Lempar 3 Jamaroot di Hari Tasyriq
- Jika pada tanggal 10 dzulhijjah yang dilempar hanyalah jamrotul Áqobah dan waktu melempar dimulai dari tengah malam -sebagaimana telah lalu-, adapun tanggal 11,12, dan 13 dzulhijjah yang dilempar adalah ke3 jamarot, dan waktu melempar dimulai dari masuk waktu dzuhur([1])
- Jika seseorang tidak sempat untuk melempar setelah dzuhur maka ia boleh melempar tatkala malam hari hingga sebelum terbit fajar([2]). Kecuali hari ke 13 (hari tasyriq yang terakhir) maka berakhir waktu melempar dengan terbenamnya matahari.
- Jika memang dalam kondisi yang mendesak([3]) maka boleh untuk menunda melempar ke hari berikutnya (jamak ta’khir) ([4]). Misalnya seseorang menunda lemparan hari 11 dzulhijjah untuk digabungkan dengan lemparan hari 12 dzulhijjah. Demikian juga boleh menunda lemparan hari 12 dzulhijjah digabungkan dengan lemparan hari 13 dzulhijjah. Demikian juga boleh menunda lemparan hari 11 dan lemparan hari 12 dzulhijjah untuk digabungkan dengan lemparan hari 13 dzulhijjah, yaitu seluruh lemparan 3 hari digabungkan jadi satu hari. Adapun caranya :
- Setelah tiba waktu dzuhur maka dimulai dengan melempar untuk hari sebelumnya, yaitu melempar ketiga jamaroot. Setelah itu balik lagi ke al-Jamrot as-Shugro untuk mulai melempar untuk hari yang selanjutnya.
- Batas melempar pada hari 13 dzulhijjah adalah sebelum terbenam matahari.
_________________
Footnote:
([1]) Berikut dalil-dalilnya :
Pertama : Nabi selama hari-hari tasyriq tidaklah melempar kecuali setelah zawal (setalah masuk waktu dzuhur). Jabir bin Abdillah berkata :
رَمَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى، وَأَمَّا بَعْدُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ
“Rasulullah shallallahu álaihi wasallam melempar al-jamroh di hari nahar di waktu dhuha, adapun setelahnya (yaitu di hari-hari tasyriq) maka jika telah masuk waktu dzuhur” (HR Muslim no 1299)
Kedua : Ini juga yang dilakukan oleh para sahabat bersama Nabi shallallahu álaihi wasallam. Ibnu Umar berkata :
كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا
“Kami dahulu menunggu-nunggu waktu dzuhur (tergelincirnya matahari dari tengah langit), jika telah tiba waktu dzuhur maka kamipun melempar” (HR Al-Bukhari no 1746)
Beliau juga berkata :
لاَ تُرْمَى الْجِمَارُ فِي الْأَيَّامِ الثَّلاَثَةِ، حَتَّى تَزُولَ الشَّمْسُ
“Tidaklah dilempar jamaraat di tiga hari tasyriq hingga matahari tergelincir” (HR Malik no 1536)
Ketiga : Nabi tidak memberikan keringanan kepada seorang pun dari para sahabat yang berhaji bersama Nabi, padahala tentu ada orang tua, orang sakit, dan anak-anak untuk melempar di waktu pagi sebelum dzuhur. Padahal Nabi memberi keringanan kepada orang-orang lemah untuk melempar jamratul Áqobah pada hari Nahar setelah lewat tengah malam. Tentu Nabi shallallahu álaihi wasallam menginginkan kemudahan bagi umatnya, dan tidak diragukan bahwa waktu pagi tentu lebih dingin. Namun Nabi tetap menunda waktu melempar hingga panas terik tatkala tiba waktu dzuhur
Keempat : Diantara hal yang menunjukan bahwa awal waktu melempar di hari tasyriq adalah waktu dzuhur, ternyata begitu tiba waktu dzuhur Nabi mendahulukan melempar jamaroot baru Nabi sholat dzuhur sebagaimana ditunjukan oleh hadits-hadits di atas. (lihat Majmuu’ Fataawa wa Rosaail al-Útsaimin 23/147)
Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, mereka memandang barang siapa yang melempar di hari-hari tasyriq sebelum waktu dzuhur maka tidak sah dan harus mengulangi lemparan. Meskipun sebagian ulama membolehkan untuk melempar sebelum dzuhur akan tetapi pendapat tersebut lemah.
([2]) Hal ini -sebagaimana telah lalu dalam pembahasan melempar jamrtoul áqobah di hari nahar- karena tidak ada larangan untuk melempar setelah terbenam matahari. Dan Nabi telah mengizinkan para penggembala untuk melempar jamarot di malam hari. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
الرَّاعِي يَرْمِي بِاللَّيْلِ، وَيَرْعَى بِالنَّهَارِ
“Penggembala melempar jamaroot di malam hari dan menggembala di siang hari” (HR Al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro no 9677 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 2477)
([3]) Syaikh al-Útsaimin berkata, “Tidak boleh ia mengakhirkan melempar jamarot hingga hari terakhir kecuali dalam satu kondisi, yaitu seperti tempat tinggalnya (di Mina) jauh sehingga susah baginya untuk bolak balik setiap hari, terlebih lagi tatkala di hari-hari yang panas dan padatnya jamaah haji. Maka tatkala itu tidak mengapa ia mengakhirkan melempar jamarot hingga hari terakhir sekaligus. Karena orang seperti ini lebih utama untuk diberi udzur dari pada para penggembala yang diberi keringanan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam untuk menggabungkan lemparan di satu hari. Adapun orang yang kuat dan mudah baginya untuk melempar karena lokasinya dekat dengan lokasi jamaroot, atau (meski lokasinya jauh namun) ia mampu naik kendaraan untuk mendekati lokasi jamarot maka wajib baginya untuk melempar setiap hari” (Asy-Syarh al-Mumti’ 7/357-358)
([4]) Dan ini adalah pendapan Asy-Syafiíyyah (lihat Roudatut Thoolibin, An-Nawawi 3/108 dan Nihaayatul Muhtaaj, Ar-Romly 3/315) dan Al-Hanaabilah (lihat Kasyf al-Qinaa’, Al-Bahuti 2/510)
Adapun dalilnya sebagaimana telah lalu dari Áashim bin Ádi :
رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرِعَاءِ الْإِبِلِ فِي الْبَيْتُوتَةِ، أَنْ يَرْمُوا يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُوا رَمْيَ يَوْمَيْنِ بَعْدَ النَّحْرِ، فَيَرْمُونَهُ فِي أَحَدِهِمَا ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ النَّفْرِ
“Rasulullah shallallahun álaihis salam memberikan rukhsoh (keringanan) bagi para penggembala kambing untuk mabit (di luar Mina), dan untuk melontar jamarot pada hari Nahar, lalu menggabungkan lontaran 2 hari -setelah hari An-Nahar- maka melempar di salah satuh hari dari dua hari tersebut, lalu mereka melempar pada hari 13 dzulhijjah” (HR Ibnu Maajah no 3037 dan Ahmad no 23775 dan 23776)
Peringatan : Sebagian ulama hanyalah membolehkan untuk menggabungkan lemparan jamaroot dengan jamak ta’khiir, diantaranya Al-Imam Malik. Dalam al-Muwattho’ riwayat Abu Musháb az-Zuhri datang dalam lafal berikut :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْخَصَ لِرِعَاءِ الْإِبِلِ … يَرْمُونَ يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ يَرْمُونَ الْغَدَ، وَمِنْ بَعْدِ الْغَدِ لِيَوْمَيْنِ، ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ النَّفْرِ
“Bahwasanya Rasulullah memberi keringangan kepada para penggembala onta….untuk melempar pada hari nahar lalu melempar untuk hari besoknya (tanggal 11) dan hari berikutnya lagi (untuk hari 12 dzulhijjah) untuk dua hari, lalu melempar pada hari nafar (tanggal 13 dzulhijjah)” (HR Malik di al-Mattho’ riwayat Abu Musháb Az-Zuhri no 1425)
Al-Imam Malik tatkala meriwayatkan hadits ini beliau berkata :
وَتَفْسِيرُ ذلك الْحَدِيثِ … أَنَّهُمْ يَرْمُونَ يَوْمَ النَّحْرِ، وإِذَا مَضَى الْيَوْمُ الَّذِي يَلِي يَوْمَ النَّحْرِ، رَمَوْا مِنَ الْغَدِ، وَذَلِكَ يَوْمُ النَّفْرِ الأَوَّلِ، يَرْمُونَ لِلْيَوْمِ الَّذِي مَضَى، ثُمَّ يَرْمُونَ لِيَوْمِهِمْ ذَلِكَ، وذلك لأَنَّهُ لاَ يَقْضِي أَحَدٌ شَيْئًا حَتَّى يَجِبَ عَلَيْهِ، فَإِذَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَمَضَى كَانَ الْقَضَاءُ بَعْدَ ذَلِكَ، وإِنْ نفروا يوم النَّفْرُ الأول فَقَدْ فَرَغُوا ، وَإِنْ أَقَامُوا إِلَى الْغَدِ، رَمَوْا مَعَ النَّاسِ يَوْمَ النَّفْرِ الآخِرِ، ثم نَفَرُوا
“Dan tafsir hadits ini…bahwasanya mereka (para penggembala onta) melempar pada hari nahar (tanggal 10), dan jika telah berlalu hari setelahnya (berlalu hari 11 dzulhijjah) maka mereka melempar para hari berikutnya yaitu hari nafar awal (tanggal 12 dzulhijjah), mereke melempar untuk hari sebelumnya (hari 11) lalu mereka melempar untuk hari mereka itu (hari 12). Hal ini (yaitu harus jamak ta’khir-pen) karena tidak boleh seseorang mengqodho sesuatu hingga wajib terlebih dahulu atasnya. Jika telah tetap kewajiban atsanya dan telah lewat maka qodho’ dilakukan setelah itu. Jika mereka mengambil nafar awal maka mereka telah selesai. Dan jika mereka menetap hingga esok maka mereka melempar lagi bersama jamaah haji yang lain untuk nafar tsani lalu mereka pergi meninggalkan Mina” (Al-Muwattho 1/548)
Argumentasi Al-Imam Malik adalah jika dilakukan jamak’ taqdim dalam melempar maka seseorang melempar pada hari 11 untuk dua hari sekaligus (hari 11 dan 12) padahal ia belum terkena kewajiban untuk melempar hari ke 12, maka bagaimana ia mengqodho sesuatu yang belum wajib baginya?
Namun sebagian ulama -seperti Ibnu Ábdilbarr (lihat at-Tamhiid 17/257-258) dan al-Lakhomi (lihat At-Tabshiroh 3/1227)- membolehkan juga untuk melempar dengan jamak taqdim yaitu memajukan lemparan hari 12 dzulhijjah untuk digabungkan ke hari sebelumnya yaitu hari 11 dzulhijjah. Karena seluruh hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk melempar. Hal ini berdasarkan riwayat Al-Imam Malik yang lain dengan lafal pilihan ثُمَّ يَرْمُونَ مِنَ الْغَدِ، أَوْ مِنْ بَعْدِ الْغَدِ لِيَوْمَيْنِ ” lalu melempar untuk hari besoknya (tanggal 11) atau hari berikutnya lagi (untuk hari 12 dzulhijjah) untuk dua hari” (HR Malik di Mwattho’ dengan riwayat Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaani 1/167 no 495)
Riwayat dengan pilihan “atau” ini juga sepadan dengan riwayat
ثُمَّ يَجْمَعُوا رَمْيَ يَوْمَيْنِ … فَيَرْمُونَهُ فِي أَحَدِهِمَا
“…lalu menggabungkan lontaran 2 hari … maka mereka melempar di salah satuh dari dua hari tersebut” (HR At-Tirmidzi no 955, Ibnu Maajah no 3037 dan Ahmad no 23775 dan 23776)
Pendapat ini lebih ringan bagi para jamaáh haji namun pendapat pertama lebih hati-hati.