin 23/296). Adapun dzohir dari pendapat madzhab Malikiyah maka wajib untuk mengambil nafar tsani meskipun sedang bersiap-siapa keluar dari Mina, atau sedang berjalan keluar dari Mina. Karena madzhab Malikiyah mewajibkan secara mutlak jika matahari terbenam sementara ia masih di Mina maka harus mengambil nafar tsani (lihat Syarh Mukhtashor Kholil, Al-Khirosy 2/338 dan Adwaaul Bayaan, Asy-Syingqithi 4/476)
([6]) Sebagaimana telah lalu dari Áashim bin Ádi :
رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرِعَاءِ الْإِبِلِ فِي الْبَيْتُوتَةِ، أَنْ يَرْمُوا يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُوا رَمْيَ يَوْمَيْنِ بَعْدَ النَّحْرِ، فَيَرْمُونَهُ فِي أَحَدِهِمَا ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ النَّفْرِ
“Rasulullah shallallahun álaihis salam memberikan rukhsoh (keringanan) bagi para penggembala kambing untuk mabit (di luar Mina), dan untuk melontar jamarot pada hari Nahar, lalu menggabungkan lontaran 2 hari -setelah hari An-Nahar- maka melempar di salah satuh hari dari dua hari tersebut, lalu mereka melempar pada hari 13 dzulhijjah” (HR Ibnu Maajah no 3037 dan Ahmad no 23775 dan 23776)
([7]) Sebagaimana telah lalu bahwasanya Ibnu Úmar berkata
اسْتَأْذَنَ العَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ المُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى، مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ، «فَأَذِنَ لَهُ»
“Al-Ábbas bin Abdilmuttholib radhiallahu ánhu meminta izin kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam untuk mabit (menginap) di Mekah di malam-malam Mina (yaitu malam hari-hari Tasyriq-pen) untuk mengurusi penyediaan air minum. Maka Nabipun mengizinkannya” (HR Al-Bukhari no 1634 dan Muslim no 1315)
وَأَهْلُ الْأَعْذَارِ مِنْ غَيْرِ الرِّعَاءِ، كَالْمَرْضَى، وَمَنْ لَهُ مَالٌ يَخَافُ ضَيَاعَهُ، وَنَحْوِهِمْ، كَالرِّعَاءِ فِي تَرْكِ الْبَيْتُوتَةِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَخَّصَ لِهَؤُلَاءِ تَنْبِيهًا عَلَى غَيْرِهِمْ، أَوْ نَقُولُ: نَصَّ عَلَيْهِ لِمَعْنًى وُجِدَ فِي غَيْرِهِمْ، فَوَجَبَ إلْحَاقُهُ بِهِمْ.
“Dan orang-orang yang berudzur -selain dari para penggembala- seperti orang-orang sakit, orang yang takut hartanya hilang dan yang semisal mereka, maka mereka ini sama seperti para penggembala dalam hal bolehnya meninggalkan mabit di Mina. Karena Nabi shallallahu álaihi wasallam memberikan keringanan kepada para penggembala sebagai isyarat tentang selain mereka. Atau kita katakana bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam menyebutkan secara teks para gembala karena ada suatu makna yang terdapat juga pada selain mereka, maka wajib mengikutkan hukumnya dengan mereka” (al-Mughni 3/427)
([9]) Untuk hal ini (tidak mendapat tempat di Mina) maka dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan para ulama kontemporer.
Pertama : bahwasanya orang yang tidak memiliki tenda di Mina maka dia boleh menginap di Mekah di mana saja, dan tidak harus dekat dengan Mina. Karena kewajiban untuk mabit di Mina telah gugur, sebagaimana para penggembala onta dan para penyedia air minum diizinkan oleh Nabi untuk mabit/menginap di Mekah.
Kedua : orang yang tidak memiliki tenda wajib baginya untuk mabit di tempat yang bersambung dengan Mina, karena tujuan dari haji adalah untuk mengumpulkan umat Islam pada satu tempat, diantaranya di Arofah dan di Mina. Dan juga diqiaskan dengan sholat berjamaáh tidak mengapa meskipun di luar masjid jika jamaah membludak selama shaf mereka masih bersambung. Karenanya mereka yang tidak memiliki tenda harus mabit di tempat yang bersambung dengan tenda-tenda di Mina, diantaranya di Muzdalifah dan di Aziziah. Dan ini pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaikh al-Útsaimin (lihat Fataawa Nuur ála Ad-Darb 8/246-247), dan ini pendapat yang lebih hati-hati. Namun pendapat pertama juga cukup kuat dan lebih mudah bagi jamaáh haji terutama di zaman sekarang, wallahu A’lam.
([10]) Syaikh al-Útsaimin menyatakan bahwa sedekah tersebut yang penting bisa disebut sedekah. Beliau memisalkan 10 real atau atau 3 real maka sudah cukup dikatakan sedekah (lihat Majmuu Fataawa wa Rosaail al-Útsaimin 23/239)
([11]) Ini pendapat yang dipilih oleh Ibnu Baaz (lihat : Majmuu Fataawa Ibnu Baaz 17/386) dan Ibnu al-Útsaimin (lihat Majmuu Fataawa wa Rosaail al-Útsaimin 23/239). Hal ini karena mabit di mina di malam-malam hari-hari Tasyriq adalah satu kesatuan, maka jika hanya meninggalkan sebagiannya saja, seperti hanya meninggalkan satu malam saja maka tidak sampai membayar dam, akan tetapi cukup bersedekah sekedarnya disertai istighfar. Sebagaimana jika seseorang tatkala melempar jamarot kurang satu atau dua kerikil. Akan tetapi jika meninggalkan mabit secara kesuluruhan yaitu seluruh malam maka harus bayar dam. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika mabit di Mina ditinggalkan satu malam saja maka wajib untuk membayar dam. (lihat al-Inshoof fi Ma’rifat Ar-Raajih min al-Khilaaf, Al-Mirdaawi 4/48).