8. ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Latin: tsumma latus-alunna yawma-idzin ‘ani alnna’iimi
Arti: “Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu)”
Tafsir Quran Surat At-Takatsur Ayat-8
Pertanyaan tersebut umum mencakup segala kenikmatan yang kita rasakan. Allah akan menanyakan tentang kesehatan kita dilakukan untuk apa. Akan ditanyai pula tentang waktu luang telah dihabiskan untuk apa. Dua nikmat inilah yang manusia sering terperdaya di dalamnya. Nabi bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR Bukhari no. 6412)
Dia memiliki kesehatan yang prima akan tetapi tidak dimanfaatkannya untuk memperbanyak ibadah padahal kelak akan datang masa tua dimana dia tidak akan memiliki kesehatan yang sama seperti saat muda dahulu. Demikian juga waktu luangnya tidak dimanfaatkannya dengan maksimal padahal kelak akan datang masa dimana waktu luangnya sedikit. Begitupun dengan nikmat-nikmat lainnya semua akan ditanyai oleh Allah. Bahkan kenikmatan berupa kurma yang dimakan atau air putih yang diminum akan ditanyai tentang keduanya.
Oleh karena itu, hendaknya mulai dari sekarang setiap hamba menyiapkan jawaban tentang dua pertanyaan yang akan ditanyakan kepadanya perihal harta dan kenikmatan yang ada pada dirinya. Dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia menghabiskannya. Pertanyaan pertama saja betapa banyak manusia yang tidak bisa lolos darinya, orang-orang yang mencari harta dengan harta yang haram, dengan cara riba, menzhalimi orang lain, menipu orang bodoh, dan cara-cara haram lainnya. Seandainya dia selamat, masih ada tantangan selanjutnya yaitu kemana dia menghabiskan hartanya tersebut. Bisa jadi memperolehnya dengan jalan-jalan atau sumber-sumber yang halal. Tetapi dia menghabiskannya untuk foya-foya, jalan-jalan ke negara kafir, membeli sesuatu yang tidak perlu.
Diantara faidah berharga yang bisa dipetik dari kandungan surat At-Takatsur:
Pertama : disunnahkan untuk ziarah kubur agar tidak lalai dengan dunia
Diantara hal yang dapat membuat manusia tersadar akan hidupnya yang hanya sementara, hartanya yang tidak akan dibawa bersamanya ke kubur adalah menziarahi kubur. Dia akan memperhatikan bagaimana keadaan akhir dari orang-orang hebat, orang-orang kaya, semua berujung kepada kematian, mereka dikuburkan tanpa membawa kehebatan dan kekayaannya. Oleh karena itu Nabi memerintahkan ummatnya untuk menziarahi kuburan, beliau bersabda:
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian.” (HR Muslim no. 1622)
Bahkan Imam Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwasanya dianjurkan seseorang untuk mendatangi dan melihat orang yang sedang sakaratul maut. Hal ini dapat lebih membekas di dalam hati. Kita akan menyadari kemudian kita tidak akan terperdaya dengan kesehatan kita, tidak terperdaya dengan harta yang kita miliki, dan kita akan menyadari bahwasanya kita akan meninggal sebagaimana dia meninggal, bahkan dalam kondisi yang kita tidak sadari. Karenanya seorang penyair berkata:
تَزَوَّدْ مِنَ التَّقْوَى فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي … إِذَا جَنَّ لَيْلٌ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ
“Berbekallah engkau dengan ketaqwaan (karena) sesungguhnya engkau tidak tahu jika telah tiba malam hari apakah engkau masih bisa hidup hingga pagi hari.”
وَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ … وَكَمْ مِنْ سَقِيْمٍ عَاشَ حِيْناً مِنَ الدَّهْرِ
“Betapa banyak orang sehat tiba-tiba meninggal (Allah cabut nyawanya) tanpa didahului sakit. Dan betapa banyak orang sakit parah disangka akan meninggal dunia ternyata masih hidup.”
Akan tetapi memang melihat orang yang sedang sakaratul maut tidak selalu mudah didapatkan. Berbeda dengan ziarah kubur maka bisa dilakukan setiap saat. Sehingga syari’at memerintahkan untuk sering berziarah kubur -tidak memerintahkan melihat kondisi sakaratul maut- karena berziarah kubur memang mudah dilakukan (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/171)
Kedua : adanya keterkaitan antara syahwat dengan syubhat
Telah dimaklumi bahwa celaan Allah terhadap orang-orang lalai sebagaimana dalam surat ini ditujukan untuk orang-orang kafir yang berusaha menolak beriman terhadap hari kebangkitan. Mereka beriman kepada Allah tetapi mereka tidak mau beriman terhadap hari kebangkitan. Kesesatan ini diawali dari sikap mereka yang hanya ingin memuaskan syahwat dan hidup di dunia dengan sepuas-puasnya.
Seandainya mereka meyakini akan adanya hari kebangkitan niscaya mereka akan berhenti dari perilaku-perilaku pemuasan hawa nafsu semata. Tetapi karena ada syahwat yang ingin dipuaskannya maka hal itu mengantarkan mereka untuk menolak adanya hari kebangkitan. Tidak ada solusi lain bagi mereka kecuali itu.
Demikianlah keadaan manusia pada kebanyakannya, betapa banyak syariat yang ditolak gara-gara syahwat, gara-gara bertentangan dengan keinginan hawa nafsunya. Ketika datang larangan, dia mulai mencari-cari dalih pembenaran, lalu mencari syubhat-syubhat yang sesuai dengan keinginannya. Lihat saja sebagian orang yang melakukan perkara-perkara bid’ah atau perkara-perkara yang mungkar, ketika dia ditegur dengan dalil dia malah berusaha membantahnya. Dia tidak ingin meninggalkan perkara-perkara tersebut, karena itu adalah sumber mata pencahariannya atau itu adalah sumber-sumber kesenangannya.
Ambil contoh, seseorang yang telah mengakar dalam dirinya musik. Dia tidak tenang jika tidak mendengarkan musik. Ketika dikatakan padanya bahwasanya musik itu adalah haram menurut kesepakatan ulama empat madzhab dan telah jelas pula larangannya dari Rasulullah sebagaimana yang ada di dalam Shahih Bukhari yang tidak diragukan keshahihannya, dia justru berusaha mencari perkataan-perkataan ulama yang membolehkannya, padahal sudah jelas dalilnya. Semua itu karena dia dikuasai oleh hawa nafsunya, dia telah cinta buta dengan musik dan tidak bisa ditundukkan oleh dalil, sehingga mengantarkannya untuk menolak hukum tersebut.
Ketiga : Seseorang hendaknya selalu yakin bahwa seluruh hartanya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah, sehingga tatkala ia mengumpulkan harta dan menyalurkannya dia siap untuk menjawab pertanyaan Allah pada hari kiamat. Maka hendaknya ia gunakan untuk semakin beribadah kepada Allah bukan untuk bermaksiat kepada Allah.
As-Sa’di rahimahullah berkata ;
الذي تنعمتم به في دار الدنيا، هل قمتم بشكره، وأديتم حق الله فيه، ولم تستعينوا به، على معاصيه، فينعمكم نعيمًا أعلى منه وأفضل. أم اغتررتم به، ولم تقوموا بشكره؟ بل ربما استعنتم به على معاصي الله فيعاقبكم على ذلك
“Nikmat yang kalian rasakan di dunia, apakah kalian telah mensyukurinya dan kalian menunaikan hak Allah?, kalian tidak menggunakannya untuk bermaksiat kepadanya?, maka Allahpun akan memberikan kenikmatan yang lebih tinggi lagi dan lebih baik bagi kalian (di surga kelak). Ataukah kalian terpedaya/terlalaikan dengan kenikmatan tersebut, sehingga kalian tidak mensyukurinya, bahkan kalian gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, maka Allah akan mengadzab kalian atas sikap kalian tersebut” (Tafsir As-Sa’di hal 933)