1. أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
Latin: alhaakumu alttakaatsuru
Arti: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”
Tafsir Quran Surat At-Takatsur Ayat-1
Para ulama berselisih pendapat tentang status surat At-Takatsur, apakah tergolong Makkiyah atau Madaniyah. Mayoritas ulama berpandangan bahwa surat At-Takatsur adalah surat Makkiyah yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum berhijrah ke kota Madinah. Yang mana sasaran pembicaraan surat ini adalah untuk orang-orang kafir Quraisy yang mengingkari adanya hari kebangkitan. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa surat At-Takatsur adalah surat Madaniyyah yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah berhijrah ke kota Madinah. Mereka berpandangan seperti itu karena berpendapat bahwa sebab diturunkannya surat ini adalah tentang dua kabilah dari Anshar yang saling berbangga-banggaan atas apa yang ada pada diri mereka.
Mereka saling bertanya: “Apakah kalian mempunyai pahlawan yang segagah dan lebih cekatan dari Fulan?” Mereka saling menyombongkan diri dengan kedudukan dan kekayaan orang-orang yang masih hidup. Mereka juga saling mengajak pergi ke kuburan untuk menyombongkan kepahlawanan golongannya yang sudah gugur, dengan menuju ke kuburannya. Surat ini turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hidup bermegah-megahan sehingga ibadahnya kepada Allah terlalaikan.
Dan telah dimaklumi bahwasanya kaum Anshar adalah penduduk kota Madinah, hal ini yang membuat sebagian ulama berpandangan bahwa surat At-Takatsur adalah Madaniyyah. Akann tetapi pendapat yang lebih kuat adalah Makkiyah. Karena riwayat tentang asbabun nuzul di atas adalah riwayat yang lemah bahkan riwayat yang bathil, karena tidak layak bagi kaum Anshar berbangga-bangga seperti itu dan tidak mungkin para sahabat Nabi melakukannya.
Selain itu, apabila diperhatikan di awal surat tentang celaan Allah yang ditujukan bagi orang-orang yang bermegah-megahan sehingga mereka lalai dari mengingat hari akhirat, maka akan diketahui bahwa celaan ini tidak mungkin ditujukan untuk kaum Anshar. Tetapi yang lebih cocok untuk menjadi obyek pembicaraan adalah orang-orang kafir Quraisy.
Lalu para ulama menyebutkan bahwasanya surat At-Takatsur memiliki beberapa nama, diantaranya surat At-Takatsur itu sendiri yang artinya berlomba-lomba. Sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa diantara nama surat ini adalah surat Al-Hakumut takatsur, sebagian yang lain menamakan surat ini dengan surat Al-Maqbarah karena di dalam surat ini Allah menyebutkan tentang الْمَقَابِرَ “pekuburan” dan tidak akan dijumpai penyebutan kata tersebut di dalam Al-Quran kecuali pada surat ini saja.
Kemudian sebagian ulama mencoba mencari hubungan antara surat At-Takatsur dengan surat Al-Qari’ah. Pada bagian-bagian akhir surat Al-Qari’ah disana dibahas tentang timbangan kebajikan ataupun keburukan. Dan diantara yang menyebabkan timbangan kebajikan itu ringan dan timbangan keburukan menjadi berat adalah berlomba-lomba untuk bermegah-megahan sebagaimana pokok pembicaraan pada surat At-Takatsur ini. Dan sifat inilah yang menyebabkan manusia tersibukkan dengan perkara-perkara dunia lalu lupa beramal shalih dan beribadah kepada Allah.
Allah berfirman pada permulaan surat:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”
Pada ayat ini Allah tidak menyebutkan bermegah-megahan dalam hal apa. Sekilas bisa ditangkap bahwa ayat ini membicarakan tentang bermegah-megahan dalam harta sebagaimana penyebab kelalaian kebanyakan manusia. Namun para ahli tafsir semisal Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan bahwa ketika tidak disebutkan bermegah-megahan atau berlomba-lombanya dalam hal apa, maka ayat ini memberikan faidah keumuman. (lihat Tafsir As-Sa’di hal 933). Termasuk semua perkara yang orang berlomba-lomba, bermegah-megah, berbangga-banggan padanya seperti harta, anak, kabilah, suku, ras, kedudukan, bahkan ilmu (lihat Tafsir Juz ‘Amma ibnu al-Utsaimin hal 302) yang akhirnya melalaikan mereka, menjadikan angan-angan dan mimpi mereka menjadi panjang, sehingga lupa bahwa kematian itu sangat dekat.
Mengapa saling berlomba-lomba agar lebih banyak itu bisa tercela? Pada asalnya mencari harta itu adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Allah pun tidak pernah melarang seseorang mencari harta, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan nafkah terhadap anak dan istrinya. Namun akan menjadi tercela jika dia meminta tambahan terus. Dia sudah berada di atas hidup yang berkecukupan akan tetapi dia tidak pernah puas karena melihat orang lain yang hartanya lebih banyak, atau mobilnya lebih banyak, atau rumahnya lebih mewah, sehingga dia mempunyai keinginan untuk menyaingi orang tersebut. Inilah takaatsur yang akan menyibukkan dia, membuat dia lalai dan akhirnya mencelakakan dia. Lain halnya jika ia mengumpulkan harta untuk tujuan akhirat, untuk bersedekah, membantu kaum muslimin dan lainnya, maka ini adalah memperbanyak harta untuk akhirat.
Dan hal yang sangat menyedihkan terkadang didapati pada sebagian kaum muslimin yang berbanyak-banyakan pada perkara-perkara yang tidak ada manfaatnya di akhirat bahkan di dunia juga tidak ada manfaatnya. Seandainya mereka berbanyak-banyakan dalam perkara dunia yang bermanfaat hanya saja tidak ada manfaat bagi akhiratnya maka itu kadang bisa dimaklumi. Tetapi jika itu tidak bermanfaat bahkan untuk dunianya, maka hal ini lebih mengherankan. Misalnya seseorang yang mempunyai hobi mengoleksi perangko, mengoleksi bola golf, mengoleksi batu inilah batu itulah, atau hobi mengoleksi mobil antik. Sungguh tidak ada manfaat dari itu semua melainkan hanya akan menghabiskan waktunya dan menimbulkan kelalaian di dalam dirinya.
Padahal semua yang mereka kumpulkan, yang mereka banggakan, yang telah lama mereka kumpulkan dan mereka berlomba-lomba mengumpulkannya dengan letih dan Lelah ternyata tidak akan mereka bawa ke akhirat. Mereka tidak akan membawa barang ke akhirat, yang dibawa hanyalah amalan semata. Dalam sebuah hadits dari Qatadah, dari Mutharrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau sedang membaca ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
“Anak Adam berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Bukankah hartamu yang kau miliki sesungguhnya wahai anak adam kecuali yang kau makan lalu habis, atau baju yang kau pakai lantas using, atau harta yang kau sedekahkan maka itulah yang tersisa (di akhirat)?” (HR Muslim no. 2958)
Sungguh benar hadits ini. Seorang manusia bisa saja mengumpulkan harta hingga milyaran atau trilyunan, akan tetapi hartanya yang benar-benar ia nikmati adalah yang ia makan atau yang ia pakai. Ini untuk manfaat dunia. Sisa hartanya yang begitu banyak sesungguhnya bukan ia yang menikmati. Bahkan seseorang yang sangat kaya dan memiliki puluhan mobil, toh jika ia ingin berkendaraan maka tidak mungkin ia menggunakan 20 mobil sekaligus, paling yang dia naiki hanya satu mobil.
Jika dihadapannya makanan yang begitu banyak dan begitu lezat berpuluh-puluh piring, toh ketika dia hendak makan maka ia hanya bisa makan sepiring atau dua piring, kapasitas perutnya tidak bisa mencakup semua makanan. Maka yang bisa ia makan itulah hartanya yang sesungguhnya.
Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Yang mengikuti mayit sampai ke kubur ada tiga, dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari, no. 6514; Muslim, no. 2960)
Hartanya akan dia tinggalkan, kekayaan yang selama ini susah payah dia kumpulkan akan dia tinggalkan, istrinya dan anak-anaknya akan dia tinggalkan. Satu-satunya hartanya yang akan menemaninya adalah amalannya dan harta yang selama ini dia sedekahkan itulah harta yang benar-benar akan menjadi miliknya di akhirat. Adapun harta yang dia tidak gunakan maka harta tersebut bukanlah miliknya. Nabi bersabda:
ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣَﺎﻟِﻰ ﻣَﺎﻟِﻰ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﺛَﻼَﺙٌ ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻞَ ﻓَﺄَﻓْﻨَﻰ ﺃَﻭْ ﻟَﺒِﺲَ ﻓَﺄَﺑْﻠَﻰ ﺃَﻭْ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﻓَﺎﻗْﺘَﻨَﻰ ﻭَﻣَﺎ ﺳِﻮَﻯ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﺫَﺍﻫِﺐٌ ﻭَﺗَﺎﺭِﻛُﻪُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ
“Hamba berkata, ‘Harta-hartaku.’ Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia sedekahkan maka ia simpan (untuk akhiratnya). Dan harta selain itu maka akan sirna dan ia tinggalkan untuk orang lain” (HR. Muslim no. 2959)
Sebagaimana dalam sebuah hadits tatkala disembelih seekor kambing kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh istri-istrinya untuk membagikan (daging) kambing tersebut kepada orang lain. Maka setelah dibagikan (daging) kambing tersebut Nabi bertanya kepada ‘Aisyah:
مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا. قَالَ بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا
“Wahai ‘Aisyah, bagian mana dari kambing tersebut yang masih tersisa?” Maka ‘Aisyah berkata: “Tidak ada yang tersisa kecuali hanya bagian pundak dari kambing.” Maka Nabi mengatakan: “Seluruh kambing tersisa kecuali pundak yang tersisa.” (HR. Tirmidzi no. 2470)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim berpikir cerdas. Apakah dia mengumpulkan harta untuk menjadi simpanannya atau untuk orang lain? Jika dia berpikir hartanya tersebut untuk dirinya, maka dia akan menggunakannya untuk sedekah di jalan Allah atau untuk perkara-perkara yang diridhai oleh Allah. Adapun hartanya yang bersisa di dunia hanya akan menjadi harta warisan untuk keluarganya.
Memang memperbanyak harta benar-benar melalaikan. Kita bisa bayangkan seseorang sudah memiliki rumah, lalu ia bangun rumah lagi bukan karena keperluan akan tetapi hanya untuk bermegah-megahan, bisa kita renungkan betapa banyak waktunya yang akan habis untuk membangun rumah tersebut?. Untuk memikirkan gambar rumahnya…, bahan bangunannya.., isi rumahnya…? Sebelumnya betawa waktunya habis untuk mencari lokasi tanahnya?. Belum lagi kalau ternyata ia membangun rumah tersebut dengan berhutang, maka setelah rumahnya jadi ia harus menyita waktu lagi memikirkan bagaimana membayar hutangnya. Ini bukti bahwa mengumpulkan harta memang sangat menyita waktu.