8. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا
fa al-hamahā fujụrahā wa taqwāhā
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Tafsir:
Para ahli tafsir berselisih menjadi dua pendapat terkait makna kejahatan dan ketakwaan. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa Allah memberi ilham kepada jiwa tersebut kefajiran dan ketakwaan sehingga setiap jiwa bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Karena Allah menciptakan setiap jiwa manusia di atas fitrah, dan fitrahnya tersebut membawa dia agar bisa membedakan mana keburukan dan mana kebaikan.
Pada dasarnya jiwa itu tidak suka dengan keburukan namun senang dengan kebaikan, karenanya setiap orang bisa merasakan dalam dirinya mana yang baik dan mana yang buruk. Diantara manusia tidak ada yang suka dengan kedustaan, bahkan pendusta pun tidak suka jika ia didustai. Kecuali apabila itu adalah syubhat yaitu sesuatu yang samar, terkadang fitrah orang bisa berubah karenanya. Adapun perkara-perkara yang jelas seperti berbuat dusta, berbuat zhalim, dan mencuri maka setiap jiwa yang masih di atas fitrahnya mengetahui akan keburukannya. Oleh karena itu, seseorang yang sengaja melakukan keburukan berarti dia sendiri yang memilih keburukan tersebut.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa Allah memberi ilham kepada jiwa tersebut kefajiran dan ketakwaan, ini berkaitan tentang takdir. Segala hal yang dilakukan oleh manusia di atas muka bumi ini telah ditakdirkan oleh Allah, apakah itu kebaikan ataupun kefajiran. Dalam Shahih Muslim, ada seorang yang bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ، وَيَكْدَحُونَ فِيهِ، أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ، أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ، وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ؟ فَقَالَ: لَا، بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ، وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau tentang apa yang dilakukan manusia pada hari ini dan mereka bersungguh-sungguh di dalamnya, apakah hal itu merupakan sesuatu yang ditetapkan atas mereka dan telah berlaku atas mereka takdir sebelumnya? Ataukah sesuatu yang dihadapkan kepada mereka dari apa-apa yang dibawa kepada mereka oleh Nabi mereka dan hujjah telah nyata atas mereka?” Nabi menjawab, “Bahkan, hal itu merupakan sesuatu yang telah ditentukan atas mereka. Dan pembenaran akan perkataanku adalah firman Allah, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya. Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (HR Muslim no. 2650)
Semua yang kita lakukan telah tercatat sebagai takdir Allah. Namun tidak ada seorang pun yang mengetahui apa takdir hidupnya. Oleh karena itu, diantara faedah beriman kepada takdir adalah seseorang tidak ujub dengan amalan shalehnya. Tatkala dia beramal shalih, dia akan menyadari bahwa semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah. Allah-lah yang telah mengilhamkan kepada dirinya agar beramal shaleh. Dan tidak ada manusia yang bisa membanggakan dirinya, karena tidak ada yang mengetahui bagaimana akhir dari kehidupannya. Tidak ada juga yang mengetahui kehidupan selanjutnya akan berlanjut dimana, di surga atau di neraka. Oleh karena itu, tugas manusia hanyalah beramal. Karena masalah takdir adalah rahasia Allah.
Hakikat takdir tidak bisa ditangkap oleh otak manusia, tidak satu pun yang mampu mencernanya. Oleh karena itu, dalam Al-Quran Allah selalu menutup segala pertanyaan yang ditujukan kepada-Nya, diantaranya mengenai takdir. Karena sering kali syaithan datang memberi was-was kepada manusia lalu mengatakan, kenapa Allah mentakdirkan iblis masuk neraka jahannam, kenapa Adam ditakdirkan keluar dari surga, dan semua pertanyaan yang menandakan seolah-olah lebih paham daripada Allah. Maka Allah menjawab dengan firman-Nya:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS Al-Anbiya’ : 23)
Karena sesungguhnya manusia penuh dengan kebodohan. Terlalu banyak perkara remeh yang tidak mampu manusia renungkan hakikatnya, lantas dia ingin menyingkap hakikat takdir yang merupakan rahasia Allah. Oleh karena itu, diantara rukun iman yang harus diyakini adalah rukun iman yang keenam yaitu beriman kepada takdir. Barang siapa yang tidak beriman terhadap takdir Allah maka amalannya tidak akan diterima.