10. وَأَنَّا لَا نَدْرِىٓ أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَن فِى ٱلْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
wa annā lā nadrī asyarrun urīda biman fil-arḍi am arāda bihim rabbuhum rasyadā
10. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.
Tafsir :
Kemudian para jin -yang beriman tersebut- kembali melanjutkan pembicaraannya kepada kaumnya. Dengan lembut para jin itu menyampaikan bahwa mereka tidak tahu apakah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga berita-berita tidak dapat dicuri lagi itu merupakan keburukan untuk para penghuni bumi ataukah kebaikan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mereka? Tentu para jin tersebut tahu yang sebenarnya, bahwa kebaikanlah yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun ini hanyalah metode dialog yang digunakan oleh jin untuk memancing kaumnya berpikir demi mengambil hati kaumnya([1]). Hal ini mirip dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum Quraisy tatkala berdakwah, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Saba’ : 24)
Ini adalah metode dakwah. Meskipun kita tahu bahwa kita berada dalam kebenaran atau kita telah tahu jawabannya, kita memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menarik hati mereka sebagaimana dalam ayat ini. ([2])
______________________
Footnote :