Kisah Nabi Musa álaihis salam #4
Kisah Nabi Musa Mendakwahi Fir’aun
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Kemudian Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman,
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“Pergilah kepada Fir´aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.“ (QS. Taha: 24)
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun menjawab:
رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْسًا فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ، وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ
“Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku. Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya dari padaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai penolong yang akan membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku.” (QS. Al-Qashash: 33-34)
Fir’aun tersohor sebagai raja yang fasih berbicara dan provokator ulung. Nabi Musa ‘Alaihissalam khawatir jika dia mendatangi Fir’aun seorang diri, beliau ‘Alaihissalam akan terbata-bata dalam menyampaikan risalah Allah ﷻ. Nabi Musa ‘Alaihissalam pun meminta kepada Allah untuk mengutus Harun sebagai rasul bersamanya. Dalam ayat lain nabi Musa ‘Alaihissalam berdoa:
رَبِّ ٱشۡرَحۡ لِي صَدۡرِي وَيَسِّرۡ لِيٓ أَمۡرِي وَٱحۡلُلۡ عُقۡدَةٗ مِّن لِّسَانِي يَفۡقَهُواْ قَوۡلِي وَٱجۡعَل لِّي وَزِيرٗا مِّنۡ أَهۡلِي هَٰرُونَ أَخِي ٱشۡدُدۡ بِهِۦٓ أَزۡرِي وَأَشۡرِكۡهُ فِيٓ أَمۡرِي كَيۡ نُسَبِّحَكَ كَثِيرٗا وَنَذۡكُرَكَ كَثِيرًا إِنَّكَ كُنتَ بِنَا بَصِيرٗا
“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka dapat memahami perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengan dirinya, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku, agar kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami.”(Al-Qashash 25-35)
Allah ﷻ pun mengabulkan semua permohonan Musa ‘Alaihissalam di atas tanpa terkecuali. Allah ﷻ berfirman:
قَالَ قَدۡ أُوتِيتَ سُؤۡلَكَ يَٰمُوسَىٰ وَلَقَدۡ مَنَنَّا عَلَيۡكَ مَرَّةً أُخۡرَىٰٓ
“Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (QS. Al-Qashash 36)
Pertanyaannya adalah, mengapa Nabi Musa ‘Alaihissalam khawatir akan kekakuan lidahnya saat berbicara?
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa suatu ketika Musa ‘Alaihissalam pernah digendong oleh Fir’aun. Ketika dalam gendongannya, Musa ‘Alaihissalam pun memukul dan menarik janggutnya. Fir’aun lantas marah dan berkata kepada istrinya, “Wahai Istriku, lihatlah tingkah anak ini! Kecilnya saja sudah seperti ini, kalau sudah dewasa pasti ia akan membunuhku!”
Asiah pun menjawab, “Wahai Fir’aun, dia hanya anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Ujilah ia jika kamu tidak percaya.”
Fir’aun pun benar-benar menguji ketidakmengertian Musa ‘Alaihissalam saat itu dengan menyodorkan batu permata dan bara api padanya. Musa ‘Alaihissalam kecil pun lebih tertarik pada nyala bara api yang menarik, ia lalu mengambilnya dan memakannya, sehingga terbakarlah lidah beliau ‘Alaihissalam. Melihat itu, Fir’aun pun kembali tenang dan percaya bahwa Musa ‘Alaihissalam memang layaknya anak kecil seusianya yang belum mengerti apa-apa.([1])
Riwayat ini sangatlah populer, namun ia tidak pernah diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah ﷺ, dan kemungkinan besarnya sumber kisah ini adalah kabar Isra’iliyyat. Kesahihan kisah di atas juga patut diragukan, karena tidak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an keterangan bahwa beliau adalah seorang yang gagap dalam berbicara.
Pendapat yang lebih kuat, adalah bahwa kekakuan berbicara itu disebabkan karena ketakutannya menghadapi Fir’aun. Sebagaimana orang pada umumnya takut tatkala bertemu dengan orang berkedudukan, terkadang bicaranya menjadi terbata-bata lantaran rasa gerogi atau takut.
Perhatikanlah akhlak mulia yang dicontohkan oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam, yang patut dicamkan oleh setiap da’i. Nabi Musa ‘Alaihissalam tidak menjadikan Harun sebagai saingan, akan tetapi beliau ‘Alaihissalam menganggapnya sebagai rekan dakwah, merasa senang jika Harun membantunya dalam berdakwah, serta mengakui kekurangan diri beliau ‘Alaihissalam sembari menyebutkan kelebihan Harun yang dapat melengkapi kekurangan dirinya tersebut di hadapan Allah ﷻ. Demikianlah seharusnya akhlak yang diaplikasikan oleh seorang da’i terhadap da’i lainnya.
Allah ﷻ pun mengabulkan permintaan Musa ‘Alaihissalam. Allah ﷻ berfirman:
قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ وَنَجۡعَلُ لَكُمَا سُلۡطَٰنٗا فَلَا يَصِلُونَ إِلَيۡكُمَا بَِٔايَٰتِنَآۚ أَنتُمَا وَمَنِ ٱتَّبَعَكُمَا ٱلۡغَٰلِبُونَ
“Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang akan menang.” (QS. Al-Qashash:35)
Kemudian dalam surah Asy-Syu’ara Allah menggambarkan kisah pertemuan nabi Musa ‘Alaihissalam dengan Fir’aun. Pada surah ini akan tampak kepiawaian Fir’aun dalam berbicara dan mendebat. Nabi Musa ‘Alaihissalam memulai ucapannya dengan berkata:
إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَنْ أَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Sesungguhnya Kami adalah Rasul (utusan)Tuhan semesta alam. Lepaskanlah Bani Israil (untuk pergi) bersama kami.” (QS. Asy-Syu’ara: 16-17)
Fir’aun pun menjawab:
أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ
“Bukankah kami telah mengasuhmu semasa kecilmu sebagai (keluarga) kami, dan kamu tinggal bersama kami selama beberapa tahun dari umurmu?!” (QS. Asy-Syu’ara: 28)
Ini hal pertama yang diucapkan oleh Fir’aun untuk menjatuhkan dakwah nabi Musa ‘Alaihissalam. Kemudian Fir’aun melanjutkan,
وَفَعَلْتَ فَعْلَتَكَ الَّتِي فَعَلْتَ وَأَنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan kamu (Musa) telah melakukan perbuatan tersebut (membunuh). Kamu benar-benar orang yang tidak tahu berterima kasih!“ (QS. Asy-Syu’ara: 19)
Fir’aun langsung memberondong Musa ‘Alaihissalam dengan ucapan-ucapan yang dapat membungkan semangat dakwah seorang da’i biasa. Namun tidak dengan seorang nabi yang telah Allah ﷻ kuatkan hujahnya dan tenangkan hatinya.
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun menjawab dengan tenang:
قَالَ فَعَلْتُهَا إِذًا وَأَنَا مِنَ الضَّالِّينَ فَفَرَرْتُ مِنْكُمْ لَمَّا خِفْتُكُمْ فَوَهَبَ لِي رَبِّي حُكْمًا وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Memang benar, aku lah yang melakukannya, dan waktu itu aku benar-benar khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kalian lantaran takut kepada kalian, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia mengangkatku sebagai seorang rasul.” (QS. Asy-Syu’ara: 20-21)
Nabi Musa ‘Alaihissalam menjawab ucapan Fir’aun tersebut dengan mengakui kesalahannya, dan bahwa itu terjadi sebelum beliau ‘Alaihissalam diberi anugerah kerasulan oleh Allah ﷻ. Kemudian Nabi Musa ‘Alaihissalam berkata lagi:
وَتِلْكَ نِعْمَةٌ تَمُنُّهَا عَلَيَّ أَنْ عَبَّدْتَ بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.” (QS. Asy-Syu’ara: 22)
Seakan beliau ‘Alaihissalam mengatakan, “Bukankah itu semua disebabkan dirimu yang sejak awal telah menindas kaumku, Bani Israil?! Bukankah jika dirimu dan bala tentaramu tidak memburu bayi-bayi kami untuk dibunuh, niscaya aku tidak akan sampai ke istanamu?! Lalu, apalah nilainya perawatan yang kau berikan terhadapku seorang, jika dibandingkan dengan kekejaman dan siksaanmu terhadap Bani Israil selama bertahun-tahun?!” ([2])
Kedua bantahan ini sangatlah telak dan langsung mematahkan argumentasi yang diajukan oleh Fir’aun. Merasa kalah dengan bantahan Nabi Musa ‘Alaihissalam, Fir’aun pun beralih kepada metode lainnya untuk mengerdilkan mental lawan bicaranya, yaitu dengan mengolok-oloknya. Fir’aun menanyakan kepada Musa ‘Alaihissalam dengan remeh:
وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Apa sih Tuhan semesta alam itu?” (QS. Asy-Syu’ara: 23)
Penduduk asli Mesir bukanlah kaum yang tidak mengenal Tuhan. Baik suku Hyskos yang berkuasa pada zaman Nabi Yusuf AS, atau pun suku Qibthi yang kemudian menggulingkan suku Hyskos dan naik berkuasa, keduanya adalah suku yang mengenal Tuhan, dan Fir’aun adalah salah satu dari mereka. Ini tampak jelas sekali pada kisah Nabi Yusuf yang dibawakan dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang telah lalu penyebutannya. Layaknya kaum musyrikin di zaman Rasulullah ﷺ yang mengenal Allah ﷻ, demikian pula suku Hyskos dan suku Qibthi adalah musyrikin yang mengenal Allah ﷻ. Hanya saja, setelah naik takhta, Fir’aun benar-benar membuat kaum dan rakyatnya lupa dengan Tuhan. Padahal sebenarnya, baik Fir’aun maupun kaumnya meyakini Allah ﷻ dalam sanubari mereka. Allah ﷻ berfirman:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An-Naml: 14)
Lahir mereka mengingkari mukjizat Nabi Musa ‘Alaihissalam, namun hati mereka meyakini bahwasanya itu adalah kebenaran yang datang dari Allah ﷻ.
Nabi Musa ‘Alaihissalam juga berkata kepada Fir’aun:
لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
“Sesungguhnya kamu sebenarnya telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. (QS. Al-Isra’: 102)
Jadi pertanyaan Fir’aun di atas bukanlah pertanyaan yang muncul dari orang yang benar-benar hendak bertanya dan tidak tahu akan Allah ﷻ. Ia hanyalah pertanyaan sindiran yang muncul dari keangkuhan dan sikap keras kepala Fir’aun. Fir’aun bahkan tidaklah bertanya dengan ‘siapa’, melainkan dengan ‘apa’, untuk mengesankan bahwa ia benar-benar tidak tahu-menahu akan Tuhan.
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun menjawab pertanyaan Fir’aun dengan fakta yang tampak oleh mereka, yaitu:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ
“Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.” (QS. Asy-Syu’ara: 24)
Nabi Musa ‘Alaihissalam hendak membangkitkan fitrah yang telah ada pada diri mereka, akan wujud Tuhan. Apa pun keyakinan seseorang, pasti dia meyakini adanya Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Nabi Musa ‘Alaihissalam pun mengatakan, bahwa Tuhanku, adalah Tuhan yang menciptakan segala sesuatu, termasuk langit, bumi, dan segala isinya([3]).
Fir’aun tak mampu membantah jawaban Musa ‘Alaihissalam tersebut. Akhirnya ia mulai membuat gaduh dan memprovokasi kaumnya, layaknya kelakuan para pecundang dalam perdebatan. Ia berkata kepada kaumnya yang ketika itu hadir:
أَلَا تَسْتَمِعُونَ
“Apakah kalian tidak mendengarkan?” (QS. Asy-Syu’ara: 25)
Nabi Musa ‘Alaihissalam sama sekali tidak memperdulikan ocehan Fir’aun dan lanjut mengatakan:
رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ
“Tuhan kalian dan Tuhan nenek-nenek moyang kalian yang dahulu.” (QS. Asy-Syu’ara: 26)
Seakan beliau ‘Alaihissalam mengatakan: ‘Jika benar engkau adalah tuhan, wahai Fir’aun, lalu siapa yang menciptakan ayah dan nenek moyangmu dahulu sebelum engkau dilahirkan?!’
Fir’aun yang semakin tak berkutik pun kembali menebar provokasi dengan berkata:
إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ
“Sesungguhnya Rasul yang diutus kepada kalian ini benar-benar orang gila.” (QS. Asy-Syu’ara: 27)
Perhatikan bagaimana Nabi Musa ‘Alaihissalam terus melancarkan hujah dan dakwahnya, walau Fir’aun berkali-kali berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan, memprovokasi, serta memfitnah beliau ‘Alaihissalam. Demikianlah seharusnya sikap setiap da’i, kafilah tetap terus tegar berjalan, tanpa perlu menoleh pada banyaknya anjing yang menggonggong. Jangan habiskan banyak waktu untuk menanggapi tuduhan atau pun fitnah dari para musuh dakwah, melainkan fokuskanlah waktu dan tenaga anda untuk meneruskan roda dakwah ini. Rusa sebenarnya lebih cepat dari harimau, akan tetapi sering kali ia terterkam oleh harimau lantaran ia banyak menoleh ke belakang. Teruslah berdakwah, sebelum kesempatan itu tak lagi berada di tangan anda.
Nabi Musa kembali meneruskan perkataannya:
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhan kalian) jika kalian mempergunakan akal.” (QS. Asy-Syu’ara: 29)
Seakan Musa ‘Alaihissalam mengatakan: ‘Bagaimana mungkin ada Tuhan seperti Fir’aun?! Tidakkah kalian mempergunakan akal kalian?!’
Orang yang pertama kali mengetahui kedustaan Fir’aun dan bahwa Fir’aun bukanlah Tuhan adalah Fir’aun sendiri. Ia tahu pasti bahwa dahulu dia hanyalah seorang bayi yak berdaya yang merangkak, merasakan lapar, harus buang air, dan memiliki rasa takut. Bagaimana mungkin sesuatu yang demikian sifatnya adalah Tuhan?! Namun ia dengan angkuhnya membodoh-bodohi rakyatnya, hingga mereka mematuhinya.
Fir’aun semakin malu dan jengkel terhadap hujah-hujah yang dikemukakan oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam di hadapan rakyatnya. Kehabisan akal, Fir’aun pun mengancam Musa ‘Alaihissalam dengan ancaman fisik. Dengan murka ia berkata:
لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
“Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, aku benar-benar akan memenjarakanmu!!” (QS. Asy-Syu’ara:29)
Ancaman Fir’aun ini menuntaskan perdebatan ketika itu. Nabi Musa ‘Alaihissalam pun akan diseret menuju penjara. Namun Nabi Musa ‘Alaihissalam tidak putus asa dan tidak kehabisan akal, beliau pun memanfaatkan sifat Fir’aun yang selalu menjaga harga diri dan wibawa di hadapan rakyat dan pembesar-pembesarnya. Musa pun melakukan penawaran kepada Fir’aun dengan harapan dia akan berubah pikiran([4]). Nabi Musa ‘Alaihissalam berkata:
أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُبِينٍ
“Bagaimana kalau saya datangkan kepadamu suatu bukti yang nyata (bahwasanya saya adalah utusan Tuhan)?” (QS. Asy-Syu’ara: 30)
Fir’aun pun terpancing oleh rasa penasarannya dan berkata:
فَأْتِ بِهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu memang seorang yang jujur.” (QS. Asy-Syu’ara: 31)
Musa ‘Alaihissalam yang telah terlatih terkait mukjizat pada tongkatnya pun dengan mantap melemparkan tongkatnya tersebut di hadapan Fir’aun dan para pembesarnya. Allah ﷻ berfirman:
فَأَلْقَى عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُبِينٌ * وَنَزَعَ يَدَهُ فَإِذَا هِيَ بَيْضَاءُ لِلنَّاظِرِينَ
“Maka Musa pun melemparkan tongkatnya, lalu tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.” (QS. Asy-Syu’ara: 32-33)
Kedua mukjizat ini membuat seluruh hadirin amat takjub dan terkejut, padahal mereka selama ini akrab dengan berbagai jenis sihir. Mereka sadar bahwa tak pernah ada sihir yang selevel dengan keajaiban yang sedang mereka saksikan.
Namun Fir’aun tidak kehilangan akal untuk tetap berkelit. Ia pun berkata kepada para hadirin ketika itu:
إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ عَلِيمٌ
“Sesungguh-nya Musa ini benar-benar seorang penyihir ulung!” (QS. Asy-Syu’ara: 33)
Dalih Fir’aun ini sangatlah jitu. Ia hendak menurunkan kadar Nabi Musa ‘Alaihissalam, seakan dia mengatakan: ‘Ah, dia itu bukan apa-apa! Dia hanyalah penyihir ulung, layaknya penyihir-penyihir lainnya yang kita kenal.’
Tidak cukup sampai di situ, Fir’aun pun membumbui dalih cerdasnya itu dengan pernyataan yang memprovokasi para hadirin yang dipenuhi oleh para pemuka suku Qibthi. Ia mengatakan:
يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَكُمْ مِنْ أَرْضِكُمْ بِسِحْرِهِ فَمَاذَا تَأْمُرُونَ
“Dia hendak mengusir kalian dari tanah air kalian dengan sihirnya; maka apa yang kalian anjurkan (untuk kita perbuat terhadapnya)?” (QS. Asy-Syu’ara: 35)
Para pemuka suku Qibthi pun terpancing dan akhirnya mengusulkan agar digelar duel akbar antara Nabi Musa ‘Alaihissalam melawan para penyihir negeri Mesir([5]). Mereka mengatakan:
أَرْجِهْ وَأَخَاهُ وَابْعَثْ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ يَأْتُوكَ بِكُلِّ سَحَّارٍ عَلِيمٍ
“Tundalah (keputusan untuk) dia dan saudaranya, dan kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (para penyihir). Niscaya mereka akan mendatangkan semua penyihir yang ulung kepadamu.” (Qs Asy-Syu’ara: 36-37)
Seandainya para pemuka suku Qibthi mengusulkan untuk langsung mengeksekusi Musa dan Harun, tentu itu akan jauh lebih mudah bagi Fir’aun dan akan segera ia laksanakan. Namun Allah ﷻ menakdirkan ternyata mereka malah meminta Musa untuk berduel dengan para penyihir di Negeri Mesir. Fir’aun pun tidak punya pilihan lain selain menyetujui usulan tersebut, dan menentukan waktu dan tempat penyelenggaraan duel tersebut.
Footnote:
______
([1]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 18/ 299 dan tafsir Al-Qurthubiy: 13/ 254.
([2]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 6/138
([3]) Lihat: Dar-u Ta’aarudhi An-Naqli Wal ‘Aqli 8/39