5. إِنَّ ٱلْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِن كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
innal-abrāra yasyrabụna ming ka`sing kāna mizājuhā kāfụrā
5. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.
Tafsir :
Kata الْأَبْرَارَ dalam ayat ini merupakan jamak dari الْبَر yang artinya adalah orang yang sangat baik. Dan sebagian ulama mengatakan bahwa الْبَر secara bahasa menunjukkan keluasan, sebagaimana daratan juga disebut dengan الْبَر. Oleh karenanya tidaklah seseorang dikatakan الْأَبْرَارَ kecuali dia telah melakukan kebajikan yang banyak, dan tentunya balasan surga bagi orang-orang tersebut adalah surga yang tertentu. Intinya adalah kalau dia bersedekah maka sedekahnya pasti banyak, kalau dia shalat malam maka shalat malamnya banyak, kalau dia baca Alquran maka bacaannya banyak, dan amalan lain yang dilakukannya pasti telah banyak.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa الْأَبْرَارَ artinya orang mengumpulkan dua hal, yaitu berbuat baik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak mengganggu orang lain. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa yang disebut dengan orang saleh adalah orang yang menunaikan hak Allah Subhanahu wa ta’ala dan menunaikan hak manusia. Ketika seseorang telah menunaikan hak Allah Subhanahu wa ta’ala dan hak manusia, maka dia telah dikatakan orang yang saleh atau dengan kata lain Al-Abrar.
Sebagian ulama yang lain berpendapat sebagaimana perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu yang berkata,
إِنَّمَا سَمَّاهُمُ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ الْأَبْرَارَ لِأَنَّهُمْ بَرُّوا الْآبَاءَ وَالْأَبْنَاءَ
“Sesungguhnya mereka disebut oleh Allah dengan Al-Abrar karena mereka berbuat baik kepada orang tua dan anak-anak mereka.”([1])
Sebagian orang sangat perhatian kepada orang tuanya akan tetapi kurang perhatian terhadap anak-anaknya. Akhirnya anak-anak mereka dibiarkan bebas tanpa diperhatikan shalatnya, tidak diperhatikan bacaan Alquran-nya, atau tidak dibangunkan pada waktu shalat dengan berbagai macam alasan kesibukan. Atau sebaliknya sebagian orang berbuat baik kepada anaknya namun tidak perhatian kepada orang tuanya. Keinginan anaknya sering dia penuhi, akan tetapi jangankan untuk memenuhi keinginan orang tuanya, menjenguknya pun mungkin sudah tidak pernah. Dan yang lebih parah lagi adalah orang yang tidak memperhatikan keduanya, orang tua maupun anak. Dia beranggapan bahwa anak itu cukup diberi kebutuhan dunianya berupa makanan, padahal jika anak hanya butuh yang demikian maka hewan pun bisa melakukannya. Sesungguhnya yang membedakan antara kita dengan hewan adalah bagaimana kita berjuang mendidik anak agar bisa menjadi anak yang baik dengan menyerahkan hasilnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka orang-orang yang demikian tidak bisa dikatakan seorang orang yang Al-Abrar. Adapun jika seseorang telah berbuat baik kepada orang tuanya dan anak-anaknya, maka barulah dia dikatakan Al-Abrar sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
Tafsiran yang lain, Al-Hasan al-Bashri berkata,
الْأَبْرَارُ الَّذِينَ لَا يُؤْذُونَ أَحَدًا
“Al-Abrar adalah yang tidak mengganggu seorang pun.”([2])
Maka ingatlah bahwa jika kita ingin tergolong ke dalam orang-orang yang Al-Abrar, perbanyaklah berbuat kebaikan, tunaikan hak Allah Subhanahu wa ta’ala dan hak manusia, serta jangan sampai menzalimi orang.
كَأْسٍ maksudnya adalah gelas yang telah ada isinya. Jadi penduduk surga akan minum dari gelas yang berisi khamr di akhirat yang disediakan oleh pelayan-pelayan. Adapun كَافُورًا yang dimaksud dalam ayat ini adalah semacam zat yang telah dikeluarkan dari sebuah pohon tua yang berwarna putih serta bau yang harum dan asalnya tidak untuk diminum([3]). Sehingga para ulama menyebutkan bahwa campuran kafur di sini adalah dari sisi harum dan warnanya yang putih. Adapun rasa dari minuman tersebut adalah tetap khamr, dan tentunya khamr di dunia berbeda dengan khamr di akhirat. Allah Subhanahu wa ta’ala hanya menyebutkan kafur agar orang-orang mudah untuk paham bahwa tidak ada di atas muka bumi yang sama hakikatnya dibandingkan dengan apa yang ada di akhirat. Sebagai contoh adalah pohon di akhirat tidak sama dengan pohon di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا فِي الجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلَّا وَسَاقُهَا مِنْ ذَهَبٍ
“Tidak ada pohon di surga kecuali dahannya (batangnya) terbuat dari emas.”([4])
Demikian pula sungai di surga disebutkan,
أَنَّ أَنْهَارَهَا تَجْرِي مِنْ غَيْرِ أُخْدُودٍ
“Bahwa sungai-sungai di surga mengalir tanpa ada lubang.”([5])
Oleh karenanya jangan kemudian kita membayangkan bahwa yang dimaksud kafur adalah kapur barus yang ada di dunia.
_____________________________
Footnote :
([1]) Tafsir Al-Qurthubi 19/125
([2]) Tafsir Al-Qurthubi 19/125