Kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam #8
Nabi Musa Menuju Palestina dan Menemui Allah di Bukit Thursina
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun melanjutkan perjalanan meninggalkan Mesir menuju Palestina bersama Bani Israil. Allah ﷻ berfirman,
وَجَٰوَزۡنَا بِبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡاْ عَلَىٰ قَوۡمٖ يَعۡكُفُونَ عَلَىٰٓ أَصۡنَامٖ لَّهُمۡۚ قَالُواْ يَٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهٗا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٞۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٞ تَجۡهَلُونَ إِنَّ هَٰٓؤُلَآءِ مُتَبَّرٞ مَّا هُمۡ فِيهِ وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ قَالَ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡغِيكُمۡ إِلَٰهٗا وَهُوَ فَضَّلَكُمۡ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, lalu mereka melewati suatu kaum yang sedang menyembah berhala. Bani lsrail pun berkata:
‘Hai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’
Musa pun menjawab: ‘Sesungguh-nya kalian ini benar-benar kaum yang jahil! Sesungguhnya kepercayaan mereka itu akan binasa, dan akan batal segala amal perbuatan mereka. Patutkah aku mencari Tuhan selain Allah untuk kalian, sementara Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat (di masa kalian)?!’” (Q.S. Al-A’raf: 138-140)
Perhatikan betapa buruknya akhlak Bani Israil[1] kepada Allah ﷻ dan kepada nabi mereka! Sudah sekian banyak mukjizat yang mereka saksikan dengan mata-kepala sendiri, sudah sekian kali Allah ﷻ menyelamatkan nyawa mereka dari kebengisan Fir’aun dan bala tentaranya, namun tetap saja, semua itu mereka lupakan ketika melihat sekelompok kaum yang sedang khusyuk beribadah kepada berhala. Dan bukan hanya lupa, mereka malah meminta kepada Musa ‘Alaihissalam untuk menjadikan sebuah berhala pula untuk mereka! Subhaanallah!
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun memvonis mereka sebagai kaum yang jahil, yakni tidak mengetahui dengan sebenar-benarnya keagungan serta hak Allah ﷻ atas mereka.
Para ulama menjelaskan bahwa permintaan Bani Israil ini adalah efek penindasan dan penjajahan ratusan tahun lamanya suku Qibthi atas mereka. Interaksi yang intens dan penuh dengan penindasan mental selama bertahun-tahun inilah yang membuat pengaruh agama dan budaya suku Qibthi masih terngiang di benak mereka, oleh karenanya muncullah ucapan spontan ini dari mulut sebagian mereka([2]).
Hal serupa juga terjadi di negeri ini. Budaya dan tata cara beragama Hindu masih membekas pada sebagian kaum muslimin, sehingga kemudian mempengaruhi tata cara ibadah dan dakwah mereka. Bahkan, ada seorang Hindu menulis buku berjudul ‘Adat Istiadat Hindu Yang Masih Berlaku Dalam Tradisi Umat Islam’.
Selanjutnya, Allah ﷻ berfirman:
وَواعَدْنا مُوسى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقالَ مُوسى لِأَخِيهِ هارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين
“Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam.” (QS. Al-A’raf: 142)
Allah ﷻ memerintahkan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk bertemu denganNya di bukit Thursina. Nabi Musa ‘Alaihissalam pun mempersiapkan diri dengan berpuasa selama tiga puluh hari, kemudian pergi ke bukit Thursina. Allah ﷻ pun mempertanyakan alasan Nabi Musa ‘Alaihissalam yang hanya mencukupkan puasanya selama 30 hari. Beliau ‘Alaihissalam pun menjelaskan karena ingin mengubah aroma bau mulutnya. Lalu, Allah ﷻ mengingatkan beliau ‘Alaihissalam tentang keistimewaan aroma bau mulut orang yang berpuasa yang lebih baik dari pada bau minyak kasturi, seraya memerintahkan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk kembali pulang dan berpuasa selama sepuluh hari lagi. Akhirnya, Nabi Musa ‘Alaihissalam kembali dan berpuasa selama sepuluh hari lagi([3]). Allahﷻ berfirman:
وَأَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS. Al-A’raf: 142)
Setelah genap 40 hari, Nabi Musa ‘Alaihissalam pun beranjak pergi menuju tempat pertemuan dengan Allah ﷻ, dan menitipkan Bani Israil kepada saudaranya, Nabi Harun AS. Allah ﷻ berfirman:
وَقالَ مُوسى لِأَخِيهِ هارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين
“Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, ‘Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.’” (QS. Al-A’raf: 142)
Nabi Musa ‘Alaihissalam adalah rasul utama, sedangkan Nabi Harun AS adalah rekan dakwah sekaligus pengikut beliau ‘Alaihissalam. Ayat ini mengisyaratkan akan buruknya akhlak dan perilaku Bani Israil, hingga Nabi Musa ‘Alaihissalam sampai berpesan demikian secara khusus kepada saudaranya sebelum meninggalkan mereka([4]).
Perhatikan bagaimana Nabi Harun AS tidaklah merasa tersinggung oleh nasehat dan wasiat Nabi Musa ‘Alaihissalam kepadanya. Demikianlah seharusnya sikap seorang mukmin, yang dadanya selalu lapang menerima nasehat dan wasiat kebaikan dari selainnya, walau dirinya adalah seorang yang salih sekalipun.
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman,
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُرۡ إِلَيۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِي وَلَٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوۡفَ تَرَىٰنِيۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكّٗا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقٗاۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَٰنَكَ تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ، قَالَ يَٰمُوسَىٰٓ إِنِّي ٱصۡطَفَيۡتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ بِرِسَٰلَٰتِي وَبِكَلَٰمِي فَخُذۡ مَآ ءَاتَيۡتُكَ وَكُن مِّنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ، وَكَتَبۡنَا لَهُۥ فِي ٱلۡأَلۡوَاحِ مِن كُلِّ شَيۡءٖ مَّوۡعِظَةٗ وَتَفۡصِيلٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ فَخُذۡهَا بِقُوَّةٖ وَأۡمُرۡ قَوۡمَكَ يَأۡخُذُواْ بِأَحۡسَنِهَاۚ سَأُوْرِيكُمۡ دَارَ ٱلۡفَٰسِقِينَ،
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihatMu.’
Tuhan pun berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (di dunia). Akan tetapi, lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu.’
Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah siuman, Musa pun berkata: ‘Maha Suci Engkau! Aku bertaubat kepada Engkau, dan aku orang yang pertama-tama beriman.’
Allah pun berfirman: ‘Hai Musa! Sesungguhnya Aku telah mengistimewakan dirimu atas manusia lainnya (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku. Sebab itu, berpegang-teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.’
Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu, sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): ‘Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya. Akan kuperlihatkan kepada kalian negeri orang-orang yang fasik.’” (QS. Al-A’raf 143-145)
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya.” (QS. Al-A’raf: 143)
Pada momen ini, Nabi Musa ‘Alaihissalam kembali berbicara langsung dengan Allah ﷻ.
Ahli Kitab menyebutkan bahwasanya ketika itu, Allah ﷻ memberikan kepada Musa ‘Alaihissalam sepuluh perintah Tuhan yang biasa mereka sebut sebagai The Ten Amandement. Di antara kandungannya adalah larangan mencuri, berzina, mencintai istri teman, dan petuah lainnya yang mirip dengan yang termuat dalam Al-Quran.
Pada momen itu, Nabi Musa ‘Alaihissalam merasakan kerinduan yang amat sangat untuk bertemu dengan Allah ﷻ, yang selama ini telah menyertai, menjaga, serta membimbing langkah demi langkah kehidupannya, sehingga beliau ‘Alaihissalam pun memohon untuk dapat melihatNya ﷻ. Beliau ‘Alaihissalam ketika itu belum mengetahui bahwa permintaan beliau ‘Alaihissalam tersebut mustahil terealisasikan di kehidupan dunia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ
“Ketahuilah bahwa kalian tidak akan mampu melihat Rabb ﷻ kalian, hingga ia meninggal dunia.” ([5])
Allah ﷻ pun memperjelas kemustahilan tersebut kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam, dengan menampakkan diri-Nya kepada gunung, yang seketika hancur luluh ketika itu. Musa ‘Alaihissalam pun amat terkejut melihatnya, hingga beliau ‘Alaihissalam pun pingsan[6].
Rasulullah ﷺ bersabda:
حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ([7]) وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
“(Sesungguhnya) penghalang Allah adalah cahaya. Jika Allah menyingkap hijab tersebut, niscaya cahaya wajah Allah akan membakar semua makhluk yang dilihat Allah.” ([8])
Abu Dzar RA pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, apakah beliau ﷺ melihat Allah ﷻ saat peristiwa Isra’ ke langit ketujuh? Beliau ﷺ pun menjawab:
نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ!
“Ada cahaya yang menghalangi, bagaimana mungkin aku bisa melihatNya?!” ([9])
Footnote:
________
[1] Ibnu Katsir RH mengatakan bahwa ucapan ini terlontar dari kalangan yang jahil di antara Bani Israil, bukan dari keseluruhan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada ayat ini)
([2]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 9/80-81
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 7/275
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 7/277
[6] Terkait pingsannya Nabi Musa AS pada momen ini, terdapat sebuah hadis yang penting untuk kita ketahui, yang mengajarkan kepada kita adab terhadap para nabi dan rasul Allah SWT.
Dikisahkan bahwa di zaman Rasulullah SAW seorang Yahudi pernah bersumpah:
“Demi Dzat yang telah mengistimewakan Nabi Musa AS atas alam semesta.”
Seorang muslim yang mendengarnya pun tersinggung dan membantah Yahudi tersebut dengan mengatakan bahwa Muhammad SAW lah yang lebih mulia.
Mengetahui kejadian tersebut, Rasulullah SAW pun bersabda:
لَا تُخَيِّرُونِي مِنْ بَيْنِ الأَنْبِيَاءِ فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُفِيقُ، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ العَرْشِ، فَلَا أَدْرِي أَفَاقَ قَبْلِي، أَمْ جُوزِيَ بِصَعْقَةِ الطُّور
“Janganlah kalian mengatakan Aku lebih baik dari pada nabi-nabi lainnya. Sesungguhnya pada hari kiamat kelak, semua manusia akan dibuat pingsan oleh Allah dan Aku adalah orang yang pertama kali akan sadar. Tiba-tiba Aku melihat Musa sedang berpegangan pada ‘Arsy Allah. Aku tidak tahu, apakah dia lebih dahulu sadar dari pada aku, atau malah ia sama sekali tidak dipingsankan (oleh Allah), karena dahulu dia sudah pernah pingsan di dunia, yakni di bukit Thur.” (H.R. Bukhari no. 6917)
Memang benar bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi dan rasul yang paling mulia, namun bukan berarti hal itu kemudian menjadi ajang perdebatan dan keributan dengan orang lain. Seluruh nabi dan rasul adalah hamba-hamba Allah SWT yang paling mulia, dan masing-masing mereka memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh selainnya. Tidak pantas kemudian seorang muslim meributkan siapa yang paling mulia di antara mereka, dan tidak pula ada faidahnya. Terlebih jika malah membuatnya merendahkan nabi lainnya, ia malah terjatuh dalam dosa besar.
([7]) Yang di maksud سُبُحَاتُ وَجْهِهِ adalah cahaya, kebesaran dan keagungan Allah. (Lihat: Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 3/14)