Berbakti Kepada Orang Tua
(Khutbah Jumat)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هدى مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عليهِ وَسلَّم، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله، فَقَد فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Bersungguh-sungguh mencari amalan yang terbaik adalah amalan para salaf. Mereka sangat paham bahwasanya umur mereka terbatas, dan kemampuan mereka untuk beramal saleh pun terbatas. Oleh karenanya, kita dapati dalam banyak hadis-hadis yang sahih, di mana para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang amalan-amalan yang terbaik.
Di antara para sahabat radhiallahu ‘anhum ada yang bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang iman apa yang paling utama, ada yang bertanya tentang amalan apa yang paling dicintai oleh Allah ﷻ, ada yang bertanya tentang manusia seperti apa yang paling utama, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang dilontarkan oleh para sahabat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak lain karena mereka para sahabat ingin mengerjakan amalan yang terbaik, agar mereka bisa meraih pahala sebanyak-banyaknya.
Ma’asyiral muslimin yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Di antara amalan terbaik yang pernah dijelaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah berbakti kepada orang tua. Dalam sebuah hadis disebutkan, tatkala ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang amalan yang paling dicintai oleh Allah ﷻ, maka Nabi Muhammad ﷺ menjawab,
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا، ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Salat pada waktunya, kemudian berbakti kepada kedua orang tua, kemudian jihad di jalan Allah.”([1])
Telah tampak jelas dalam hadis ini tentang bagaimana pentingnya berbakti kepada kedua orang tua, sampai-sampai Nabi Muhammad ﷺ mendahulukan penyebutan amalan berbakti kepada orang tua daripada jihad. Tentunya tidak ada di antara kita yang ragu tentang keutamaan jihad di jalan Allah ﷻ, akan tetapi birrul walidain ternyata lebih didahulukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Para hadirin, sidang jamaah Jumat yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ.
Dalam sebuah hadis disebutkan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسْتَأْذِنُهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Ada seseorang datang kepada Nabi ﷺ minta izin hendak ikut berjihad. Lalu Nabi ﷺ bertanya kepadanya, ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Jawab orang itu, ‘Masih’. Maka Nabi ﷺ berkata, ‘Pada keduanya, berjihadlah (dengan berbakti)’.”([2])
Ini merupakan isyarat dari Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya berbakti kepada orang tua butuh perjuangan dan pengorbanan sebagaimana jihad, dan tentunya berbakti kepada orang tua akan mendatangkan pahala yang sangat besar dari Allah ﷻ.
Sungguh terlalu banyak ayat di mana Allah ﷻ memerintahkan seseorang untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,
﴿وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا﴾
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaf: 15)
﴿وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ﴾
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14)
Kita yang telah memiliki anak tentu bisa melihat bagaimana istri kita dahulu tatkala mengandung. Kita tahu betul bagaimana kesulitan yang dia hadapi, istri kita sulit makan, sulit bergerak, merasakan sakit yang lebih daripada biasa. Semua yang dialami istri kita tatkala mengandung, itu pulalah yang dirasakan oleh ibu kita tatkala mengandung kita. Oleh karenanya, Allah ﷻ mengingatkan kepada kita tentang kesulitan yang ibu kita hadapi, tentang kelemahan yang bertambah-tambah.
Besarnya keutamaan berbakti kepada orang tua ini ditandai dengan firman Allah ﷻ yang menggandengkan antara hak Allah ﷻ dengan hak orang tua. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Orang yang mengerti bahasa Arab tentu akan paham bahwa kata إِحْسَانًا i’rabnya adalah maf’ul mutlak yang menunjukkan penekanan, sehingga seakan-akan Allah ﷻ mengatakan, “Bersungguh-sungguhlah kalian dalam berbakti kepada kedua orang tua kalian”.
Kemudian, Allah ﷻ sangat menuntut seseorang untuk berbakti kepada kedua ketika orang tuanya telah mencapai masa tuanya. Allah ﷻ berfirman,
﴿إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا﴾
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)
Orang tua kita ketika masih muda, dia tidak butuh dengan anak-anaknya, tidak butuh dengan bantuan anak-anaknya. Lebih daripada itu, sebagian orang tua ketika mencapai masa tuanya pun masih memiliki harga diri untuk tidak dibantu oleh anak-anaknya, bahkan kalau bisa dia terus mengurus anak-anaknya selama yang dia mampu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa orang tua kita benar-benar membutuhkan kita ketika mereka telah mencapai masa tuanya, ketika mereka sudah mulai bersikap kekanak-kanakan, ketika mereka sudah mulai pikun, ketika badan mereka sudah mulai melemah. Di saat-saat seperti itulah Allah ﷻ menuntut kita sebagai anak untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Para ulama juga telah menyebutkan bahwasanya ayat tersebut merupakan isyarat agar kita sebagai anaklah yang merawat orang tua kita di masa tua mereka. Jangan kita membiarkan orang tua kita dirawat oleh orang lain. Ingatlah bahwa mereka adalah pintu surga kita, maka apakah pantas pintu surga tersebut kita serahkan kepada orang lain? Meskipun orang itu adik atau kakak kita, hendaknya kita mendahulukan diri kita untuk bisa berbakti kepada orang tua kita. Oleh karenanya, sungguh aneh di zaman sekarang ini, ketika ada sepuluh orang anak tidak bisa mengayomi satu orang ibu, sampai-sampai mereka harus menitipkan orang tua mereka ke panti-panti jompo. Akhirnya, mereka menjadi anak yang durhaka kepada orang tuanya di masa orang tua sangat butuh kepada anak-anaknya.
Allah ﷻ berfirman,
﴿فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا﴾
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)
Para ulama mengatakan bahwa kalimat أُفٍّ adalah kata paling ringan dalam bahasa Arab yang menunjukkan kejengkelan, dan tidak ada kata yang lebih ringan daripada kata tersebut. Artinya, ketika seseorang mengurus orang tuanya di masa tua, lalu dia mendapati hal-hal yang tidak menyenangkan dari sikap orang tuanya, maka jangan sekali-kali dia menunjukkan kejengkelan terhadap mereka. Lebih daripada itu, jangan sekali-sekali dia sampai berani untuk membentak kedua orang tuanya, namun hendaknya dia berkata kepada mereka dengan perkataan yang baik, perkataan yang lemah lembut. Ingatlah, apabila seorang murid berusaha untuk merangkai kata-kata yang terbaik untuk disampaikan kepada gurunya, maka sungguh orang tuanya lebih berhak untuk dia bersikap demikian, karena jasa gurunya tidak sebesar jasa orang tuanya terhadapnya.
Allah ﷻ juga berfirman pada ayat selanjutnya,
﴿وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا﴾
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (QS. Al-Isra’: 24)
Jangan seseorang bangga dan sombong dengan kedudukannya, jangan merasa paling pintar dan paling hebat di hadapan orang tua, sehingga berani merendahkan orang tua. Akan tetapi, rendah dirilah di hadapan orang tuamu karena kasih sayang kepada mereka, dan berdoalah kepada Allah ﷻ agar Allah ﷻ mengasihi mereka berdua.
Ma’asyiral muslimin yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Sebagaimana kita ketahui bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah ﷻ, maka durhaka kepada mereka juga merupakan dosa yang sangat besar, yang sangat dibenci oleh Allah ﷻ. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِر؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, ‘Tentu Ya Rasulullah’. Nabi bersabda, ‘Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua’.”([3])
Barang siapa yang telah durhaka kepada orang tuanya, maka dia telah membuka pintu neraka jahanam dengan selebar-lebarnya. Maka dari itu, jangan sampai kita menyakiti hati orang tua kita dengan sikap sekecil apa pun.
Ketahuilah bahwa para salaf dahulu memandang apabila seorang anak memandang sinis orang tuanya, maka anak tersebut telah durhaka kepada orang tuanya, meskipun tidak ada kata-kata yang terucap, meskipun tidak ada tindakan yang berarti, karena pandangan sinis merupakan bentuk kejengkelan yang itu merupakan bentuk durhaka. Jika pandangan sinis saja sudah dikatakan sebagai bentuk durhaka kepada orang tua, maka bagaimana lagi dengan membentak orang tua? Bagaimana lagi dengan orang yang pelit kepada orang tuanya? Bagaimana lagi dengan orang yang tidak mau merawat orang tuanya? Maka yang demikian tentu merupakan bentuk durhaka yang jauh lebih besar daripada hanya sekadar pandangan sinis.
Ma’asyiral muslimin yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Allah ﷻ telah menyebutkan kepada kita bahwa di antara akhlak para nabi adalah berbakti kepada kedua orang tua mereka. Pada surah Maryam Allah ﷻ menyebutkan tiga orang nabi yang ketiga-tiganya berbakti kepada orang tua mereka.
Pertama adalah Nabi Yahya u. Allah ﷻ berfirman,
﴿يَايَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا، وَحَنَانًا مِّن لَّدُنَّا وَزَكَاةً، وَكَانَ تَقِيًّا وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُن جَبَّارًا عَصِيًّا﴾
“Wahai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 12-14)
Allah ﷻ menyebutkan dalam ayat ini bahwa sebab Nabi Yahya dikatakan seorang nabi yang bertakwa adalah karena dia berbakti kepada orang tuanya dan bukan seorang yang sombong dan durhaka.
Kedua adalah Nabi Isa u. Allah ﷻ berfirman,
﴿قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا، وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا، وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا﴾
“Berkata Isa, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 30-32)
Ketiga adalah Nabi Ibrahim u, yang beliau mendakwahi ayahnya yang musyrik dengan penuh kelembutan. Allah ﷻ berfirman tentang bagaimana kelembutan dan berbaktinya Nabi Ibrahim u kepada ayahnya,
﴿إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئًا، يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا، يَاأَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا، يَاأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا، قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ آلِهَتِي يَاإِبْرَاهِيمُ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا، قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا﴾
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; ‘Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan’. Ayahnya berkata, ‘Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama’. Ibrahim berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku’.” (QS. Maryam: 42-47)
Lihatlah, Nabi Ibrahim u memanggil ayahnya dengan panggilan yang terindah dalam bahasa Arab. Beliau menasihati dan mendakwahi ayahnya dengan kata-kata yang lembut, bukan dengan kata-kata yang kasar lagi merendahkan. Lebih daripada itu, ketika Nabi Ibrahim u mendapatkan penolakan dari ayahnya, beliau tetap bersikap lembut kepada ayahnya dengan mendoakan keselamatan dan ampunan untuk ayaknya, lalu pergi, meskipun kemudian Allah ﷻ menegur Nabi Ibrahim untuk tidak memintakan ampun bagi orang yang musyrik. Akan tetapi, ayat ini sangat jelas menggambarkan bagaimana sikap anak yang sangat luar biasa baktinya kepada orang tuanya.
أَقٌولُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ وَخَطِيئَةٍ فَأَسْتَغْفِرُهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِه، وَأَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوَانِهِ، أَللَّهُمَّ صَلِى عَلَيهِ وعَلَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَإِخْوَانِهِ
Ma’asyiral muslimin yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Sesungguhnya para salafusshaleh juga telah memberikan potret indah tentang bagaimana bakti mereka kepada orang tua mereka. Di antara kisah tersebut datang dari Ibnu ‘Aun al-Muzani, ketika ibunya memanggilnya, dia pun menjawab panggilan ibunya dengan cukup lantang, melebihi suara ibunya. Ternyata, sikapnya tersebut membuatnya merasa berdosa, sehingga dia pun kemudian pergi membebaskan dua orang budak untuk menebus dosanya karena telah mengangkat suara di atas suara ibunya.([4])
Subhanallah, kalau yang secara tidak sengaja meninggikan suara di atas suara ibunya dia sangat merasa berdosa, lantas bagaimana lagi dengan orang-orang yang secara sengaja mengangkat suara dan membentak orang tuanya, maka tidak diragukan bahwasanya dia telah membuka pintu neraka jahanam dengan sebesar-besarnya.
Di antara potret indah dari kalangan para salaf adalah kisah Uwais al-Qarni, yang sampai-sampai Nabi Muhammad ﷺ bersabda kepada Umar bin Khattab,
إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ، وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
“Sebaik-baik tabiin adalah seorang laki-laki yang dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan mintalah kepadanya agar memohonkan ampun untuk kalian.”([5])
Umar bin Khattab, khalifah yang kedua setelah Nabi Muhammad ﷺ, orang yang telah dijamin masuk surga, namun dia diminta oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk bertemu dengan Uwais al-Qarni dan meminta agar memohonkan ampunan baginya, karena doanya mustajab. Akhirnya, setiap kali Umar ada pasukan dari Yaman yang masuk ke kota Madinah, maka Umar bin Khattab selalu mengecek apakah dalam rombongan tersebut ada orang yang bernama Uwais al-Qarni. Ketika Umar bin Khattab menemui Uwais al-Qarni, maka kemudian Umar bin Khattab meminta kepada Uwais untuk dimintakan ampun oleh Allah ﷻ.
Keutamaan Uwais al-Qarni karena baktinya kepada ibunya dibenarkan oleh para ulama. Uwais al-Qarni benar-benar menjadi sebaik-baik tabiin sebagaimana yang Nabi Muhammad ﷺ sabdakan. Dia jauh lebih baik daripada Sa’id Ibnul Musayyib yang merupakan ulama dari kalangan tabiin, lebih baik daripada Hasan al-Bashri yang juga merupakan ulama di kalangan para tabiin. Uwais al-Qarni bukanlah orang yang masyhur, namun karena amalannya berupa bakti kepada ibunya, maka dia menjadi orang yang paling utama di kalangan para tabiin, sampai Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa dia adalah orang yang doanya dikabulkan oleh Allah ﷻ.
Di antara potret yang indah dari kalangan para salaf adalah Abu Hanifah ﷺ. Disebutkan bahwasanya dia berinfak setiap bulan untuk kedua orang tuanya sebanyak 20 dinar. Berbeda dengan sikap sebagian kita di zaman sekarang ini, seringnya kita sangat pelit kepada orang tua kita, padahal mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita. Sebagian dari kita rela untuk memberikan harta dengan beraneka ragamnya kepada istri dan anak-anaknya, namun ketika orang tuanya yang meminta, maka mereka memberikan sejuta alasan agar orang tuanya tidak mengambil hartanya. Sungguh jauh sekali antara sikap kita terhadap orang tua kita dengan sikap Abu Hanifah ﷺ terhadap orang tuanya.
Selain itu, Abu Hanifah juga merupakan orang yang sangat merendahkan dirinya di hadapan orang tuanya. Ibunya tahu bahwa dia adalah seorang ulama, akan tetapi setiap kali ibunya ingin bertanya sesuatu tentang agama, maka ibunya tidak bertanya kepadanya, akan tetapi dia meminta untuk diantarkan kepada majelis seorang dai atau seorang pemberi nasihat. Abu Hanifah pun dengan tenang mengantarkan ibunya untuk bertanya kepada orang yang ditunjuk oleh ibunya. Sungguh bakti yang sangat luar biasa, ilmu yang begitu banyak tidak menjadikan Abu Hanifah sombong di hadapan ibunya.([6])
Di antara potret salaf dalam berbakti kepada orang tua mereka juga adalah kisah Haiwah bin Syuraih, seorang ahli hadis. Suatu ketika, ibunya memanggilnya dengan suara yang cukup keras, seakan-akan ada yang darurat dari panggilan tersebut, sementara dia dalam majelis hadisnya yang dihadiri oleh banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru negeri. Namun, dia tetap berdiri dari majelisnya untuk memenuhi panggilan ibunya. Tahukah kalian dalam rangka apa ibunya memanggilnya? Ternyata, ibunya memanggilnya hanya untuk memberikan makan bagi ayam-ayamnya. Meskipun dia dipanggil hanya untuk memberi makan ayam, dia tetap berdiri dan meninggalkan majelis ilmunya. Subhanallah, Haiwah bin Syuraih tidak menolak panggilan ibunya sedikit pun.([7])
Di antara potret indah bakti seorang ulama terhadap ibunya adalah Manshur bin Mu’tamir. Dikisahkan bahwa Manshur bin Mu’tamir ditawarkan untuk menjadi seorang hakim di kotanya. Namun, kita tahu bahwa para salaf dahulu tidak ingin menjadi hakim karena takut salah dalam memutuskan suatu perkara, sehingga Manshur bin Mu’tamir pun menolaknya. Ketika ibunya mengetahui hal tersebut, ibunya pun marah dan berkata kepada Manshur dengan kasar dan keras, “Wahai Manshur, Ibnu Hubairah ingin mengangkatmu menjadi hakim lantas engkau enggan?” Mendengar hal tersebut, Manshur bin Mu’tamir pun langsung menundukkan pandangannya, meletakkan janggutnya di dadanya, dan dia tidak berani memandang ibunya.([8]) Lihatlah bagaimana tawadunya seorang ulama terhadap orang tuanya. Dia tidak memberikan komentar dalam rangka membantah ibunya, tapi dia diam dalam rangka menghormati ibunya.
Di antara kisah bakti seorang salaf juga adalah dari Ibnul Munkadir. Ibnul Munkadir mengatakan,
بِتُّ أَغْمِزُ رِجْلَ أُمِّي، وَبَاتَ عُمَرُ يُصَلِّي لَيْلَتَهُ، فَمَا سَرَّنِي لَيْلَتِي بِلَيْلَتِهِ
“Saya bermalam sambil memijit kaki ibu saya sementara Umar (saudara kandung beliau) bermalam sambil salat malam (semalam suntuk). Namun, saya tidak mau pahala saya ditukar dengan pahala saudaraku.”([9])
Lihatlah bagaimana fakihnya seorang ulama, dia tahu bahwasanya di antara amalan yang paling mulia adalah menyenangkan hati orang tua, sehingga dia memandang bahwa kondisi dia yang memijit kaki ibunya lebih utama daripada salat malam.
Di antara kisah yang lain adalah sebagaimana kisah Usamah bin Zaid. Muhammad bin Sirin mengisahkan, ketika di zaman Utsman bin Affan, harga kurma melonjak hingga mencapai harga seribu dirham. Usamah bin Zaid pun kemudian pergi menuju kebun kurmanya lalu menebang pohon kurmanya dan mengambil jummar (semacam jantung pohon), lalu ia kemudian memberikannya kepada ibunya. Orang-orang heran dan bertanya-tanya atas apa yang dia lakukan, karena kurma saat itu sedang tinggi-tingginya, sementara dia melakukan sesuatu yang membuat kurmanya tidak lagi bisa berbuah. Maka Usamah pun menjawab,
سَأَلَتْنِي أُمِّي، وَلَوْ سَأَلَتْنِي أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَعَلْتُ
“Sesungguhnya ibuku meminta kepadaku, dan jika dia meminta kepada saya lebih daripada itu, maka saya akan lakukan.”([10])
Di antara kisah yang juga membuat kita takjub adalah kisah Zainal Abidin. Beliau adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya di masa itu, namun orang-orang tidak pernah mendapati dia makan bersama ibunya. Ketika ditanyakan alasannya, Zainal Abidin menjawab,
أَخَافُ أَنْ تَسيرَ يَدِيْ إِلَى مَا قَدْ سَبَقَتْ عَيْنَهَا إِلَيْهِ فَأَكُونَ قَدْ عَقَقْتُهَا
“Aku khawatir tanganku mengambil makanan yang telah dahulu dilihat oleh ibuku, sehingga saya durhaka kepadanya.”([11])
Ma’asyiral muslimin, hadirin salat Jumat yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Tentu masih sangat banyak kisah-kisah menakjubkan tentang bagaimana para salaf sangat berbakti kepada orang tua mereka. Namun, inilah di antara potret para salah tentang bagaimana bakti mereka terhadap orang tua mereka. Mereka telah berlalu dengan amalan yang begitu luar biasa. Lantas bagaimana dengan kita?
Ketahuilah, barang siapa yang masih mendapati orang tuanya masih hidup, salah satu ataupun keduanya, maka ketahuilah bahwa Allah ﷻ telah membukakan baginya pintu kebaikan, yaitu dengan berbakti kepada orang tuanya. Maka barang siapa yang tidak memanfaatkan pintu kebaikan tersebut, maka sungguh dia akan celaka. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Sungguh celaka, celaka dan celaka yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya).”([12])
Demikianlah, ketika pintu surga telah dibuka selebar-lebarnya bagi seseorang, kemudian dia tidak memanfaatkan pintu tersebut untuk bisa masuk surga, maka sungguh dia akan celaka.
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita anak-anak yang berbakti kepada kedua orang tua kita.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتْ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا مَا قَدَّمْنا وَمَا أَخَّرْنَا وَمَا أَسْرَرْنَا وَمَا أَعْلَنَّا وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنَّا، أنْتَ الْمُقَدِّمُ، وَأنْتَ الْمُؤَخِّرُ لا إله إلاَّ أنْتَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لِوَالِدِيْنَ وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Footnote:
_______________
([4]) Lihat: Siyar A’lam an-Nubala’ (6/366).
([6]) Lihat: Tarikh Baghdad Wa Dzuyuluh (13/363).
([7]) Lihat: Birr al-Walidai Li ath-Thurthusy (hlm. 79), sebagaimana dinukil dalam ‘Audah al-Hijab (2/179).
([8]) Lihat: Hilyah al-Auliya’ (5/42).
([9]) Hilyah al-Auliya (3/150).
([10]) al-Birr Wa ash-Shilah, karya Ibnul Jauzi (hlm. 85), dan al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (5/307).