Hari Árofah
1. Hari Arofah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Hari ini memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
- Hari yang Allah paling banyak mencatat hambaNya terbebaskan dari neraka.
- Hari dimana Allah membanggakan jama’ah haji di hadapan para malaikat
- Hari dimana Allah turun ke langit dunia mendekat kepada para jama’ah haji yang sedang wuquf di ‘Arofah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ، مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمِ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟
“Tidak ada hari yang paling banyak Allah membebaskan hambaNya dari neraka dari hari Árofah. Dan sesungguhnya Allah mendekat, lalu Allah membanggakan para jamaáh haji kepada para malaikat. Maka Allah berkata kepada para malaikat, “Apa yang diinginkan oleh mereka (jamaáh haji yang sedang wuquf)? ([1])” (HR Muslim no 1348)
Nabi juga bersabda :
فَإِذَا وَقَفَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ: انْظُرُوا إِلَى عِبَادِي شُعثاً غُبراً اشْهَدُوا أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ ذُنُوبَهُمْ وَإِنْ كَانَ عَدَدَ قَطْرِ السَّمَاءِ وَرَمْلِ عالجٍ
“Jika ia wuquf di Arofah maka Allah turun ke langit dunia lalu Allah berkata : Lihatlah hamba-hambaKu datang memenuhi panggilanKu dalam kondisi rambut semerawut dan penuh dengan debu, maka saksikanlah (wahai para malaikat) sesungguhnya aku telah mengampuni dosa-dosa mereka meskipun sebanyak butiran-butiran air hujan, meskipun sebanyak butiran-butiran pasir yang menjulang” (Shahih Ibni Khuzaimah no 1984, dinyatakan oleh Syaikh Al-Albani : Hasan ligoirihi)
Allah maha kaya, sama sekali tidak membutuhkan hajinya para jama’ah, tidak membutuhkan keletihan mereka, tidak membutuhkan apapun dari hambanya, akan tetapi Allah membanggakan para jam’ah haji di padang Arofah kepada para malaikat sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka.
- Pada hari Arofah turun ayat tentang sempurnanya Islam
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ، أَنَّ رَجُلًا، مِنَ اليَهُودِ قَالَ لَهُ: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا، لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ اليَهُودِ نَزَلَتْ، لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ اليَوْمَ عِيدًا. قَالَ: أَيُّ آيَةٍ؟ قَالَ: {اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا} قَالَ عُمَرُ: «قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ اليَوْمَ، وَالمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ»
Dari Úmar bin Al-Khottob bahwasanya ada seorang Yahudi berkata kepadanya, “Wahai Amirul mukminin, sebuah ayat di kitab suci kalian yang kalian membacanya, jika ayat tersebut turun kepada kami kaum Yahudi tentu kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya”. Umar berkata, “Ayat yang mana?”. Si Yahudi berkata, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhoi Islam itu menjadi agama kalian” (QS Al-Maidah : 3). Umar berkata, “Kami telah mengetahui hari tersebut, demikian juga tempat diturunkannya ayat tersebut kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam, yaitu tatkala Nabi wuquf di Arofah pada hari jumát” (HR Al-Bukhari no 45 dan Muslim no 3017)
Lihatlah bagaimana Yahudi saja mengerti bahwa hari Árofah adalah hari yang agung, hari diturunkannya ayat tentang sempurnanya nikmat Allah dan sempurnanya Islam, bahkan kalau itu turun di kalangan Yahudi akan dijadikan sebagai hari raya([2]).
- Hari Árofah disebut dengan مَشْهُوْد hari yang dipersaksikan. Allah berfirman bersumpah dengan hari Árofah dalam firmanNya وَشَاهِدٍ وَمَشْهُود “Demi yang menyaksikan dan demi yang dipersakiskan” (QS Al-Buruuj : 3). Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
وَاليَوْمُ الْمَشْهُودُ يَوْمُ عَرَفَةَ، وَالشَّاهِدُ يَوْمُ الجُمُعَةِ
“Hari yang dipersaksikan adalah hari Árofah, dan yang menyaksikan adalah hari jumát” (HR At-Tirmidzi no 3339, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam as-Shahihah no 1502 dan al-Mubarokfuri dalam Miráatul Mafaatiih 4/435) ([3])
- Jamaah haji tidak disunnahkan untuk berpuasa pada hari Arofah, karena mereka sedang menunaikan ibadah yang lebih mulia, yaitu wuquf ang ymerupakan rukun Haji, sedangkan puasa dapat menyebabkan jamaah haji kurang maksimal dalam beribadah pada hari Ar
- Berpuasa di hari ‘Arofah (untuk selain yang berhaji) maka akan menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.
Nabi bersabda :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Árofah aku beraharap kepada Allah agar mengampuni dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun sesudahnya” (HR Muslim no 1162)
Jika orang yang tidak berhaji lalu berpuasa dan mendapatkan ampunan dosa, lantas bagaimana lagi dengan jamaáh haji yang langsung memohon ampunan di padang Árofah?
- Hari Árofah adalah siang yang terbaik sepanjang tahun([4]), sebagaimana malam lailatul Qodar adalah malam yang terbaik sepanjang tahun
2. Seseorang yang hendak wuquf harus memastikan bahwa ia wuquf di padang Arofah. Dan di padang Arofah telah dibuat plakat dan plank yang menunjukan batasan-batasan Arofah.
- Alhamdulillah semua tenda-tenda jamaáh haji yang resmi (termasuk tenda-tenda jamaáh haji Indonesia) lokasinya berada dalam areal Árofah
- Bagi yang wuquf di Mesjid Namiroh maka hanya sekitar sepertiga masjid (yaitu bagian belakang masjid) yang termasuk dari Arofah, maka jangan ia wuquf di bagian depan atau tengah masji
- Jamaáh haji tidak perlu jauh-jauh mencari jabal Ar-Rohmah, karena lokasinya jauh dari tenda jamáh haji Indonesia, dan juga tidak disyariátkan untuk naik ke jabal Ar-Rohmah([5])
- Barang siapa yang wuquf di luar Arofah hingga habis waktu wuquf maka hajinya tidak sah
3. Wuquf di Árofah hanya sah jika di waktu disyariátkannya untuk wuquf.
- Waktu mulai wuquf -menurut jumhur úlama- adalah sejak waktu dzhuhur.([6]) Karenanya jika jamaáh telah tiba di Arofah di pagi hari, maka sebaiknya mereka istirahat yang cukup, agar ketika dzuhur kuat untuk berdoa dan tidak ngantuk hingga maghrib.
- Adapun akhir waktu wuquf adalah hingga terbit fajar hari An-Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah).
- Bagi yang tidak berhalangan maka ia harus wuquf dari waktu dzuhur hingga terbenam matahari. Jika ia keluar dari padang Arofah sebelum terbenam matahari, maka jika ia kembali lagi ke Arofah meskipun telah malam, ia tidak perlu membayar fidyah. Adapun jika ia keluar sebelum terbenam matahari dan tidak kembali lagi maka ia membayar dam([7]). Yang lebih hati-hati dan sesuai sunnah adalah wuquf dari dzhuhur hingga terbenam matahari.
- Bagi yang berhalangan([8]) maka tidak mengapa wuquf di malam hari, yang penting sebelum terbit fajar.
4. Disunnahkan bagi imam untuk berkhutbah setelah masuk waktu dzuhur dan sebelum sholat. Setelah khutbah baru kemudian adzan([9]), lalu iqomat lalu sholat dzuhur 2 rakaát lalu iqomat lagi dan sholat ashar 2 rakaát (jamak taqdim)([10]). Setelah selesai sholat maka jamaáh haji silahkan memulai wuqufnya dengan banyak berdoa dan berdzikir kepada Allah.
5. Disunnahkan berwuquf dan berdoa dalam kondisi bersuci. Bahkan disunnahkan untuk mandi sebelum wuquf([11]). Namun jika dalam kondisi tidak sucipun tetap sah menurut kesepakatan para ulama. Maka orang junub, wanita haid dan nifas sah wuqufnya (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 8/118)
6. Nabi shallallahu álaihi wasallam wuquf di atas onta beliau, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa wuquf di atas tunggangan/kendaraan lebih utama, karena lebih kuat untuk berdoa. Sebagaimana orang yang haji dianjurkan untuk tidak puasa pada hari itu agar lebih kuat berdoa. (lihat Al-Muhadzdzab 1/412). Sebagian ulama memandang bahwa hal ini kembali kepada kondisi sang haji. Jika seseorang dibutuhkan untuk dilihat orang-orang karena mereka membutuhkannya maka wuquf di atas tunggangan lebih afdol, atau seseorang susah untuk meninggalkan kendaraannya maka di atas kendaraan lebih afdol (lhat Majmuu Al-Fataawa, Ibnu Taimiyyah 26/132). Jika seseorang ternyata lebih khusyu’ doanya tatkala di kendaraan maka lebih afdol wuquf di kendaraan, namun jika sebaliknya yaitu tidak di kendaraan (wuquf di kemah) lebih khusyu’ maka lebih afdol baginya di kemah (lihat Majmuu Fataawaa wa Rosaail, al-Útsaimin 24/531-532)
7. Disunnahkan untuk berdoa dengan mengangkat kedua tangan.
Usamah bin Zaid radhiallahu ánhumaa berkata :
كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو، فَمَالَتْ بِهِ نَاقَتُهُ، فَسَقَطَ خِطَامُهَا فَتَنَاوَلَ الْخِطَامَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ، وَهُوَ رَافِعٌ يَدَهُ الْأُخْرَى
“Aku dibonceng di belakang Nabi shallallahu álaihi wasallam di padang Arofah. Maka beliau berdoa sambil mengangkat kedua tangannya, lalu onta beliau bergerak memiringkan beliau dan tali kekangnya terjatuh. Maka beliaupun mengambil tali kekang onta dengan salah satu tangannya dan tangannya yang lain tetap beliau angkat (untuk berdoa)” (HR An-Nasaai no 3011 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Lihatlah bagaimana semangat Nabi shallallahu álaihi wasallam berdoa sambil tetap terus mengangkat tangan meskipun hanya satu tangan yang beliau angkat karena tangan yang satu harus memegang tali kekang onta beliau.
8. Nabi shallallahu álaihi wasallam tidak menentukan doa khusus di Árofah dan juga dzikir khusus kecuali :
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Abdullah bin Ámr bin al-Áash berkata :
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ: ” لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Doa Rasulullah shallallahu álaihi wasallam yang paling banyak (beliau ucapkan) tatkala hari Árofah adalah : Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa álaa kulli syai-in qodiir” (HR Ahmad no 6961 dan dihasankan oleh para pentahqiq Al-Musnad)
Dalam riwayat yang lain Nabi bersabda :
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik doa adalah doa di hari Árofah, dan sebaik-baik yang aku ucapkan dan juga para nabi sebelumku adalah : Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa álaa kulli syai-in qodiir” (HR At-Tirmidzi no 3585 dan dihasankan oleh Al-Albani)
Selain dzikir ini maka seorang haji bebas membaca doa apa saja dan dzikir apa saja yang ia sukai, bertakbir, bertahlil, bertalbiyah, dan lain-lain hingga maghrib (lihat Majmuu Al-Fataawa, Ibnu Taimiyyah 26/132)
9. Ingat bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam telah bersabda الْحَجُّ عَرَفَةُ “Haji itu adalah Árofah”. (HR Abu Dawud no 1949 dan At-Tirmidzi no 889 dan dishahihkan oleh Al-Albani di Al-Irwaa no 1064) Ibnu Hajar berkata tentang hadits ini, أَيْ مُعْظَمُ الْحَجِّ وَرُكْنُهُ الْأَكْبَرُ “Yaitu mayoritas amalan haji dan rukunnya yang terbesar adalah wuquf di Arofah”(Fathul Baari 11/94). Ini menunjukan bahwa inti dari pada ibadah haji adalah wuquf di Arofah. Tujuan dari para jamaáh haji mengeluarkan biaya yang banyak, meninggalkan keluarga dan kampung halaman serta meninggalkan pekerjaan adalah untuk bisa berdoa kepada Allah di padang Arofah. Maka hendaknya para jamaáh haji benar-benar menghadirkan dalam diri mereka betapa bernilainya setiap detik dan menit di padang Arofah. Jangan sam
10. Terlebih lagi Nabi shallallahu álaihi wasallam menyatakan
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik doá adalah doa di hari Arofah”
Ibnu ‘Abdilbarr berkata :
وَفِيهِ مِنَ الْفِقْهِ أَنَّ دُعَاءَ يَوْمِ عَرَفَةَ أَفْضَلُ مِنْ غَيْرِهِ … وَفِي الْحَدِيثِ أَيْضًا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ دُعَاءَ يَوْمِ عَرَفَةَ مُجَابٌ كُلُّهُ فِي الْأَغْلَبِ
“Diantara fikih hadits ini adalaha bahwasanya doa di hari Árofah lebih baik dari pada doa di hari-hari yang lain….dan hadits ini juga menunjukan bahwa doá pada hari Árofah secara dominan akan dikabulkan seluruhnya” (At-Tamhiid 6/41)
11. Bahkan diantara bentuk pemuliaan Allah kepada para jamaáh haji yang wuquf di Arofah adalah Allah menerima syafaát mereka terhadap orang-orang yang mereka doakan sehingga Allah juga mengampuni mereka. Nabi bersabda :
وَأَمَّا وُقُوفُكَ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَهْبِطُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَيُبَاهِي بِكُمُ الْمَلائِكَةَ، يَقُولُ: عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ جَنَّتِي، فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُكُمْ كَعَدَدِ الرَّمْلِ، أَوْ كَقَطْرِ الْمَطَرِ، أَوْ كَزَبَدِ الْبَحْرِ لَغَفَرَهَا، أَوْ لَغَفَرْتُهَا، أَفِيضُوا عِبَادِي مَغْفُورًا لَكُمْ وَلِمَنْ شَفَعْتُمْ لَهُ
“Adapun wuquf-mu di petang hari Árofah, maka sesungguhnya Allah tabaaroka wa taáala turun ke langit dunia, lalu Allah membanggakan kalian (para jamaáh haji) di hadapan para malaikat. Allah berkata, “Hamba-hambaKu, mereka mendatangiku dalam kondisi rambut semerawut dari segenap penjuru karena mengharapkan surgaKu. Jika dosa kalian sebanyak butiran pasir, sebanyak tetesan hujan atau sebanyak buih di lautan maka Aku akan mengampuninya, maka pergilah kalian (meninggalkan padang Arofah) dalam kondisi telah diampuni dosa-dosa kalian dan orang-orang yang kalian doakan mereka” ([12])
Maka hendaknya seseorang berbaik sangka kepada Allah dan menguatkan keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doanya di Arofah. Abdullah bin Al-Mubaarok berkata :
جِئْتُ إلَى سُفْيَانَ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ وَهُوَ جَاثٍ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَعَيْنَاهُ تَهْمِلَانِ فَبَكَيْتُ فَالْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: مَا شَأْنُكَ؟ فَقُلْتُ: مَنْ أَسْوَأُ هَذَا الْجَمْعِ حَالًا؟ قَالَ: الَّذِي يَظُنُّ أَنَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُغْفَرَ لَهُمْ
“Aku mendatangi Sufyan At-Tsauri di petang hari Árofah, sementara beliau sedang bertelekan di atas kedua lututnya, kedua matanya mengalirkan air mata, maka akupun menangis. Lalu beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Ada apa denganmu?”. Aku berkata, “Siapakah orang yang paling buruk di antara kumpulan para jamaáh haji ini?”, beliau berkata, “Orang yang berprasangka bahwa Allah Azza wa Jalla tidak mengampuni mereka” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya di Husnu Adz-Dzhon billahi no 72)
Al-Fudhoil bin Íyaadh wuquf di padang Arofah lalu beliau melihat isakan dan tangisan manusia, maka ia berkata :
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ هَؤُلاَءِ صَارُوا إِلَى رَجُلٍ فَسَأَلُوْهُ دَانِقًا أَكَانَ يَرُدُّهُمْ؟ قَالَوا : لاَ، قَالَ : وَاللهِ، لَلْمَغْفِرَةُ عِنْدَ اللهِ أَهْوَنُ مِنْ إِجَابَةِ رَجُلٍ لَهُمْ بِدَانِقٍ
“Menurut kalian jika mereka (para jamaáh haji) semuanya pergi ke seseorang lantas mereka meminta kepadanya daniq (1/6 dirham) apakah orang ini akan menolak memberikan kepada mereka?”. Mereka berkata, “Tentu tidak”.
Al-Fudhoil berkata, “Demi Allah, sungguh ampunan di sisi Allah lebih mudah daripada pemberian orang tersebut 1/6 dirham kepada mereka” (Majlis fi Fadhli Yaumi Árofah, Ibnu Nashiruddi Ad-Dimasyqi hal 63)
Dalam sautu hadits yang mursal dari Tholhah bin Úbaidillah Al-Khuzaaí bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda:
مَا رُئِيَ الشَّيْطَانُ يَوْمًا هُوَ أَصْغَرُ فِيهِ وَلَا أَدْحَرُ وَلَا أَحْقَرُ وَلَا أَغْيَظُ مِنْهُ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ؛ وَمَا ذَلِكَ إِلَّا مِمَّا يَرَى مِنْ تَنَزُّلِ الرَّحْمَةِ وَتَجَاوُزِ اللهِ عَنِ الذُّنُوبِ الْعِظَامِ
“Dan tidaklah terlihat syaitan pada suatu hari dalam konidisi paling kecil, paling terkalahkan, paling terhinakan, dan paling marah seperti di hari Arofah. Dan tidaklah hal ini kecuali karena syaitan melihat rahmat Allah yang banyak turun dan Allah memaafkan dosa-dosa yang besar” ([13])
12. Peringatan :
- Hendaknya seseorang bersemangat untuk berdoa di padan Arofah dengan doa-doa yang datang dari Nabi shallallahu álaihi wasallam. Karena doa-doa yang diajarkan Nabi penuh barokah dan lebih mendorong untuk dikabulkan. Demikian juga doa-doa yang ada di dalam al-Qurán. Dan tentu boleh ia berdoa dengan Bahasa Indonesia jika ia ingin mengungkapkan permohonannya dengan lebih leluasa, akan tetapi tetap memperhatikan adab-adab doa
- Jika ada saudara-saudaranya yang meminta kepadanya untuk mendoakan mereka di Arofah maka hendaknya ia mendoakan mereka, karena -sebagaimana telah lalu- bahwa Allah juga mengabulkan syafaat jamaah haji yang mendoakan orang lain.
- Janganlah ia hanya membatasi doanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi ia juga mendoakan kedua orang tuanya, kakak-adiknya, kerabatnya, dan kaum muslimin secara umum. Terlebih lagi di zaman sekarang yang terlalu banyak fitnah yang tersebar menimpa kaum muslimin di penjuru dunia.
- Hendaknya berdoa sendiri-sendiri, karena itulah sunnahnya Nabi shallallahu álaihi wasallam dan para sahabat tatkala mereka berdoa di Arofah.
- Hendaknya ia ikhlash dalam doanya. Karena ibadah hanya bisa diterima oleh Allah jika dibangun di atas keikhlasan. Banyak dari jamaáh haji yang berpose sambil berdoa lalu berfotoan atau berselfiyan, maka hendaknya ia tidak sibuk melakukan demikian. Karena kawatir doanya, wuqufnya, dan hajinya terancam dengan riya’ sehingga akan hilang pahalanya. Syaitan tidak perduli sebanyak apa anda beribdah yang penting bagi syaitan ibadah tersebut tidak diterima, diantaranya adalah jika tercampur riya’ (ingin dipunji dan dilihat oleh orang lain).
- Hendaknya ia benar-benar memanfaatkan waktunya. Jika ia telah lelah berdoa maka hendaknya ia berdzi Jangan sampai ia membuang-buang waktunya. Banyak jamaáh haji di padang Arofah sibuk jalan kesana sini, memotret sana sini, ngobrol, atau tidur hingga menjelang maghrib. Maka tidak mengapa meminum kopi atau yang semisalnya untuk menghilangkan rasa kantuk agar kuat beribadah dan berdoa pada siang yang sangat mulia tersebut.
- Waktu berdoa hingga azan maghrib, maka hingga menjelang maghrib hendaknya seseorang tetap semangat berdoa. Jika mereka sudah harus naik bus sebelum maghrib maka hendaknya terus berdoa di atas bus, ia tidak tahu bisa jadi doanya dipenghujung waktu yang lebih berkah dari waktu-waktu sebelumnya.
- Tatkala berdoa disunnahkan untuk menghadap ke Ka’bah -apakah bertepatan menghadap jabal Ar-Rahmah atau tidak-, yang penting menghadap kiblat. Sebagian jamaáh haji sengaja untuk berdoa menghadap Jabal Ar-Rahmah dan ini merupakan kesalahan.
13. Jika telah tiba azan maghrib maka jamaáh haji betolak dari Arofah menuju Muzdalifah. Tetap bertalbiyah dan berdzikir dalam perjalanan menuju ke Muzdalifah. Dan disunnahkan untuk berjalan dengan tenang. Jabir berkata :
وَيَقُولُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى «أَيُّهَا النَّاسُ، السَّكِينَةَ السَّكِينَةَ»
“Nabi mengisyaratkan dengan tangan kanannya seraya berkata, “Wahai manusia sekalian berjalanlah dengan tenang, berjalanlah dengan tenang” (HR Muslim no 1218).
Demikian juga Ibnu Ábbas meriwayatkan bahwa tatkala Nabi mendengar orang-orang memukul onta mereka dengan keras agar cepat berjalan, maka Nabi berkata :
أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ فَإِنَّ البِرَّ لَيْسَ بِالإِيضَاعِ
“Wahai manusia sekalian, hendaknya kalian tenang, karena sesungguhnya kebaikan bukan dengan cepat-cepat/teburu-buru” (HR Al-Bukhari no 1671)
Ibnu Hajar berkata,
فَبَيَّنَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ تَكَلُّفَ الْإِسْرَاعِ فِي السَّيْرِ لَيْسَ مِنَ الْبِرَّ أَيْ مِمَّا يُتَقَرَّبُ بِهِ وَمِنْ هَذَا أَخَذَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَوْلَهُ لَمَّا خَطَبَ بِعَرَفَةَ لَيْسَ السَّابِقُ مَنْ سَبَقَ بَعِيرُهُ وَفَرَسُهُ وَلَكِنَّ السَّابِقَ مَنْ غُفِرَ لَهُ
“Maka Nabi shallallahu álaihi wasallam menjelaskan bahwa berusah untuk cepat-cepat dalam perjalanan bukanlah merupakan kebaikan, yaitu bukan perkara yang mendekatkan diri kepada Allah. Dari sini Úmar bin Abdil Aziz tatkala berkhutbah di Árofah beliau berkata, “Bukanlah orang yang di depan adalah orang yang ontanya dan kudanya lebih di depan, akan tetapi orang yang di diepan adalah orang yang diampuni dosa-dosanya” (Fathul Baari 3/522)
___________
Footnote:
([1]) Mulla Áli Al-Qoori berkata :
أَيْ: أَيُّ شَيْءٍ أَرَادَ هَؤُلَاءِ حَيْثُ تَرَكُوا أَهْلَهُمْ، وَأَوْطَانَهُمْ، وَصَرَفُوا أَمْوَالَهُمْ، وَأَتْعَبُوا أَبْدَانَهُمْ، أَيْ: مَا أَرَادُوا إِلَّا الْمَغْفِرَةَ، وَالرِّضَا، وَالْقُرْبَ، وَاللِّقَاءَ، وَمَنْ جَاءَ هَذَا الْبَابَ لَا يَخْشَى الرَّدَّ، أَوِ التَّقْدِيرُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ فَهُوَ حَاصِلٌ لَهُمْ، وَدَرَجَاتُهُمْ عَلَى قَدْرِ مُرَادَاتِهِمْ، وَنِيَّاتِهِمْ، أَوْ أَيُّ شَيْءٍ أَرَادَ هَؤُلَاءِ أَيْ: شَيْئًا سَهْلًا يَسِيرًا عِنْدَنَا إِذَا مَغْفِرَةُ كَفٍّ مِنَ التُّرَابِ لَا يَتَعَاظَمُ عِنْدَ رَبِّ الْأَرْبَابِ
Yaitu apakah yang diinginkan oleh mereka para jamáh haji?, “dimana mereka telah meninggalkan keluarga mereka, negeri mereka, mengeluarkan harta mereka, melelahkan tubuh mereka?. Yaitu tidak lain kecuali mereka menghendaki ampunan, keridhoan, kedekatan, dan bertemu dengan Allah. Barang siapa yang mendatangi pintu ini maka ia tidak perlu kawatir ditolak.
Atau maksudnya : Apa yang dikehendaki mereka akan mereka raih. Dan derajat mereka sesuai dengan kadar kehendak/keinginan mereka dan niat mereka.
Atau “Apa yang mereka kehendaki?”, yaitu perkara yang mudah dan gampang bagi Kami, karena mengampuni dosa-dosa ibarat mengambil segenggam tanah, tidak sulit bagi Penguasa seluruh makhluk (Mirqootul Mafaatiih Syarh Misykaat Al-Mashoobiih 5/1800)
([2]) Disebut dengan “Hari yang dipersaksikan” karena hari tersebut disaksikan oleh para jamaáh haji dan juga dipersakikan oleh para malaikat (lihat Asy-Saafi Syarh Musnad Asy-Syaafií, Ibnul Atsiir 2/138)
Mulla Ali Al-Qoori berkata ;
تَقْدِيمِ الْيَوْمِ الْمَشْهُودِ مَعَ أَنَّ فِي الْقُرْآنِ {وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ} [البروج: 3] إِشَارَةً إِلَى أَعَظْمِيَّةِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَأَفْضَلِيَّتِهِ، أَوْ إِلَى أَكْثَرِيَّةِ جَمْعِيَّتِهِ فَتُشَابِهُ الْقِيَامَةَ بِالْجَمْعِيَّةِ وَالْهَيْئَةِ الْإِحْرَامِيَّةِ، فَكَأَنَّهَا قِيَامَةٌ صُغْرَى، وَهُمْ مَعْرُوضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ كَالْعَرْضَةِ الْكُبْرَى
“Didahulukannya penyebutan “hari yang disaksikan” (oleh Nabi) padahal di al-Qur’an “Demi yang menyaksikan dan demi yang disaksikan” sebagai isyarat akan agungnya hari ‘Arofah dan keutamaannya. Atau isyarat akan banyaknya orang yang menghadirinya, maka mirip dengan hari kiamat dari sisi perkumpulan manusia, kondisi, dan ihromnya. Maka seakan-akan hari ‘Arofah adalah hari kiamat kecil, dimana manusia dihadapkan kepada Rabb mereka sebagaimana mereka dihadapkan pada hari kiamat besar” (Mirqootul Mafaatiiah 3/1018)
([3]) Akan tetapi penentuan hari raya bukan dengan akal dan perasaan. Ibnu Rojab al-Hambali berkata :
فَهَذَا قَدْ يُؤْخَذُ مِنْ أَنَّ الأَعْيَادَ لاَ تَكُوْنُ بِالرَّأْيِ وَالاِخْتِرَاعِ كَمَا يَفْعَلُهُ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا؛ إِنَّمَا تَكُوْنُ بِالشَّرْعِ وَالاِتِّبَاعِ
“Bisa diambil dari hadits ini bahwasanya hari-hari raya tidak ditentukan dengan pendapat dan diada-adakan sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashoro sebelum kita, akan tetapi ditentukan dengan syariát dan meneladani Nabi shallallahu álaihi wasallam” (Fathul Baari, Ibnu Rojab 1/172)
([4]) Lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi 9/117. Dan pendapat ulama yang lain bahwasanya hari yang terbaik sepanjang tahun adalah hari An-Nahr (10 Dzulhijjah), dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyyah (lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 25/288)
([5]) Sebagaimana akan datang penjelasan yang lebih luas dalam sub judul “Jabal Rahmah Gunung Cinta?”
([6]) Sebagian ulama berpendapat bahwa permulaan waktu wuquf adalah setelah terbit fajar tanggal 9 Dzulhijjah, karenanya barangsiapa yang wuquf di pagi hari sebelum dzhuhur maka wuqufnya sudah sah. Mereka berdalil dengan hadits Úrwah bin Mudhorris, dimana Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda
مَنْ أَدْرَكَ مَعَنَا هَذِهِ الصَّلاَةَ، وَأَتَى عَرَفَاتٍ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلاً أَوْ نَهَاراً؛ فَقَدْ تَمَّ حجَّهُ
“Barang siapa yang mendapati sholat subuh bersama kami (di Muzdalifah), dan sebelumnya ia telah mendatangi Árofah malam atau siang hari maka telah sempurna hajinya” (HR Abu Dawud no 1704 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Rasulullah mengatakan “siang hari”, dan tentu siang dimulai dari terbit fajar.
Namun jumhur Úlama membawakan keumuman hadits Nabi ini pada setelah waktu dzhuhur, karena Nabi tidak mulai wuquf kecuali setelah masuk waktu dzuhur. Dan orang-orang sejak dahulu telah ijmak untuk tidak memulai wuquf di pagi hari, tapi setelah masuk waktu dzuhur. (Lihat Fathul Áziiz Syarh al-Wajiiz, Ar-Roofií 7/363). Karenanya lebih hati-hati seorang yang wuquf tidaklah memulai wuqufnya kecuali setelah dzuhur agar ia keluar dari perselisihan para ulama.
([7]) Ulama Syafiíyah berselisih apakah membayar dam dalam hal ini hukumnya sunnah atau wajib (lihat Al-Muhadzdzab, Asy-Syiroozi 1/412)
([8]) Sebagaimana orang-orang yang sakit, sehingga harus wuquf belakangan menunggu sepinya padang Arofah. Mereka di bawa pakai mobil kemudian sekedar melewati padang Arofah meskipun hanya seperempat jam maka sudah sah. Namun hendaknya orang-orang yang sakit tersebut tatkala wuquf dalam kondisi terjaga meskipun hanya sebentar. Kalaupun memang terpaksa dan harus dalam kondisi tidur maka para ulama mengatakan bahwa wuqufnya tetap sah karena orang yang tidur tetap ahli ibadah. Lain halnya jika ia dalam kondisi pingsan, maka wuqufnya tidak sah, karena orang pingsan bukan ahli ibadah. Sebagaimana orang yang puasa setelah berniat lalu ia tertidur dari sebelum fajar hingga terbenam matahari maka puasanya sah. Namun hal ini tidak berlaku bagi orang yang pingsan. (lihat Al-Muhadzdzab, Asy-Syiiroozi 1/412).
Adapun menurut madzhab Hanafi, madzhab Maliki, dan dipilih oleh Syaikh Al-Útsaimin bahwasanya orang yang pingsan wuqufnya sah (lihat Asy-Syarh al-Mumti’7/299)
Demikian juga orang yang terlambat datang -sebagaimana yang dialami oleh Úrwah bin Mudorris radhiallahu ánhu- yang tidak bisa sampai ke Árofah kecuali di malam hari. Maka Nabi shallallahu áliahi wasallam tetap menilai hajinya sah.
([9]) Ketika Nabi wukuf tatkala itu hari jumát, akan tetapi Nabi tidak sholat jumát dan tidak juga sedang berkhutbah jumát. Karena kalau sholat jumát maka adzan terlebih dahulu baru sholat jumat dengan dijaharkan, akan tetapi ketika di Arofah Nabi khutbah dulu baru kemudian sholat dzuhur dengan disir-kan bacaannya.
([10]) Hikmah dijamaknya sholat dhuhur dan ashar karena setelah itu adalah waktu wuquf dan berdoa kepada Allah hingga maghrib. Sehingga waktu untuk berdoa lebih lapang dan panjang sehingga tidak terputus dengan kegiatan sholat ashar. Karena tentu membutuhkan waktu untuk mengumpulkan orang-orang kembali untuk persiapan sholat ashar, sementara kemaslahatan berdoa tatkala di Arofah lebih besar. (lihat Jaami al-Masaail, Ibnu Taimiyyah 6/336-337).
([11]) Dan ini merupakan perkara yang disepakati oleh 4 madzhab. Ibnu Taimiyyah berkata:
وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ فِي الْحَجِّ إلَّا ثَلَاثَةُ أَغْسَالٍ: غُسْلُ الْإِحْرَامِ وَالْغُسْلُ عِنْدَ دُخُولِ مَكَّةَ وَالْغُسْلُ يَوْمَ عَرَفَةَ. وَمَا سِوَى ذَلِكَ كَالْغُسْلِ لِرَمْيِ الْجِمَارِ وَلِلطَّوَافِ وَالْمَبِيتِ بمزدلفة فَلَا أَصْلَ لَهُ لَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ….إلَّا أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ سَبَبٌ يَقْتَضِي الِاسْتِحْبَابَ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ رَائِحَةٌ يُؤْذِي النَّاسَ بِهَا فَيَغْتَسِلُ لِإِزَالَتِهَا
“Tidak dinukilkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam dan juga para sahabatnya di haji keculai 3 mandi, (1) mandi untuk ihrom, (2) mandi tatkala masuk kota Mekah, dan (3) Mandi tatkala hari Arofah. Adapun selain itu, seperti mandi untuk melempar jamarat, untuk thowaf, dan mabit di Muzdalifah maka tidak ada asal/dalilnya dari Nabi shallallahu álaihi wasallam….kecuali karena ada sebab yang menjadikan mandi dianjurkan seperti tubuhnya bau yang mengganggu orang lain maka ia mandi untuk menghilangkan bau tersebut” (Majmuu Al-Fataawaa 26/132-133)
([12]) (HR Al-Bazzaar di Musnadnya no 6177. Al-Haitsami berkata, وَرِجَالُ الْبَزَّارِ مُوَثَّقُونَ “Para perawinya dinyatakan tsiqoh/terpercaya” (Majma’ Az-Zawaid 3/275) dab dihasankan oleh Al-Albani di Shahih At-Targhiib wa At-Tarhiib no 1112)
([13]) (HR Malik di Al-Muwattho no 2762 hanya saja sanadnya mursal karena Tholhah bin Úbaidillah adalah seorang tabií yang tidak bertemu dengan Nabi shallallahu álaihi wasallam. Akan tetapi Ibnu Ábdilbarr berkata, وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ مَحْفُوظٌ مِنْ وُجُوهٍ كَثِيرَةٍ “Makna/kandungan hadits ini benar dari banyak riwayat” (At-Tamhiid 1/116)