Meraih Ihsan (Derajat Iman Tertinggi)
Khutbah Jumat
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ اِلَيْه، وَنَعُوْذُ بالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
وأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَه
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله، فَقَد فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Al-Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim meriwayatkan hadis yang disebut dengan Ummu as-Sunnah ‘induknya hadis-hadis Nabi ﷺ’. Hadis tersebut adalah hadis yang masyhur, dan itu merupakan hadis yang pertama dalam kitab Shahih Muslim. Disebut dengan ummu as-sunnah menunjukkan bahwa seakan-akan seluruh hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ terangkum dalam hadis tersebut. Hadis tersebut adalah yang biasa kita kenal dengan sebutan hadis Jibril.
Jibril u datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan menjelma menjadi seorang manusia. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang Islam, maka Rasulullah ﷺ menjawab lima rukun Islam. Kemudian Jibril kembali bertanya tentang iman, maka Rasulullah ﷺ menjawab enam rukun iman. Kemudian setelah itu Jibril bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang ihsan, maka Rasulullah ﷺ menjawab,
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”([1])
Berdasarkan hadis ini, para ulama menjadikan agama itu bertingkat-tingkat. Tingkatan pertama adalah Islam, tingkatan kedua adalah iman, dan tingkatan tertinggi adalah ihsan.
Secara umum, kaum muslimin telah masuk dalam derajat yang pertama. Jika seseorang telah mengucapkan أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’, maka dia telah masuk dalam derajat pertama yaitu Islam. Akan tetapi, belum tentu semua yang telah masuk pada derajat yang pertama dikatakan telah masuk pada derajat yang kedua, yaitu derajat iman. Oleh karenanya, Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Hujurat,
﴿قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: Kami telah tunduk (Islam), karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang’.” (QS. Al-Hujurat: 14)
Demikian pula hadis yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, ketika Rasulullah ﷺ membagi pemberian kepada para sahabat, ada salah seorang sahabat yang beliau ﷺ tidak berikan kepadanya. Maka Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللهِ، أَعْطِ فُلَانًا فَإِنَّهُ مُؤْمِنٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ مُسْلِمٌ
“Wahai Rasulullah, berilah kepada lelaki itu karena dia juga seorang mukmin”. Beliau bertanya dengan bersabda, ‘(Atau bahkan) ia hanya seorang Muslim?’.”([2])
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu berkata demikian sebanyak tiga kali kepada Rasulullah ﷺ, dan ternyata beliau ﷺ tetap juga meminta kepastian dari Sa’ad sebanyak tiga kali dengan pertanyaan أَوْ مُسْلِمٌ ‘Ataukah dia seorang Muslim?’. Ini menunjukkan bahwasanya antara Islam dan iman memiliki tingkatan yang berbeda. Oleh karenanya, ketika seseorang telah berada pada derajat Islam, hendaknya ia berusaha meningkatkan derajatnya sampai pada derajat tingkatan iman.
Perbedaan mendasar yang bisa kita lihat antara Islam dan iman adalah Islam berkaitan dengan amalan-amalan zahir, adapun iman berkaitan dengan amalan-amalan hati. Oleh karenanya, kita dapati bahwa rukun iman itu adalah iman terhadap hal-hal gaib yang tempatnya itu di hati, adapun rukun Islam adalah hal-hal yang berkaitan dengan anggota tubuh.
Selain derajat iman, ternyata ada derajat yang lebih tinggi daripada itu, yaitu derajat ihsan. Jika seseorang telah pada derajat Islam, maka ia berusaha untuk menaikkan derajatnya pada derajat iman. Kemudian jika ia telah sampai pada derajat iman, maka dia berusaha untuk meningkatkan derajatnya kepada derajat ihsan, karena itu adalah derajat tertinggi dalam agama.
Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang ihsan dengan berkata,
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”([3])
Apa yang dimaksud dengan ihsan? Ihsan adalah apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya tersebut. Ihsan di sini ada dua derajat:
Pertama, yaitu seseorang beribadah dalam kondisi seakan-akan dia melihat Allah. Caranya adalah seseorang menghadirkan dalam dirinya tentang keagungan Allah ﷻ, memikirkan tentang bagaimana sifat-sifat Allah ﷻ yang mulia, memikirkan tentang kebesaran Allah ﷻ, memikirkan bahwasanya Allah ﷻ Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya dan Dia mampu mengatur seluruh makhluk-Nya. Demikian pula dengan cara seseorang merasakan keagungan Allah ﷻ, dia merasa dekat dengan Allah ﷻ, sehingga dia menghadirkan keagungan Allah ﷻ di hadapannya.
Kedua, yaitu seseorang beribadah dalam kondisi merasa bahwa Allah ﷻ melihatnya. Jika seseorang tidak mampu mencapai ihsan dengan derajat pertama, maka hendaknya dia berusaha mencapai derajat tersebut dengan derajat ini, yaitu dia menghadirkan muraqabtullah ‘merasa selalu diawasi dan dilihat oleh Allah ﷻ’.
Maka dari itu, seseorang harus berusaha untuk menggapai derajat ihsan, baik dengan derajat pertama atau yang kedua, karena derajat ihsan ini adalah derajat tertinggi dalam agama.
Ma’asyiral muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ.
Dari sini, kita dapat memahami bahwasanya ihsan itu sangat erat kaitannya dengan iman. Seseorang ketika menjalankan iman maka biasanya disertai dengan kondisi ihsan. Kita dapati dalam ayat-ayat Al-Qur’an Allah ﷻ menggandengkan antara ihsan, amal, dan iman. Seperti firman Allah ﷻ,
﴿إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا﴾
“Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang berbuat ihsan itu.” (QS. Al-Kahfi: 30)
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ﴾
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
﴿مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾
“Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat ihsan, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Lantas bagaimana kita menerapkan ihsan dalam kehidupan kita? Tatkala kita beribadah, maka kita berusaha menghadirkan keagungan Allah di hadapan kita, dan itulah yang dimaksud degan melihat Allah ﷻ ketika beribadah. Akan tetapi, jika kita tidak mampu melakukan hal tersebut, maka yakinlah bahwasanya Allah ﷻ sedang melihat kita. Misalnya ketika kita salat, jangan kemudian kita hanya asal salat saja, akan tetap hendaknya kita menghadirkan derajat ihsan dalam salat kita, yaitu dengan menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah ﷻ sedang melihat kita. Allah ﷻ berfirman kepada Nabi Muhammad ﷺ,
﴿وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ، الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ، وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴾
“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk salat), dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Asy-Syu’ara: 217-220)
Allah ﷻ dalam ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk bertawakal dalam ibadahnya. Seseorang bukan hanya dituntut untuk bertawakal ketika mencari rezeki dan dunia, akan tetapi dalam salat pun seseorang hendaknya bertawakal kepada Allah ﷻ.
Bagaimana cara bertawakal dalam ibadah? Yaitu dengan menghadirkan dalam diri bahwasanya Allah ﷻ sedang melihat kita ketika salat, Allah ﷻ melihat rukuk, sujud, dan melihat tasyahud kita.
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ
“Jika seseorang dari kalian berdiri salat sesungguhnya dia sedang bermunajat dengan Rabbnya.”([4])
Dalam bahasa Arab, munajat artinya adalah perkataan perlahan antara dua orang. Maka ketika seseorang sedang salat, maka itu artinya dia sedang berbicara dengan Allah ﷻ. Oleh karenanya, dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Allah ﷻ berfirman,
قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي – فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku setengah-setengah, dan hambaku mendapatkan apa yang dia minta. Apabila seorang hamba membaca ‘Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’, Allah menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. (ketika) seorang hamba membaca ‘Arrahmaanirrahiim’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’. (ketika) seorang hamba membaca ‘Maaliki yaumiddiin’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’. (ketika) seorang hamba membaca, ‘Iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’, Allah berfirman, ‘Inilah bagian-Ku dan bagian hamba-Ku, sedangkan bagi hamba-Ku apa yang di mintanya’. (ketika) seorang hamba membaca, ‘Ihdinashshiraathal mustaqiim shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhdhaallliin’, Allah berfirman, ‘Inilah bagian dari hamba-Ku, dan baginya apa yang di minta’.”([5])
Lihatlah, bagaimana Allah ﷻ menjawab membalas apa yang kita ucapkan dalam salat. Oleh karenanya, ketika seseorang ingin menghadirkan ihsan di dalam dirinya ketika salat, ingatlah pesan-pesan Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya kita sedang berhadapan dengan Allah ﷻ, dan kita sedang bermunajat kepada-Nya. Maka dari itu, hendaknya kemudian kita menghadirkan ihsan dalam seluruh ibadah kita, bukan hanya ketika salat, akan tetapi juga ketika membaca Al-Qur’an, ketika salat malam, ketika berpuasa, dan ibadah yang lain, hadirkan dalam diri kita bahwasanya Allah ﷻ sedang melihat kita.
Ibadah bukan hanya terbatas pada hubungan kita dengan Allah ﷻ, akan tetapi interaksi kita dengan orang lain juga ibadah. Lantas bagaimana cara kita menghadirkan ihsan dalam kehidupan sehari-hari kita? Contoh, ketika seseorang bersedekah, hendaknya dia menghadirkan dalam hatinya bahwasanya sedekah yang dia keluarkan bukan dalam rangka untuk mengharapkan pujian manusia, tapi karena dia yakin bahwasanya Allah ﷻ sedang melihatnya. Contoh lain ketika seseorang berbakti kepada orang tua, jika sekiranya dia harus bersafar ke tempat yang jauh untuk menjenguk orang tuanya, maka hendaknya dia menghadirkan dalam dirinya bahwasanya Allah ﷻ melihat dia sedang bersafar menuju orang tuanya dalam rangka untuk berbakti. Yang demikian inilah yang dinamakan ihsan dalam berinteraksi dengan orang lain, dan pahala yang demikian itu besar. Ibnu Taimiyah ﷺ mengatakan bahwasanya bisa jadi ada dua orang yang salat berdampingan, akan tetapi pahala antara yang satu dengan yang lainnya seperti antara langit dan bumi. Kenapa? Karena yang satunya menghadirkan ihsan dalam ibadahnya, sementara yang lain tidak.([6])
Oleh karena itu, hendaknya dengan berjalannya waktu ini kita terus beramal dengan menghadirkan ihsan dalam kehidupan kita sehari-hari, hingga akhirnya kita benar-benar meraih derajat tertinggi dalam agama, dan kita mendapatkan pahala sebesar-besarnya dari Allah ﷻ.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ وَخَطِيْئَة فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ تعظيما لشأنه وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَإِخْوَنِهِ
Ma’asyiral muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ.
Sungguh, jika seseorang telah mencapai derajat ihsan, maka hal itu akan memberikan beberapa faedah baginya.
Pertama: Ihsan akan memudahkan seseorang dalam beribadah kepada Allah ﷻ
Seseorang yang ihsan dalam kesehariannya akan disibukkan terhadap penilaian Allah ﷻ terhadap dirinya, bagaimana komentar Allah ﷻ terhadap perbuatannya, karena dia yakin bahwasanya Allah ﷻ senantiasa melihat dan mengawasi apa yang dia lakukan. Oleh karenanya di antara definisi ikhlas adalah meninggal pandangan manusia karena sibuk dengan padangan Allah ﷻ terhadapnya. Jika sekiranya seseorang senantiasa meyakini bahwasanya Allah ﷻ melihat apa yang dia lakukan, maka dia tentu tidak akan begitu peduli dengan komentar manusia, karena yang terpenting baginya adalah bagaimana komentar Allah ﷻ terhadap perbuatannya.
Oleh karenanya, orang yang susah untuk ikhlas itu disebabkan karena ihsan telah hilang dari dirinya. Maka dari itu, seseorang harus melatih dirinya untuk menghadirkan ihsan tersebut. Ketika dia telah menghadirkan ihsan dalam dirinya, maka dia tentu tidak lagi butuh dengan pengakuan dan pujian manusia, karena selama dia yakin bahwasanya Allah ﷻ melihat amal saleh yang dia lakukan, maka tentu akan ada balasan baginya kelak.
Kedua: Ihsan akan menjadikan seseorang melakukan amal saleh dengan sebaik-baiknya
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, bahwasanya beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang di antara kalian yang jika dia melakukan amalan, dia melakukan dengan sebaik-baiknya.”([7])
Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya dalam urusan dunia disebut juga dengan profesionalisme, adapun jika dalam ibadah maka disebut beribadah dengan sebaik-baiknya. Artinya, kalau seseorang sedang salat, maka dia berusaha untuk khusyuk, berusaha berdiri dengan tenang, berusaha menjalankan sunah-sunah salat. Kemudian juga kalau dia berbakti kepada orang tuanya, maka dia akan berbakti dengan sebaik-baiknya. Kalau dia berdakwah, maka dia akan berdakwah dengan sebaik-baiknya. Kalau dia ditugaskan suatu amanah, maka dia akan menjalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Kenapa demikian? Karena dia yakin bahwasanya Allah ﷻ sedang melihat dia beribadah, dia tahu bahwa Allah ﷻ sedang memperhatikannya, dan dia tahu bahwasanya Allah ﷻ sedang menilai ibadahnya. Oleh karenanya, ini di antara manfaat ihsan, yaitu seseorang akan melakukan amal saleh dengan sebaik-baiknya.
Ketiga: Ihsan akan menjadikan seseorang bisa memandang wajah Allah ﷻ
Di antara faedah ihsan yang paling agung adalah seseorang bisa memandang wajah Allah ﷻ di akhirat kelak. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman, ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian?’ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih (berseri-seri)? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?’ Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugerah memandang Rabb mereka.”([8])
Setelah berkata demikian, Rasulullah ﷺ membacakan firman Allah ﷻ,
﴿لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ﴾
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah).” (QS. Yunus: 26)
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam berkata dalam menafsirkan ayat ini, bahwasanya demikianlah yang namanya balasan sesuai dengan perbuatan. Ketika dahulu di dunia seseorang beribadah seakan-akan melihat Allah, ﷻ dan dia yakin Allah ﷻ juga sedang melihat dia, maka balasannya adalah dia akan melihat Allah ﷻ pada hari kiamat kelak, dan itu adalah puncak kenikmatan.([9]) Bahkan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Hadiy al-Arwah Ilaa Bilad al-Afrah mengatakan bahwa jika penghuni surga telah melihat wajah Allah ﷻ, maka mereka akan lupa dengan seluruh kenikmatan yang sedang mereka rasakan.
إِنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
وَاَرْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الَّذِيْنَ قَضَوْا بِالْحَقِّ وَبِهِ كَانُوْا يَعْدِلُوْنَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَنُ وَعَلِيُّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِيْنَ، وَأَنَّ مَعَهُمْ بِكَرَمِكَ وَجُوْدِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِينَنَا الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتي فِيهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاَة زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وأقم الصلاة
Footnote:
_________
([6]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (4/377-378).