Ayah
(Khutbah Jumat)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هدى مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عليهِ وَسلَّم، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله، فَقَد فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Sesungguhnya di antara kewajiban yang ditekankan oleh Allah ﷻ dengan penekanan yang tegas adalah berbakti kepada ayah. Sebagian orang hanya fokus untuk berbakti kepada Ibu, tentu ini hal yang sangat baik. Namun, yang jadi permasalahan adalah mereka lalai dan lupa untuk berbakti kepada Ayah. Padahal Nabi Muhammd ﷺ telah bersabda,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ
“Sesungguhnya engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”([1])
Dalam sebagian riwayatnya -dengan sanad yang lemah- disebutkan, Dari Jabir bin Abdillah ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبِي أَخَذَ مَالِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلرَّجُلِ: اذْهَبْ، فَائْتِنِي بِأَبِيكَ، فَنَزَلَ جِبْرِيلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ يُقْرِئُكَ السَّلَامَ، وَيَقُولُ: إِذَا جَاءَكَ الشَّيْخُ، فَسَلْهُ عَنْ شَيْءٍ قَالَهُ فِي نَفْسِهِ مَا سَمِعَتْهُ أُذُنَاهُ، فَلَمَّا جَاءَ الشَّيْخُ قَالَ لَهُ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا زَالَ ابْنُكَ يَشْكُوكَ أَنَّكَ تَأْخُذُ مَالَهُ؟ قَالَ: سَلْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ أُنْفِقُهُ إِلَّا عَلَى إِحْدَى عَمَّاتِهِ أَوْ خَالِاتِهِ أَوْ عَلَى نَفْسِي؟ فَقَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيهِ، دَعْنَا مِنْ هَذَا، أَخْبِرْنِي عَنْ شَيْءٍ قُلْتَهُ فِي نَفْسِكَ، مَا سَمِعَتْهُ أُذُنَاكَ، قَالَ الشَّيْخُ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَزَالُ اللَّهُ يُزِيدُنَا بِكَ يَقِينًا، قُلْتُ فِي نَفْسِي شَيْئًا مَا سَمِعَتْهُ أُذُنَايَ قَالَ: قُلْ، وَأَنَا أَسْمَعُ. قَالَ: قُلْتُ:
“Datang seseorang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkat, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya ayahku telah mengambil hartaku’. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, ‘Pergilah dan bawalah ayahmu kepadaku”. Maka turunlah Jibril kepada Nabi ﷺ lalu berkata ‘Sesungguhnya Allah mengirim salam kepadamu dan berkata: Jika ayahnya datang maka tanyakanlah kepadanya tentang sesuatu yang terbesit di hatinya namun belum didengar oleh kedua telinganya (karena belum terucapkan)’. Maka tatkala sang ayah -yang sudah tua- datang, maka Nabi ﷺ berkata kepadanya, ‘Anakmu terus mengeluhkan dirimu, engkau telah mengambil hartanya?’ Orang tua itu berkata, ‘Tanyakan kepadanya wahai Rasulullah, apakah aku menyalurkan hartanya tersebut untuk salah satu tantenya atau bibinya atau untuk diriku?’ Maka Nabi ﷺ berkata, ‘Lupakanlah hal itu, ceritakan kepadaku tentang sesuatu yang kau ucapkan dalam hatimu dan tidak didengar oleh kedua telingamu!’. Orang tua itu berkata, ‘Demi Allah wahai Rasulullah, Allah senantiasa menambahkan kepada kami keyakinan terhadap dirimu. Aku berkata dalam hatiku sesuatu yang belum didengar oleh kedua telingaku’. Nabi ﷺ berkata, ‘Ucapkanlah, dan aku akan mendengarnya!’ Orang itu berkata, ‘Aku berkata:
غَذَوْتُكَ مَوْلُودًا وَمِنْتُكَ يَافِعًا … تُعَلُّ بِمَا أَجْنِي عَلَيْكَ وَتَنْهَلُ
“Aku yang mengasuhmu ketika kau lahir, dan aku yang memeliharamu (memenuhi kebutuhanmu) ketika kau remaja. Semua jerih payahku engkau minum dan kau reguk sepuasmu.”
إِذَا لَيْلَةٌ ضَافَتْكَ بِالسُّقْمِ لَمْ أَبَتْ … لِسُقْمِكَ إِلَّا سَاهِرًا أَتَمَلْمَلُ
“Bila engkau sakit di malam hari, maka aku tidak bisa tidur lantaran sakit yang kau derita, aku resah dan gelisah tidak bisa tidur karena sedih dan kawatir…”
تَخَافُ الرَّدَى نَفْسِي عَلَيْكَ وَإِنَّهَا … لَتَعْلَمُ أَنَّ الْمَوْتَ وَقْتٌ مُؤَجَّلُ
“Aku mengkhawatirkan jiwamu disambar maut, padahal aku tahu bahwa kematian itu ada ajalnya.”
كَأَنِّي أَنَا الْمَطْرُوقُ دُونَكَ بِالَّذِي … طُرِقْتَ بِهِ دُونِي فَعَيْنَايَ تَهْمَلُ
“…seakan-akan akulah yang sedang sakit, bukan engkau yang sakit, maka kedua mataku tak kuasa mengalirkan air mata.”
فَلَمَّا بَلَغْتَ السِّنَّ وَالْغَايَةَ الَّتِي … إِلَيْهَا مَدَى مَا فِيكَ كُنْتُ أُؤَمَّلُ
“Tatkala engkau telah mencapai dewasa dan menggapai apa yang kau cita-citakan, yang dahulu itulah yang kuharapkan darimu…”
جَعَلْتَ جَزَائِي غِلْظَةً وَفَظَاظَةً … كَأَنَّكَ أَنْتَ الْمُنْعِمُ الْمُتَفَضِّلُ
“…engkau membalas budi baikku dengan sikap keras dan kata-kata kasar, seakan-akan engkaulah yang telah berjasa dan telah berbuat baik kepadaku.”
فَلَيْتَكَ إِذْ لَمْ تَرْعَ حَقَّ أُبُوَّتِي … كَمَا يَفْعَلُ الْجَارُ الْمُجَاوِرُ تَفْعَلُ
“Seandainya engkau tidak memedulikan hakku sebagai seorang ayah (anggaplah aku seperti tetanggamu), sikapilah aku sebagaimana seorang bersikap baik kepada tetangganya.”
فَـبَكَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَخَذَ بِتَـلْبِيْبِ ابْنِهِ، وَقَالَ: أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ
“Maka Rasulullah ﷺ menangis dan memegang kerah dada baju anaknya dan beliau berkata, ‘Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu’.”([2])
Ma’asyiral muslimin, sungguh agung hak seorang ayah. Haknya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Renungkanlah sabda Nabi Muhammad ﷺ,
“Engkau (yaitu diri dan jiwamu, tubuh dan ragamu) dan hartamu adalah milik ayahmu.”
Meski pujian setinggi langit, dan puisi indah yang terangkai, tetap tidak bisa membalas hak ayahmu yang begitu agung. Dialah sosok yang menjadi tumpuanmu tatkala engkau masih kecil dan tatkala engkau remaja. Ketika semua orang di sekelingmu meninggalkanmu dan tidak memedulikanmu, dialah fondasi dalam keluarga, dialah tanda ketenteraman dan keamanan dalam keluarga.
Ayah adalah cahaya di keluarga, kehadirannya selalu diharapkan, canda dan tawanya adalah penghias kehidupan, pelukannya dan kasih sayangnya pelita kehidupan. Memandangnya mendatangkan kebahagiaan, kepergiannya membawa kesedihan.
Ayahmu, dialah sosok yang telah berkorban untuk keluarga. Dialah yang telah berusaha terus membimbingmu tanpa lelah, dialah yang selalu mengharapkan kebaikanmu dengan penuh ketulusan.
Ayahmu, dialah yang selalu memberikan kepadamu tanpa pelit sama sekali, tanpa perhitungan kepadamu, yang penting engkau bisa tertawa, yang penting engkau bisa tersenyum. Ia mengorbankan waktunya hanya untukmu, ia mengorbankan dirinya untuk menebus kebahagiaanmu.
Dialah ayah, dialah ayah yang Rabbul ‘alamin telah mewasiatkanmu untuk berbakti kepadanya, untuk berbuat yang terbaik baginya.
﴿وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ﴾
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Wahai yang hendak meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang ingin meraih kenikmatan yang sempurna dan abadi, di hadapanmu ada pintu surga yang terbuka lebar, dialah ayahmu.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، فَاحْفَظْ عَلَى ذَلِكَ إِنْ شِئْتَ أَوْ دَعْهُ
“Ayah adalah pintu surga yang paling tengah, maka jagalah pintu tersebut jika kau mau, atau tinggalkan pintu tersebut.”([3])
Berbakti kepada ayah merupakan sebab diterimanya amal saleh. Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya,
﴿أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ﴾
“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan, dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka bersama penghuni-penghuni surga sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS Al-Ahqaf: 16)
Menjadikan ayah rida adalah sebab meraih keridaan Allah ﷻ, sebab menggapai surga, sebab menjauhkan kemurkaan Allah ﷻ. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
رِضَا الرَّبِّ فِيْ رِضَا الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِيْ سَخَطِ الْوَالِدِ
“Keridaan Allah berada pada keridaan ayah, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan ayah.”([4])
Wahai hamba Allah, renungkanlah kedudukan ayahmu, besarnya jasa ayahmu kepadamu. Ayahmu, engkau adalah setetes air maninya, engkau adalah belahan dirinya. Betapa banyak harapan yang ia harapkan darimu. Jangan kau tanya tentang besarnya kegembiraan atau tingginya kebahagiaan yang meliputinya tatkala ia dikabari bahwa ibumu hamil mengandungmu. Ia begitu gembira sementara engkau masih dalam perut ibumu, engkau masih belum keluar di dunia ini.
Semakin bertambah umurmu, semakin berlalu bulan demi bulan, maka semakin besar penantiannya menantimu, semakin sayang kepada ibumu karena engkau dalam kandungannya. Kerinduan semakin meliputinya menanti saat-saat kelahiranmu. Ia menghitung hari dan malam menanti pertemuan yang indah denganmu, betapa besar harapan yang ia gantungkan pada dirimu, betapa banyak angan-angan yang berputar di benaknya.
Tatkala tiba saat engkau akan keluar dari perut ibumu, tatkala ibumu menghadapi kesakitan luar biasa, ayahmu juga merasakan beratnya penderitaan ibumu. Ayahmu berdoa dengan penuh cemas dan kegelisahan agar Allah meringankan penderitaan ibumu, berdoa agar engkau keluar dengan selamat.
Hingga tatkala ia mendengar tangisanmu, teriakanmu, ia pun tak kuasa mengalirkan air mata kebahagiaan, ia terlalu terharu melihatmu, kasih sayang yang tiada tara kepadamu mengalir di lubuk hatinya. Ia begitu gembira melihatmu, wajahnya berseri-seri tatkala memandangmu. Jangan kau tanya tentang cintanya kepadamu, jangan kau tanya tentang sayangnya terhadap dirimu. Itulah hari bersejarah yang tidak akan terlupakan dalam ingatan ayahmu. Sejarah kebahagiaan pertemuan denganmu.
Kemudian terus bertambah hari, bertambah pula kasih sayangnya kepadamu, hingga jadilah engkau adalah nomor satu, prioritas utama dalam kehidupannya. Jadilah engkau yang dilayani di siang dan malamnya, pikirannya selalu bersamamu, hatinya selalu bersamamu, engkaulah yang selalu ia tanyakan.
Ia bergembira tatkala melihat senyumanmu, ia begitu gelisah dan resah jika engkau menangis apalagi sakit. Ia tidak ingin engkau tersakiti sedikit pun. Hatinya akan teriris-iris jika mendengar tangisan sakitmu. Malam-malam ia lalui dengan begadang karena gelisah memikirkanmu, betapa sering matanya tak kuasa menahan aliran air mata karena kawatir akan kesehatanmu.
Tatkala engkau semakin besar, pandangannya kepadamu semakin penuh harapan. Semua keinginanmu dipenuhi, cita-citamu selalu ia perjuangkan. Ia bahagia dengan bahagianya dirimu, dan ayahmu sedih jika engkau bersedih.
Betapa banyak air matamu yang terhapus dengan pelukannya. Betapa banyak kegelisahan dalam hatimu yang ia hilangkan dengan belaiannya. Ia bekerja untukmu tak kenal lelah, keringat bercucuran dari peluhnya tidak ia pedulikan.
Hingga tatkala engkau menjadi seorang pemuda, jadilah dirimu adalah kebanggaannya. Engkau diceritakan di sana dan di sini, ia gembira dengan keberhasilanmu, ia bahagia melihat derap langkah kakimu.
Tahun-tahun berlalu, inilah hasil perjuangannya mendidikmu selama ini. Jerih payahnya yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan demi memperjuangkan kebahagiaanmu.
Betapa banyak kesedihan yang ia lalui tatkala mendidikmu, di mana engkau dahulu membangkangnya. Betapa banyak gelas-gelas air mata pilu yang harus diminumnya ketika engkau nakal dan melawannya. Memang ia pernah memarahimu, tapi itu semua karena rasa sayang kepadamu. Mungkin ia pernah menjewermu dan membentakmu, akan tetapi semua itu karena kawatir akan dirimu.
Ia melawan kerasnya kehidupan, bertarung mencari nafkah, semuanya demi kebahagiaanmu, demi untuk melihat senyumanmu. Betapa sering engkau memintanya untuk membelikan sesuatu, sementara engkau tidak tahu kondisinya yang begitu berat sedang ia hadapi, namun ia tidak mengutarakannya kepadamu. Engkau tidak peduli dengan dirinya, akan tetapi ia begitu memedulikanmu. Baginya yang penting kebutuhan sekolahmu, kebutuhan kuliah dan pendidikanmu terpenuhi. Ia tidak peduli meski harus berutang, ia tidak peduli meski harus dimaki dan dihina orang, semua itu demi dirimu.
Betapa sering ia bangun di tengah gelapnya malam untuk mendoakanmu, sementara engkau tidak tahu, engkau sedang tidur pulas dalam impianmu. Betapa sering air matanya mengalir memohon kepada Yang Kuasa seraya ia berkata, “Ya Rabb, yang penting anakku menjadi anak yang berhasil, yang menggapai cita-citanya…”, sementara engkau tidak tahu.
Lihatlah, ia harus keluar di pagi hari untuk bekerja demi membahagiakanmu. Ia harus pulang di malam hari dan tidak sempat istirahat. Ia bersafar menempuh jarak yang begitu jauh, rintangan dan bahaya ia lalui tanpa mengenal lelah, semuanya agar engkau bisa tersenyum, karena ia tak kuasa jika melihatmu sedih dan menangis.
Ia membanting tulang untuk membangun rumah bagimu agar engkau bisa hidup nyaman, ia berkeluh keringat agar engkau bisa makan yang enak, ia menahan penderitaan
pekerjaan agar engkau bisa lulus dalam pendidikanmu. Itulah ayahmu, itulah ayahmu, itulah perjuangannya, itulah pengorbanannya.
Ia memberikan kepadamu segala sesuatu dan ia tidak meminta upah darimu. Ia berusaha semaksimal mungkin untukmu, sementara ia tidak pernah menanti darimu ucapan terima kasih. Ia telah berbuat banyak kebaikan untukmu, yang engkau tidak melihatnya.
Ia berbakti kepadamu dengan pengorbanan yang tidak akan pernah bisa engkau balas. Maka taatlah kepada Rabbul ‘alamin yang memerintahkanmu untuk taat kepada ayahmu, yang memerintahkanmu untuk berbakti kepadanya. Sungguh durhaka kepadanya adalah dosa besar. Menyakiti hati ayahmu adalah bencana bagimu, membuatnya marah atau menangis adalah malapetaka bagimu.
Allah ﷻ berfirman,
﴿وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (QS. Al-Isra’:23-24)
أَقٌولُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ وَخَطِيئَةٍ فَأَسْتَغْفِرُهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِه، وَأَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوَانِهِ، أَللَّهُمَّ صَلِى عَلَيهِ وعَلَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَإِخْوَانِهِ
Ma’asyiral muslimin, berbakti kepada ayah adalah wajib setiap saat dan di mana pun, akan tetapi semakin ditekankan tatkala ayah di masa tuanya, tatkala rambutnya telah memutih, tatkala jari-jarinya mulai gemetar, tatkala jalannya mulai tertatih-tatih, tatkala penyakit mulai meliputinya.
Masa kuatnya telah sirna, telah ia habiskan demi membahagiakanmu. Maka saatnya engkau menyambutnya dengan penuh kasih sayang, dengan penuh kerendahan. Ingat perintah Rabbmu,
﴿وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ﴾
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al-Isra’: 24)
Janganlah kau jalan di hadapannya, janganlah kau duduk sebelum ia duduk. Sambutlah ia dengan wajah senyum berseri-seri, isilah sisa umurnya dengan membahagiakannya. Berbanggalah dengan bisa melayaninya, cari-cari tahu kebutuhannya agar engkau bisa memenuhinya. Jaga perasaannya jangan sampai ia meminta kepadamu, tapi penuhilah sebelum ia memintanya.
Berikan kepadanya hadiah, doakan selalu dirinya, Senandungkanlah selalu doamu,
﴿رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا﴾
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra’: 24)
Ciumlah tangannya. Sadarilah bahwa itulah tangannya yang telah hilang kekuatannya karena bekerja demi kebahagiaanmu. Ciumlah keningnya, dan sadarilah bahwa itulah kening yang dahulu sering berkerut memikirkan keberhasilanmu. Pijit kedua kakinya yang telah hilang kekukuhannya di masa muda untuk bekerja memenuhi kebutuhanmu.
Sungguh ini kesempatanmu yang tidak akan pernah terulang. Demi Allah akan datang suatu masa engkau tidak lagi melihat ayahmu, pintu surga yang selama ini bisa kau buka telah diangkat oleh Allah.
Jika ayahmu telah tiada, maka engkau tidak bisa lagi memijitnya, engkau tidak bisa lagi memberi hadiah kepadanya, tidak bisa lagi membawakan makanan kesukaannya. Akan tetapi jangan pernah terputus doa darimu, itulah yang sangat ia harapkan dalam kuburannya. Berinfaklah, bersedekahlah, dan berwakaflah untuknya, niscaya pahalanya akan melapangkan sempitnya kuburannya, akan menyinari gelapnya kuburannya.
Berbuat baiklah kepada keluarga dekat ayah. Berbuat baik pula kepada sahabat-sahabat dekatnya.
اللَّهُمَّ اُرْزُقْنَا بِرَّ وَالِدِيْنَا أَحْياءً وَأَمْواتًا
“Ya Allah anugerahkan kepada kami berbakti kepada kedua orang tua kami, apakah mereka dalam kondisi hidup maupun telah tiada.”
اللَّهُمَّ اجْعَلْنا مِمَّنْ بِرَّ وَالِدَيْهِ أَحْيَانًا وَأَمْواتًا
“Ya Allah jadikanlah kami termasuk orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya baik tatkala kedua orang tua masih hidup atau setelah meninggal dunia.”
اللَّهُمَّ أَعِنْنَا عَلَى بِرِّ وَالِدِيْنَا أَحْياءً وَأَمْوَاتًا
“Ya Allah tolonglah kami untuk bisa berbakti kepada kedua orang tua kami, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah meninggal dunia.”
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِوالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا
“Ya Allah ampunilah dosa-dosa kedua orang tua kami dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah lelah mendidik kami ketika kami masih kecil.”
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْهِمْ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
“Ya Allah turunkanlah keridaanmu untuk mereka.”
اللَّهُمَّ أَسْكِنْهُمْ الفِرْدَوْسَ الأَعْلَى مِنَ الجَنَّةِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
“Ya Allah tempatkanlah kedua orang tua kami di surga Firdaus.”
(Disarikan oleh Firanda Andirja dari Khutbah Asy-Syaikh Hatlaan Ali Al-Hatlaan hafizahullah)
Footnote:
([1]) Disahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’ (3/323) No. 838 dengan banyak jalan-jalannya yang saling menguatkan.
([2]) HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (6/339) No. 6570, dan al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah (6/305).
([3]) HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim, dan Ibnu Hibban, dan disahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah No. 914.
([4]) HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan disahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah No. 516.