Muzdalifah
1. Muzdalifah adalah tempat antara Arofah dan Mina. Dan Muzdalifah diambil dari kata زَلَفَ “Zalafa” yang maknanya kembali kepada arti dekat, dikatakan زَلَفَ إِلَيْهِ atau اِزْدَلَفَ إِلَيْهِ artinya mendekat kepadanya. Muzdalifah dinamakan dengan Muzdalifah karena para jamaáh haji jika tiba di Muzdalifah sudah mendekat ke Mina. Atau karena Muzdalifah adalah tempat berkumpul karena الاِزْدِلاَفُ artinya الاِجْتِمَاعُ perkumpulan.
2. Allah menamakan muzdalifah juga dengan al-Masyár al-Haroom. Allah berfirman
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Maka apabila kamu telah bertolak dari ´Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy´arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat (QS Al-Baqoroh : 198)
Jumhur ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Masyár al-Haroom dalam ayat ini adalah Muzdalifah secara kesuluruhan([1]).
Nabi shallallahu álaihi wasallam juga menamakan al-Muzdalifah dengan جَمْعٌ (Jamuún) karena para jamaáh haji menjamak sholat maghrib dan Ísya di Muzdalifah (lihat Tafsir al-Baghowi 1/229). Nabi bersabda :
وَوَقَفْتُ هَاهُنَا، وَجَمْعٌ كُلُّهَا مَوْقِفٌ
“Aku wuquf (berdiam diri) di sini (salah satu tempat di Muzdalifah([2])) dan Jamúun (yaitu Muzdalifah) seluruhnya adalah tempat wuquf” (HR Muslim no 1218)
3. Jika tiba di Muzdalifah maka kegiatan yang pertama adalah sholat maghrib dan isya dengan jama’ ta’khiir([3]). Dengan sekali adzan dan dua iqomat.
- Jika seseorang ternyata menunggu bus jemputan di Árofah dan ternyata busnya terlambat datang hingga malam semakin larut, atau ternyata seseorang terjebak di jalan atau ada hambatan di jalan dan kawatir jika sampai di Muzdalifah maka waktu isya sudah habis maka ia boleh sholat jamak maghrib dan isya meskipun sebelum sampai di Muzdalifah.
An-Nawawi rahimahullah berkata :
فَلَوْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فِي وَقْتِ الْمَغْرِبِ أَوْ فِي غَيْرِ الْمُزْدَلِفَةِ جَازَ
“Jika seseorang menjamak sholat maghrib dan sholat Isya di waktu maghrib (yaitu jamak taqdim) atau menjamaknya bukan di al-Muzdalifah maka tidak mengapa” ([4])
- Jika seseorang sampai di Muzdalifah dengan cepat dan belum masuk waktu sholat Isya, maka ia boleh langsung sholat maghrib dan isya jama’ taqdiim. Karena yang pertama dilakukan oleh Nabi begitu sampai di al-Muzdalifah adalah menjamak sholat maghrib dan isya. Dan Nabi tidak memperinci dengan berkata, “Jika ada yang sampai di al-Muzdalifah sebelum waktu isya maka tunggu dulu masuk waktu isya baru sholat”. Dan tentunya bisa jadi seseorang sampai ke al-Muzdalifah sebelum masuk waktu isya. Dan seorang musafir tentu boleh melakukan jama’ taqdim atau jama’ ta’khiir([5])
3. Jika telah sholat maghrib dan isya maka hendaknya istirahat sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristirahat di al-Muzdalifah.
Jabir radhiallahu ánhu berkata :
وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا، ثُمَّ اضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ
“Nabi sama sekali tidak sholat sunnah apapun antara sholat maghrib dan isya, kemudian Nabi shallallahu álaihi wasallam berbaring hingga terbit fajar” (HR Muslim no 1218)
Karenanya tidak disunnahkan di malam Muzdalifah untuk beribadah baik dengan sholat malam, baca al-Qurán, dll. Akan tetapi sunnahnya adalah tidur sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam.
- Apakah tetap sholat witir?, maka ada perselisihan di kalangan para ulama, karena tidak ada satu riwayatpun yang menunjukan bahwa Nabi sholat witir di malam Muzdalifah, sehingga sebagian ulama memandang tidak dianjurkan sholat witir di malam tersebut. Dan sebagian ulama yang lain memandang tetap disunnahkan sholat witir berdasarkan keumuman hadits bahwasanya Nabi selalu sholat witir baik tatkal muqim maupun bersafar (lihat Asy-Syarh al-Mumti’, al-Utsaimin 7/310)
- Jika seseorang tidak bisa tidur di malam Muzdalifah maka dia berusaha untuk tidur([6]), dan boleh saja baginya untuk berdzikir sambil berbaring di malam tersebut sambil mengisi waktu dari pada kosong tidak bermanfaat. (lihat Asy-Syarh al-Mumti, al-Útsaimin 7/310-311). Kalau dia memang lagi rindu ingin sholat malam dan tidak merasa letih maka tidak mengapa ia sholat malam. Sebagaimana Asmaa’ binti Abi Bakar sholat malam sambil menunggu waktu untuk meninggalkan al-Muzdalifah([7]).
4. Tidak harus dan tidak dikatakan sunnah untuk mencari kerikil di al-Muzdalifah, akan tetapi boleh dan dianjurkan bagi jamaáh haji untuk mencari kerikil di al-Muzdalifah untuk persiapan melempar jamarot. Nabi sendiri mengambil kerikil bukan di al-Muzdalifah tapi di perjalanan menuju Mina. Hanya saja di al-Muzdalifah memang tersedia banyak kerikil, berbeda dengan Mina yang kondisi sekarang agak susah untuk mencari kerikil([8])
5. Bagi orang-orang yang kuat dan tidak berudzur maka wajib untuk mabit (bermalam) di al-Muzdalifah sampai sholat subuh. Adapun orang-orang yang lemah, seperti anak-anak, para wanita, orang-orang tua, orang-orang sakit, dan yang berudzur maka dibolehkan bagi mereka untuk meninggalkan al-Muzdalifah setelah lewat tengah malam([9])
Rukhsoh (keringanan) ini juga berlaku bagi orang-orang yang kuat namun mereka harus menemani para wanita dan orang-orang yang lemah atau harus menjaga mereka. Sebagaimana Nabi mengutus Ibnu Ábbas (tatkala itu usianya remaja sekitar 14 tahun) untuk menemani orang-orang lemah. Ibnu Ábbas berkata :
بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الثَّقَلِ – أَوْ قَالَ فِي الضَّعَفَةِ – مِنْ جَمْعٍ بِلَيْلٍ
“Rasulullah shallallahu álaihi wasallam mengutus beliau bersama orang-orang lemah untuk keluar dari al-Muzdalifah di malam hari” (HR Muslim no 1293)
Sebagaimana pula Abdullah maula Asmaa’binti Abu Bakar menemani Asmaa’ untuk keluar dari al-Muzdalifah setelah lewat tengah malam (HR Al-Bukhari no 1679 dan Muslim no 1291).
Jika hal ini diperbolehkan di zaman Nabi shallallahu álaihi wasallam yang kepadatannya tidak begitu padat maka bagaimana lagi di zaman sekarang yang hingga jutaan jumlah jamaah haji([10]).
6. Disunnahkan bagi jamaáh haji -setelah mabit di Muzdalifah- untuk sholat subuh di Muzdalifah di awal waktunya. Setelah sholat lalu berdoa kepada Allah hingga matahari sangat menguning -yaitu menjelang terbit- namun sebelum terbit. Dan ini sunnah yang banyak ditinggalkan oleh para jamaáh haji, banyak diantara mereka setelah sholat subuh langsung beranjak menuju ke Mina, padahal setelah subuh waktunya untuk berdoa kepada Allah hingga menjelang matahari terbit.
7. Disunnahkan sebelum matahari terbit para jamaáh haji berangkat meninggalkan Muzdalifah menuju Mina.
8. Barangsiapa yang tidak mabit di Muzdalifah tanpa udzur maka ia harus bayar dam karena telah meninggalkan salah satu kewajiban haji.
___________
Footnote:
([1]) lihat Tafsir At-Thobari 3/515-523, bahkan At-Thobari tidak menukil pendapat yang lain selain pendapat bahwa al-Masyár al-Haroom adalah seluruh Muzdalifah.
([2]) Lokasi Nabi shallallahu álaihi wasallam menetap di Muzdalifah adalah lokasi yang sekarang dibangun Mesjid di Muzdalifah (lihat Mirqootul Mafaatiih 5/1800)
([3]) Para ulama menyebutkan bahwa ini adalah kemudahan yang diberikan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam, karena jika Nabi dan para sahabat berhenti di tengah jalan untuk sholat maghrib lalu melanjutkan kembali perjalanan maka ini perkara yang berat. Demikian juga kalau Nabi sholat maghrib di Arofah terlebih dahulu maka ini juga perkara yang berat karena para sahabat harus persiapan, harus bersuci terlebih dahulu, dll, dan akhirnya bisa terlambat sampai di Muzdalifah.
([4]) Kemudian An-Nawawi menjelaskan bahwa ini adalah pendapat madzhab Syafií, madzhab Maliki, dan madzhab Hanbali. Adapun madzhab Hanafi dan madzhab Dzohiriyah tidak membolehkan sholat maghrib dan isya sebelum sampai al-Muzdalifah, karena menurut mereka sebab jama’ adalah nusuk (sehingga manasiknya adalah sholat maghrib dan isya di al-Muzdalifah), adapun menurut jumhur ulama bahwa sebab bolehnya menjama’ adalah karena safar, dan sebagaimana diketahui bahwa orang yang bersafar boleh jama’ ta’khiir maupun jama’ taqdim. (Lihat Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 8/148)
([5]) Lihat Majmuu’Fatwa wa Rosaail, al-Utsaimin 23/54-55
([6]) Diantara hikmah disunnahkan untuk tidur dan istirahat di malam al-Muzdalifah, karena besoknya yaitu tanggal 10 Dzulhijjah banyak kegiatan berat yang harus dilakukan oleh jamaáh haji, seperti lempar jamaroh, mencukur, menyembelih hadyu, serta thowaf dan saí. Wallahu a’lam.
([7]) Abdullah Maula Asmaa’ binti Abi Bakar berkata :
قَالَتْ لِي أَسْمَاءُ: وَهِيَ عِنْدَ دَارِ الْمُزْدَلِفَةِ هَلْ غَابَ الْقَمَرُ؟ قُلْتُ: لَا، فَصَلَّتْ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَتْ: يَا بُنَيَّ هَلْ غَابَ الْقَمَرُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَتْ: ارْحَلْ بِي، فَارْتَحَلْنَا حَتَّى رَمَتِ الْجَمْرَةَ، ثُمَّ صَلَّتْ فِي مَنْزِلِهَا، فَقُلْتُ لَهَا: أَيْ هَنْتَاهْ لَقَدْ غَلَّسْنَا، قَالَتْ: كَلَّا، أَيْ بُنَيَّ، «إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لِلظُّعُنِ»
“Asmaa berkata kepadaku -tatkala ia sedang berada di al-Muzdalifah- “Apakah rembulan telah tenggelam?”. Aku berkata, “Belum”. Maka Asmaa’ pun sholat beberapa waktu, lalu bertanya lagi, “Wahai anakku, apakah rembulan telah tenggelam?”. Aku berkata, “Iya”. Maka ia berkata, “Mari kita berangkat (menuju Mina)”. Maka kamipun berangkat hingga kami melempar jamroh. Lalu ia sholat di rumahnya. Maka aku berkata kepadanya, “Wahai bu, kita terlalu cepat (masih remang-remang)”. Ia berkata, “Tidak (kecepatan) wahai anakku, karena sesungguhnya Nabi shallallahu álaihi wasallam mengizinkan bagi wanita (untuk keluar dari Muzdalifah sebelum subuh)” (HR Al-Bukhari no 1679 dan Muslim no 1291)
([8]) Akan datang penjelasannya pada amalan hari ke 10 Dzulhijjah
([9]) Diantara yang dizinkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam untuk meninggalkan al-Muzdalifah sebelum subuh adalah Ummul mukminin Saudah binti Zamáh (HR Al-Bukhari no 1681 dan Muslim 1290), Ummul Mukminin Ummu Habibah (HR Muslim 1292), Ibnu Ábbas bersama keluarganya yang digolongkan lemah (HR Al-Bukhari no 1678 dan Muslim no 1293). Dan ini juga dilakukan oleh Ibnu Umar dimana beliau menyuruh orang-orang yang lemah dari keluarganya untuk meninggalkan al-Muzdalifah sebelum subuh, dan beliau beralasan bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam memberi keringanan kepada orang-orang lemah (HR Al-Bukhari no 1676 dan Muslim 1295). Demikian juga Asmaa’ binti Abu Bakar meninggalkan al-Muzdalifah sebelum subuh dan beliau beralasan bahwa Nabi membolehkan para wanita untuk itu (HR Al-Bukhari no 1679 dan Muslim no 1291)
([10]) Karenanya kebanyakan jama’ah haji sekarang yang tergabung dalam satu travel atau satu KBIH, mereka dihukumi satu group, dan sangat sulit untuk dipisah-pisah antara yang kuat dan yang lemah. Karenanya mereka boleh meninggalkan al-Muzdalifah setelah lewat tengah malam meskipun jika mereka bisa bertahan hingga subuh tentu lebih afdol.
Asy-Syaikh Bin Baaz berkata :
إِذَا كَانَ الْحُجَّاجُّ مَعَهُ نِسَاءٌ فَلَهُمُ الرُّخْصَةُ أَنْ يَنْصَرِفُوا مِنْ مُزْدَلِفَة فِي النِّصْفِ الأَخِيْرِ مِنَ اللَّيْلِ لَيْلَةِ النَّحْرِ؛ لأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَخَّصَ لِلضَّعَفَةِ مِنْ أَهْلِهِ أَنْ يَنْصَرِفُوا مِنْهَا بِلَيْلٍ، وَهَذَا ثَابِتٌ عَنْهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ، وَالَّذِي يَظْهَرُ: أَنَّ أَصْحَابَهُمْ مِثْلُهُمْ، فَالَّذِيْنَ مَعَ النِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ الْقَوَّامِيْنَ عَلَيْهِنَّ وَالرِّفَاقِ الَّذِيْنَ مَعَهُمْ، الَّذِي يَظْهَرُ: أَنَّهُمْ شَيْءٌ وَاحِدٌ، فَإِذَا سُمِحَ لِلضُّعَفَاءِ أَنْ يَنْصَرِفُوا فَالَّذِيْنَ مَعَهُمْ كَذَلِكَ مَسْمُوْحٌ لَهُمُ الاِنْصِرَافُ…إِذَا كَانُوا فِي سَيَّارَةٍ وَاحِدَةٍ تَجْمَعُ رِجَالاً وَنِسَاءً وَشَبَاباً وَشِيْباً فَهَؤُلاَءِ دَرْبُهُمْ وَاحِدٌ، وَلاَ حَرَجَ -إِنْ شَاءَ اللهُ- فِي انْصِرَافِهِمْ جَمِيْعاً وَذَهَابِهِمْ إِلَى مِنَى آخِرَ اللَّيْلِ وَرَمْيِهِمْ الْجَمْرَةَ، وَذَهَابِهِمْ إِلَى مَكَّةَ، كُلُّ هَذَا لاَ حَرَجَ فِيْهِ إِنْ شَاءَ اللهُ؛ لِأَنَّ الضَّعِيْفَ يَتْبَعُهُ الْقَوِيُّ الَّذِي هُوَ فِي رُفْقَتِهِ أَوْ فِي الْقِيَامِ عَلَى شُئُوْنِهِ
“Jika para jamáh haji bersama para wanita maka boleh bagi mereka untuk meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam, yaitu malam hari an-Nahr, karena Nabi shallallahu álaihi wasallam memberi keringanan/rukhshoh kepada istri-istri beliau untuk meninggalkan Muzdalifah di malam hari. Ini telah valid dari Nabi shallallahu álaihi wasallam. Yang nampak bahwasanya orang-orang yang bersama orang-orang yang lemah juga hukumnya seperti mereka. Maka mereka para lelaki yang mengurusi para wanita demikian juga teman perjalnaan yang menemani mereka yang nampaknya mereka dihukumi satu kesatuan. Jika dibolehkan bagi yang lemah (para wanita) untuk meninggalkan Muzdalifah maka dibolehkan juga bagi orang-orang yang bersama para wanita untuk meninggalkan Muzdalifah… Jika mereka berada di satu mobil yang mengumpulkan para lelaki, para wanita, para pemuda, dan para orang-orang tua, maka mereka itu satu jalan (rombongan), dan tidak mengapa -insya Allah- bagi mereka semuanya untuk meninggalkan Muzdalifah dan pergi ke Mina di akhir malam, boleh untuk melempar jamarat, boleh bagi mereka ke Mekah (al-Masjid al-Haroom untuk thowaf dan saí -pen). Hal ini semua tidak mengapa insya Allah, karena orang yang lemah (hukumnya) diikuti oleh orang yang kuat yang merupakan satu rombongan atau mengurusi urusan yang lemah”(Fataawaa Nuur ‘Alaa Ad-Darb, Syaikh Bin Baaz 17/429-430)