8. أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
alaysa allaahu bi-ahkami alhaakimiina
“Bukankah Allah hakim yang paling adil?”
Tafsir Surat At-Tiin Ayat-8
Kata أَحْكَمِ bisa kembali kepada dua sifat, kembali kepada الْحُكْمُ sehingga maksudnya adalah “Hukuman-Nya yang paling adil” atau kembali kepada الْحِكْمَةُ sehingga maksudnya adalah “Hakim yang paling hikmah.” Hukum Allah-lah yang paling adil. Tidak mungkin Allah akan menyamakan dua manusia yang satunya rajin beribadah kepada Allah, beramal shaleh, tidak melakukan kemaksiatan, tidak menzhalimi orang lain, dan satunya yang rajin melakukan kemaksiatan, suka menzhalimi orang lain, malas beribadah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Adil, pasti Allah akan membedakan diantara keduanya. (lihat tafsir Ibnu Katsir 8/420).
Demikian juga sifat Allah yang Maha Hikmah dan Maha Bijak. Tidak mungkin Allah akan memutuskan suatu hukum kecuali ada hikmah yang terbaik di balik hukum tersebut. Yang bisa jadi hikmah tersebut manusia ketahui dan seringnya hikmah tersebut tidak diketahui.
As-Sa’di berkata :
فَهَلْ تَقْتَضِي حِكْمَتُهُ أَنْ يَتْرُكَ الْخَلْقَ سُدًى لاَ يُؤْمَرُوْنَ وَلاَ يُنْهَوْنَ، وَلاَ يُثَابُوْنَ وَلاَ يُعَاقَبُوْنَ؟
Apakah konsekuensi hikmah Allah adalah Allah menciptakan manusia lantas dibiarkan begitu saja tanpa diperintah, tanpa dilarang, tidak diberi pahala dan tidak diberi hukuman? (Tafsir As-Sa’di hal 929)
Jawabannya tentulah tidak, Allah pasti akan membangkitkan mereka untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia.
Oleh karena itu, hendaknya orang beriman itu menggunakan segala nikmat keindahan yang ada pada tubuhnya untuk taat kepada Allah semata. Dia menggunakan matanya untuk memandang perkara-perkara yang dihalalkan. Lisannya digunakan untuk mengucapkan ucapan-ucapan yang baik. Tidak digunakan untuk bermaksiat dan membangkang terhadap perintah Allah yang bisa membuat dia dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya yaitu neraka jahannam.