1. إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
innaa anzalnaahu fii laylati alqadri
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya di malam qadar”[1]
2. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
wamaa adraaka maa laylatu alqadri
“Dan tahukah kamu apakah malam qadar itu?”[2]
3. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
laylatu alqadri khayrun min alfi syahrin
“Malam qadar itu lebih baik daripada seribu bulan”[3]
4. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
tanazzalu almalaa-ikatu waalrruuhu fiihaa bi-idzni rabbihim min kulli amrin
“Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhan-nya untuk mengatur semua urusan”[4]
5. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
salaamun hiya hattaa mathla’i alfajri
“Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar”[5]
Asbabunnuzul:
Para ulama berselisih pendapat tentang status surat Al-Qadar, apakah tergolong Makkiyah atau Madaniyah. Jumhur ulama berpendapat bahwasanya surat Al-Qadar adalah surat Madaniyah. Mereka beralasan karena di dalam surat Al-Qadar tersebut Allah berbicara tentang malam lailatul qadar yaitu malam yang paling mulia, dan malam lailatul qadar berkaitan dengan dengan puasa di bulan Ramadhan. Sedangkan puasa Ramadhan tidak disyariatkan kecuali setelah Nabi berhijrah ke kota Madinah. Sehingga mayoritas ulama berpendapat surat Al-Qadar adalah surat Madaniyah dan bukan Makkiyah.
Lantas apa hubungan antara surat Al-Qadar dengan surat sebelumnya yaitu Al-‘Alaq? Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwasanya setiap surat pada asalnya mempunyai hubungan dengan surat sebelumnya atau sesudahnya jika diteliti lebih lanjut. Namun terkadang hubungannya dapat diketahui, terkadang pula tidak diketahui. Adapun hubungan antara surat Al-Qadar dengan surat Al-‘Alaq, maka ayat-ayat awal dari surat Al-‘Alaq turun ketika Nabi sedang berada di gua Hira, dan surat Al-Qadar yang menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut turun di saat malam lailatul qadar.