Amalan Tergantung Akhirnya
(Khutbah Jumat)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا، أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هدى مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عليهِ وَسلَّم، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى الله، فَقَد فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya, meriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung akhirnya.”([1])
Demikian juga diriwayatkan olah Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sungguh ada seseorang yang melakukan amalan-amalan penghuni neraka, namun dia adalah penghuni surga. Dan sungguh ada seseorang yang melakukan amalan-amalan penghuni surga, namun dia adalah penghuni neraka. Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung penutupnya.”([2])
Imam al-Bukhari radhiallahu ‘anhu juga meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا. فَتَبِعَهُ رَجُلٌ، فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ، فَاسْتَعْجَلَ المَوْتَ، فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ العَبْدَ لَيَعْمَلُ، فِيمَا يَرَى النَّاسُ، عَمَلَ أَهْلِ الجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ، عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا
“Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Maka seseorang mengikutinya, dan terus ia ikuti hingga prajurit tadi terluka dan ingin disegerakan kematiannya. Serta merta ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hujamkan hingga menembus di antara kedua lengannya. Selanjutnya Nabi ﷺ bersabda: “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka, sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga, sungguh amalan itu dihitung dengan penutupannya.”([3])
Para hadirin yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Hadis-hadis ini mengingatkan kepada kita agar tidak bangga dengan amalan-amalan kita. Hadis ini mengingatkan agar kita tidak bangga dengan tilawah Al-Qur’an kita, dengan sedekah kita, dengan salat kita, dan dengan amalan-amalan lainnya, karena kita tidak tahu bagaimana akhir kesudahan hidup kita. Allah ﷻ telah berfirman,
﴿إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)
Sebagian ahli tafsir mengatakan tentang ayat ini, bahwa seseorang tidak tahu bagaimana kondisi dia di tempat tersebut tatkala meninggal dunia, apakah dia mati dalam keadaan husnul khatimah atau su’ul khatimah.
Allah ﷻ menjadikan hal ini adalah perkara yang gaib. Tidak ada yang mengetahui tentang takdir seseorang apakah dia kelak menjadi penghuni surga atau penghuni neraka kecuali Allah ﷻ. Para ulama menyebutkan bahwa di antara hikmah Allah menjadikah hal tersebut sebagai hal gaib adalah agar seseorang tidak ujub dan bangga dengan amalan yang dia lakukan, karena dia tidak pernah tahu bagaimana keadaan akhir hayatnya.
Hikmah yang lain dari gaibnya hal ini adalah jika seseorang mengetahui bahwa dia telah ditetapkan sebagai penghuni surga, maka dia bisa menjadi sombong dan malas beramal. Adapun jika dia tahu bahwa dia adalah penghuni neraka, maka dia akan semakin kufur dan berbuat kezaliman, karena dia tahu bahwa beramal tidak ada gunanya. Akan tetapi, ketika hal ini ditutup oleh Allah ﷻ dan tidak ada yang mengetahui kecuali Dia, maka setiap hamba akan senantiasa berhati-hati dengan amal saleh yang dia lakukan.
Maka dari itu, hendaknya seorang hamba tidak ujub dan bangga, serta jangan merendahkan orang lain. Karena bisa saja pelaku maksiat yang dia lihat memiliki akhir kehidupan yang tidak buruk, karena bisa jadi dia bertaubat kepada Allah setelah itu, dan kemudian Allah menganugerahkan kepadanya husnul khatimah. Oleh karenanya, seorang salaf bernama Hafsh bin Humaid berkata kepada Ibnul Mubarak,
رَأَيْتُ رَجُلًا قَتَلَ رَجُلًا، فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنِّى أَفْضَلُ مِنْهُ. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: أَمْنُكَ عَلَى نَفْسِكَ أَشَدَّ مِنْ ذَنْبِهِ
“Aku melihat seorang laki-laki membunuh seorang laki-laki yang lain. Lantas terbetik dalam hatiku bahwasanya aku lebih baik dari pembunuh tersebut.” Ibnul Mubarak menjawab, ‘Engkau merasa aman terhadap dirimu itu lebih berat daripada dosa yang dia lakukan’.”([4])
Maksud dari perkataan Ibnul Mubarak adalah atas dasar apa Hafsh bin Humaid merasa bahwa dirinya lebih baik daripada pembunuh tersebut? Apakah Hafsh merasa bahwa dirinya akan masuk ke dalam surga dan pembunuh tersebut masuk ke dalam neraka jahanam? Sesungguhnya tidak ada seseorang yang tahu bagaimana akhir kehidupan Hafsh bin Humaid dan akhir hidup pembunuh tersebut. Bisa jadi Hafsh bin Humaid hidupnya ditutup dengan keburukan, dan bisa jadi pembunuh tersebut hidupnya ditutup dengan kebaikan.
Oleh karenanya, bagaimanapun seseorang beramal saleh, hendaknya dia bertakwa kepada Allah ﷻ dan menjaga amalnya, serta terus memohon kepada Allah ﷻ agar dianugerahkan oleh Allah-Nya husnul khatimah. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ، ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَيْهِ
“Dan jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, niscaya Allah membuatnya beramal sebelum meninggalnya”. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana Allah membuatnya beramal?’, Rasulullah berkata; “Yaitu dia diberi taufik untuk beramal saleh lalu dia meninggal dalam keadaan demikian.”([5])
أَقٌولُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ وَخَطِيئَةٍ فَأَسْتَغْفِرُهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِه، وَأَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوَانِهِ، أَللَّهُمَّ صَلِى عَلَيهِ وعَلَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَإِخْوَانِهِ
Hadirin yang dirahmati oleh Allah ﷻ.
Di antara perkara yang sangat mempengaruhi seseorang dalam meraih husnul khatimah atau su’ul khatimah adalah masalah keikhlasan. Oleh karenanya tatkala Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penduduk surga berdasarkan pandangan manusia, padahal dia adalah penduduk neraka. Dan ada seseorang yang mengamalkan amalan penduduk neraka berdasarkan pandangan manusia, padahal dia adalah penduduk surga.”([6])
Ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak ikhlas dalam beramal. Ada penyakit di dalam hatinya, baik itu berupa riya’, atau ingin dipuji dan disanjung, atau ingin dihormati, atau bangga dengan amalannya, atau merendahkan amalan orang lain. Ketahuilah bahwa itu semua dapat menjerumuskan seseorang dalam keadaan su’ul khatimah.
Oleh karenanya, seseorang hendaknya berusaha untuk senantiasa menjaga keikhlasan yang telah dia raih. Sungguh, meraih keikhlasan adalah perkara yang berat, dan menjaganya adalah hal yang lebih berat pula. Oleh karenanya Allah ﷻ memberikan kepada kita pelajaran dalam kisah para sahabat tatkala perang Uhud, yaitu ketika keikhlasan mereka goyah ditengah-tengah pertempuran. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Dan sungguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mengabaikan perintah Rasul setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu, tetapi Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang diberikan) kepada orang-orang mukmin.” (QS. Ali ‘Imran: 152)
Lihatlah, bagaimana para sahabat akhirnya turun dari pos pertahanan, mengabaikan perintah Rasulullah ﷺ karena tergiur dengan ganimah. Akan tetapi, kesalahan mereka telah diampuni oleh Allah ﷻ. Meskipun demikian, kesalahan para sahabat tentunya memberikan pelajaran kepada kita tentang sebuah keikhlasan. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata tatkala ayat ini diturunkan,
مَا كُنْتَ أَظُنُّ فِي أَصْحابِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ أَحَدًا يُرِيدُ الدُّنْيَا، حَتَّى قَالَ اللَّهُ مَا قَالَ
“Aku tidak pernah menyangka ada seorang sahabat Rasulullah ﷺ pada hari itu menghendaki dunia, sampai akhirnya Allah berfirman sebagaimana ayat tersebut.”([7])
Ketahuilah bahwa kisah ini adalah kisah para sahabat. Kalau di awal perjuangan mereka sudah sangat luar biasa, lalu di tengah perjalanan keikhlasan mereka goyang. Maka bagaimana lagi dengan kita? Maka dari itu seseorang jangan selalu bangga dan percaya diri. Hendaknya dia senantiasa mengoreksi hatinya, apakah dia selama ini ikhlas beramal karena Allah atau mengharapkan pujian dan pengakuan orang di sekitarnya. Maka barang siapa yang niatnya tidak benar, maka bisa jadi itu menjadi sebab akhir kehidupannya menjadi su’ul khatimah sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Berusahalah untuk ikhlas dan menjauhkan niat dari perkara-perkara dunia. Dan di antara perkara dunia itu adalah ingin harta, ingin dihormati, dipuji, dan perkara-perkara dunia yang lainnya. Ini semua adalah perusak keikhlasan dan di antara salah satu sebab seseorang mati dalam keadaan su’ul khatimah, na’udzubillah min dzalik.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَاقَاضِيَ الْحَاجَاتْ
اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِينِنَا الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِي فِيهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِي إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ فِيهِ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ
zرَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Footnote:
________________
([1]) HR. Ibnu Hibban No. 340.