1. إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
innaa anzalnaahu fii laylati alqadri
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya di malam qadar”
Tafsir Surat Al-Qadar Ayat-1
Kata ganti “nya” pada kataأَنْزَلْنَاهُ (menurunkannya) dalam ayat ini tidak disebutkan kembali kepada apa/siapa. Namun kata para ulama, setiap dhamir (kata ganti) “nya” yang disebutkan dalam Al-Quran hukum asalnya kembali kepada “Al-Quran” meskipun sebelumnya “Al-Quran” tidak disebutkan, karena hal ini sudah diketahui.
Ada dua pendapat tentan maksud dari ayat ini.
Pertama : yaitu al-Qur’an diturunkan secara kesluruhan dari al-Lauh al-Mahfuuz ke Baitul ‘izzah di langit dunia. Dan ini pendapat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Ibnu Katsir berkata :
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُهُ: أَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ جُمْلَةً وَاحِدَةً مِنَ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ إِلَى بَيْتِ العِزّة مِنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، ثُمَّ نَزَلَ مُفَصَّلًا بِحَسْبِ الْوَقَائِعِ فِي ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ibnu Abbas dan yang lainnya berkata : “Allah menurunkan Al-Qur’an secara keseluruhan dari al-Lauh al-Mahfuuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, lalu al-Qur’an turun secara bertahap berdasarkan kejadian-kejadian selama 23 tahun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”[1]
Kedua : maksud ayat ini adalah al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala di gua Hiro yaitu ketika turun 5 ayat pertama dari surat al-‘Alaq di malam lailatul qodar. Dan ini adalah pendapat Asy-Sya’bi rahimahullah. Beliau berkata :
نَزَلَ أَوَّلُ الْقُرْآنِ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Awal al-Qur’an turun di malam lailatul qodar”[2]
Kemudian Allah juga menggunakan kata ganti “Kami” yang kembali kepada Allah pada ayat ini dan tidak menggunakan “Aku”. Sebagian orang-orang Nasrani berdalil dengan ayat-ayat seperti ini, mereka mengatakan bahwa Allah itu ganda atau lebih dari satu, sebagaimana Islam juga menguatkannya di dalam beberapa ayat Al-Quran. Tetapi ini adalah pendalilan yang bathil. Karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab dengan berbagai uslubnya, dan salah satu uslub untuk menunjukkan pengagungan adalah dengan menggunakan kata ganti “Kami” untuk penunjukan Allah. Bahkan sering kali dalam bahasa Indonesia pun demikian, dengan menggunakan kata ganti “Kami” sebagai ganti dari “Aku”. Seandainya kata ganti “Kami” disitu berarti banyak, niscaya Abu Jahal dan kawan-kawannya akan terlebih dahulu mengingkari ke Maha Esa-an Allah. Tetapi tidak demikian, karena mereka lebih memahami uslub bahasa Arab daripada orang-orang Nasrani.
Sebagian berpendapat bahwa “Kami” disini adalah malaikat. Karena yang menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad adalah malaikat Jibril. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS Al-Qiyamah: 18)
Padahal yang membacakan untuk Nabi adalah Jibril dan bukan Allah. Sehingga “Kami” disitu bermakna malaikat. Dan kita tahu bahwasanya malaikat adalah tentara Allah, sebagaimana Allah berfirman:
وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ ۚ
“..Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri..” (QS Al-Muddatstsir: 31)
Sehingga Allah bisa saja mengatasnamakan tentaranya dengan “Kami”. Seperti seorang Raja yang memerintahkan anak buahnya untuk membangun sebuah istana, ketika ditanya siapa yang membangun istana itu? Maka Raja tersebut akan mengatakan, “Kami yang membangunnya”, dengan memaksudkan anak buahnya.
Intinya Allah menggunakan ungkapan “Kami” pada ayat ini tidak lantas melazimkan bahwa Allah itu ganda, atau tiga, atau lebih dari itu. Sebagaimana sangkaan sebagian orang yang tidak mengerti bahasa Arab.
Lagi pula pertanyaan kaum Nashrani tersebut menunjukan bahwa mereka mengakui -secara tidak langsung- bahwa tuhan yang mereka sembah itu ganda dan tidak esa.
Footnote:
[1] Tafsir Ibnu Katsir 8/441, dan atsar dari Ibnu ‘Abbas ini diriwayatkan oleh At-Thobroni di al-Mu’jam al-Kabir no 12382 Al-Hakim no 2881 dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa wa as-Sifaat no 496, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no 30190, dan sanadnya dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mausuu’ah Al-Albani fi al-‘Aqidah 1/310 dan 5/792
[2] Tafsir At-Thobari 24/543 dan Al-Muharror al-Wajiiz, Ibnu ‘Athiyyah 5/504, dan sepertinya Ibnu ‘Athiyyah condong kepada pendapat ini dalam tafsirnya dan juga al-Qurthubi dalam tafsirnya 20/129-130, dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibin ‘Aasyuur dalam At-Tahriir wa At-Tanwiir 30/456-457, As-Sa’di dalam tafsirnya hal 931, As-Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin dalam tafsir Juz ‘Amma hal 269