Kisah Nabi Musa álaihis salam #1
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Para ulama sepakat bahwa rentang waktu antara zaman Nabi Yusuf dan Nabi Musa sangatlah panjang, walau mereka berbeda pendapat dalam menentukannya. Ada yang mengatakan 1 abad, dan ada juga yang mengatakan 4 abad. ([1])
Suku Hexos yang menguasai Mesir di zaman Nabi Yusuf akhirnya ditaklukkan oleh suku Qibthi, akibat gejolak dan kekacauan yang menggerogoti kedaulatan suku Hexos. Pemimpin orang-orang Qibthi inilah yang digelari dengan Fir’aun.
Sepeninggal Nabi Yusuf dan pasca tergulingnya kedaulatan Hexos, Bani Israil pun mulai terintimidasi. Mereka diperbudak oleh suku Qibthi, yakni Fir’aun dan bala tentaranya, hingga zaman kenabian Musa ‘Alaihissalam.
Kita akan menitikberatkan pembahasan kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam pada kisah yang tertera pada surat Al-Qashash. Allah ﷻ berfirman,
طسم، تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ *نَتْلُو عَلَيْكَ مِنْ نَبَإِ مُوسَى وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Thaa Siin Miim. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah). Kami membacakan kepadamu (Muhammad) sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Qashash: 1)
Allah ﷻ menegaskan bahwa hanya orang-orang beriman dan mau mentadaburi lah yang dapat mengambil faedah dari kisah nabi Musa ‘Alaihissalam.
Kemudian Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan memecah-belah penduduknya, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 4)
Ketika itu, Mesir dihuni oleh dua suku besar, yaitu Qibthi yang merupakan suku pribumi dan Bani Israil yang merupakan suku pendatang. Telah kita ketahui bersama pada kisah Nabi Yusuf, siapa itu Bani Israil, dan bagaimana bisa mereka akhirnya berpindah dari tanah air mereka di Palestina, dan akhirnya menetap di Mesir.
Fir’aun yang memimpin suku Qibthi dan menguasai Mesir di zaman Nabi Musa, adalah seorang yang sangat kafir nan angkuh. Ia bahkan dengan lancangnya mengatakan kepada rakyatnya:
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)
Fir’aun dan bala tentaranya memperbudak dan menindas Bani Israil dengan berbagai macam siksaan dan penghinaan. Salah satu bentuk penganiayaan tersebut adalah, ia memerintahkan para petugasnya untuk menangkapi anak laki-laki yang lahir dari kalangan Bani Israil, lalu membunuh mereka. Perintah ini didasari ramalan para dukun Fir’aun, yang mengatakan bahwa kelak akan lahir dari Bani Israil seorang penakluk yang akan menggulingkan Fir’aun dari singgasananya.
Dikisahkan bahwa perburuan bayi laki-laki ini sangatlah gencar, bahkan mereka menunggui persalinan setiap wanita Bani Israil yang hendak melahirkan, untuk memastikan jenis kelamin bayinya, lalu langsung membunuhnya jika ia seorang bayi laki-laki, dan membiarkannya hidup jika ia seorang bayi perempuan ([2])
Allah ﷻ mentakdirkan bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam akan terlahir setelah perburuan ini mulai digencarkan, sementara saudara kandungnya, Harun AS, telah dilahirkan sebelum adanya perburuan ini.([3])
Akan tetapi Allah tidak ingin mengazab Fir’aun dengan seketika, padahal sangat mudah bagi Allah untuk membunuh Fir’aun dengan sekejap jika dikehendaki. Allah membiarkan Fir’aun dalam jangka waktu yang cukup lama agar kemudian nabi Musa menggulingkan tahtanya. Allah menginginkan untuk mengazab Fir’aun dengan cara-Nya yaitu dengan membiarkannya hidup dengan tenang dahulu, dan jika tiba masanya maka akan dihancurkan. Oleh karenanya para ulama menyebutkan bahwa Bashar Al Assad dengan kekejamannya sekian lama, Allah kelak akan menghancurkannya dengan izin-Nya, akan tetapi tidak seketika melainkan Allah akan buat dia tersiksa dengan runtuhnya kepemimpinannya sedikit demi sedikit sebagaimana kisah Fir’aun.
Allah ﷻ kemudian berfirman:
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ * وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَنُرِيَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُمْ مَا كَانُوا يَحْذَرُونَ
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Israil) di bumi (Mesir) itu, menjadikan mereka pemimpin, serta menjadikan mereka orang-orang yang akan mewarisi (bumi). Kami akan teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (QS. Al-Qashash: 5-6)
Allah ﷻ hendak memperlihatkan kepada Fir’aun ketakutan dan kekhawatirannya selama ini, yakni runtuhnya singgasana dan kekuasaannya atas Mesir oleh salah seorang putra Bani Israil.
Kemudian Allah ﷻ berfirman:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ، فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya atau bersedih hati tentangnya, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan mengangkatnya sebagai rasul.
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun, yang akibatnya dia (Musa) akan menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun, Haman, beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.“ (QS. Al-Qashash: 7-8)
Keranjang yang berisi bayi Musa pun terus hanyut di sungai Nil, lolos dari pencarian ketat para petugas kerajaan, hingga melewati istana Fir’aun. Asiah, istri Fir’aun yang salihah, yang ketika itu berada di sekitar sungai Nil, melihat keranjang yang dihuni oleh Musa kecil ketika itu. Subhaanallah, seketika Allah ﷻ tumbuhkan pada hati wanita salihah ini rasa cinta yang amat sangat kepada bayi di keranjang tersebut. Ia pun bersegera memerintahkan agar keranjang tersebut diambil dari sungai, lalu ia pun membawa Musa kecil kepada sang suami, Fir’aun.
Sampailah Musa kecil di hadapan Fir’aun. Setelah memperhatikan bayi tersebut, Fir’aun langsung mengetahui[4] bahwa ia adalah bayi Bani Israil. Fir’aun pun bertekad untuk mengeksekusi Musa kecil.
Mengetahui hal itu, sang istri pun memohon kepada Fir’aun agar ia tidak mengeksekusi bayi tersebut. Allah ﷻ berfirman:
وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan berkatalah isteri Fir´aun: ‘(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan kelak ia akan bermanfaat bagi kita atau kita dapat mengangkatnya sebagai anak’, sedangkan mereka tiada menyadari.” (QS. Al-Qashash: 9)
Asiah adalah wanita yang mandul, sehingga Fir’aun memaklumi besarnya keinginan istri tercintanya tersebut untuk memiliki anak. Fir’aun yang angkuh nan sombong pun luluh dengan rayuan Asiah, dan akhirnya mengizinkan Musa kecil untuk tetap hidup di istana, sebagai putranya sendiri. Subhaanallah, singa yang ia buru setiap hari, yang akan meruntuhkan singgasana keangkuhannya, akhirnya ia yang tanpa sadar mengasuhnya di rumahnya sendiri.
Kemudian Allah ﷻ berfirman,
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَى فَارِغًا إِنْ كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلَا أَنْ رَبَطْنَا عَلَى قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan menjadi hampalah hati ibu Musa. Hampir saja ia benar-benar membeberkan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).” (QS. Al-Qashash: 10)
Ibu Nabi Musa ‘Alaihissalam tahu bahwa anaknya berada dalam perawatan Fir’aun, akan tetapi kesedihan yang melanda ibu Nabi Musa ‘Alaihissalam hampir membuatnya mengakui bahwa itu adalah anaknya. Allah pun mengokohkan hatinya agar keyakinannya akan janji Allah semakin tebal, bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam pasti akan kembali ke pangkuannya dan menjadikan Nabi Musa ‘Alaihissalam sebagai seoral rasul ([5]). Kemudian sang ibu berpesan kepada saudari Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk menguntit Nabi Musa ‘Alaihissalam. Allah ﷻ berfirman:
وَقَالَتْ لِأُخْتِهِ قُصِّيهِ فَبَصُرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ‘Ikutilah dia!’ Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak menyadarinya.“ (QS. Al-Qashash: 11)
Kemudian Allah ﷻ berfirman,
وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ
“Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudari Musa: ‘Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu keluarga yang akan memeliharanya untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?’“(QS Al- Qashash: ayat 12)
Lambat laun, Allah ﷻ pun menumbuhkan kecintaan kepada Musa pada hati Fir’aun([6]), sebagaimana Ia ﷻ telah menanamkannya sejak awal pada hati istrinya. Musa kecil, layaknya bayi-bayi lainnya, butuh untuk menyusu. Namun anehnya, Musa kecil tidak mau menyusu kepada wanita mana pun ketika itu. Ia terus saja menangis, dan Fir’aun dan Asiah pun kebingungan, hingga datanglah sauudari Musa yang mengusulkan agar Fir’aun menyewa sebuah keluarga untuk merawatnya. Saudari Musa menjamin bahwa keluarga tersebut akan mampu menyusui dan merawat Musa kecil dengan baik. Fir’aun sama sekali tidak menyadari, bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kandung Musa sendiri, subhaanallaah.([7])
Allah ﷻ berfirman:
فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Qashash: 13)
Lihatlah bagaimana hikmah yang Allah lekatkan pada setiap kejadian, yang tersamarkan bagi hamba-hambaNya. Ibu Nabi Musa ‘Alaihissalam melaksanakan perintah yang amat berat baginya, yaitu menghanyutkan putra tercintanya yang baru saja lahir di sungai Nil yang deras. Ibu mana yang akan kuat hatinya untuk melakukan hal itu? Namun beliau percaya akan janji Allah ﷻ, Dzat Yang Mahakuasa nan Maha Bijaksana. Akhirnya Allah ﷻ mempertemukannya kembali dengan putra tercintanya, sebagai pekerja terhormat di istana Fir’aun, setelah sebelumnya ia hanya hidup di perkampungan Bani Israil yang tertindas. Subhaanallah! Akhirnya ibu Musa ‘Alaihissalam merasakan kebahagiaan yang berlipat ganda.
Kemudian Allah Subhanhu wa ta’ala berfirman,
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Qashash: 14)
Nabi Musa ‘Alaihissalam tumbuh di kerajaan Fir’aun sebagai anak yang cemerlang nan kuat. Ia dikenal sebagai putra angkatnya Fir’aun yang hebat.
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Musa ‘Alaihissalam diangkat sebagai nabi di saat telah sempurna akal dan kedewasaannya. Kondisi ini biasa dicapai oleh orang yang telah berumur 40 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam hidup bersama Fir’aun selama kurang lebih 40 tahun([8]). Setelah berusia 40 tahun, Nabi Musa ‘Alaihissalam diangkat menjadi nabi dan diberi pengetahuan.
Setelah itu, terjadilah skandal besar yang akhirnya membuat Nabi Musa ‘Alaihissalam terusir dari istana Fir’aun dan dari Mesir. Allah ﷻ berfirman:
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ
“Musa pun memasuki kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah. Ia pun mendapati padanya dua orang lelaki yang sedang berkelahi; yang seorang berasal dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) berasal dari musuhnya (kaum Fir´aun). Lalu orang yang dari golongannya pun meminta bantuannya untuk mengalahkan orang yang berasal dari musuhnya. Musa pun meninju orang tersebut, dan seketika matilah ia. Musa berkata: ‘Ini adalah perbuatan setan. Sungguh setan itu benar-benar musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).’” (QS. Al-Qashash: 15)
Nabi Musa ‘Alaihissalam adalah orang yang sangat kuat. Bahkan dikisahkan dalam hadis yang sahih, tatkala malaikat yang menjelma sebagai manusia mendatangi beliau ‘Alaihissalam, beliau ‘Alaihissalam yang tidak mengenalinya pun menamparnya hingga keluarlah matanya dari kepalanya([9]).
Melihat orang tersebut mati terkapar, Musa ‘Alaihissalam pun menyesal dan beristighfar atas perbuatannya. Allah ﷻ berfirman:
قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ، قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ
“Musa berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.’ Maka Allah pun mengampuninya. Sesungguhnya Dialah Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, lantaran nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (QS. Al-Qashash: 16-17)
Ayat ini jelas sekali menujukkan bahwa perbuatan Nabi Musa ‘Alaihissalam yang tanpa sengaja membunuh lelaki dari suku Qibthi tersebut adalah sebuah dosa[10]. Allah ﷻ dengan jelas berfirman: “Maka Allah pun mengampuninya”.
Lalu dosa apa yang beliau ‘Alaihissalam lakukan dengan membunuh seorang pengikut Fir’aun, manusia paling kafir sepanjang sejarah? Jawabannya adalah bahwa memang tidak setiap kafir itu boleh dibunuh. Setiap syari’at para nabi memiliki kriteria, mana kafir yang boleh dibunuh dan mana yang tidak([11]). Semua diatur dengan sempurna, tidak ada keserampangan padanya. Oleh karenanya di Padang Mahsyar kelak, Nabi Musa ‘Alaihissalam akan menolak untuk maju memohonkan syafa’at kepada Allah ﷻ untuk umat manusia dengan beralasan:
“Sungguh Tuhanku sedang marah pada hari ini, dengan kemarahan yang belum pernah aku lihat sebelumnya, dan Ia ﷻ tidak akan marah demikian setelah ini. Tambah lagi, aku pernah membunuh jiwa yang aku sama sekali tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Sungguh aku hanya memikirkan diriku saat ini. Pergilah kepada Isa bin Maryam!”[12]
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun merasa takut dan khawatir akan hukuman yang ia terima jika terungkap bahwa dirinya lah yang membunuh lelaki Qibthi tersebut, karena membunuh warga pribumi adalah kejahatan fatal di negeri Fir’aun ketika itu, apalagi jika yang membunuhnya adalah seorang dari Bani Israil.
Allah ﷻ berfirman:
فَأَصۡبَحَ فِي ٱلۡمَدِينَةِ خَآئِفٗا يَتَرَقَّبُ فَإِذَا ٱلَّذِي ٱسۡتَنصَرَهُۥ بِٱلۡأَمۡسِ يَسۡتَصۡرِخُهُۥۚ قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰٓ إِنَّكَ لَغَوِيّٞ مُّبِينٞ، فَلَمَّآ أَنۡ أَرَادَ أَن يَبۡطِشَ بِٱلَّذِي هُوَ عَدُوّٞ لَّهُمَا قَالَ يَٰمُوسَىٰٓ أَتُرِيدُ أَن تَقۡتُلَنِي كَمَا قَتَلۡتَ نَفۡسَۢا بِٱلۡأَمۡسِۖ إِن تُرِيدُ إِلَّآ أَن تَكُونَ جَبَّارٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا تُرِيدُ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلۡمُصۡلِحِينَ
“Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kembali kepadanya. Musa berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sesat!’
Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: ‘Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang lainnya? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak mengadakan perdamaian!’” (QS. Al-Qashash 18-19)
Ketakutan yang dirasakan oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam adalah rasa takut yang naluriah dan wajar, layaknya rasa takut seseorang terhadap hewan buas, orang yang menodongkan senjata, dan ketakutan-ketakutan wajar lainnya.
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa yang mengatakan kepada Musa ‘Alaihissalam: ‘Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang lainnya? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak mengadakan perdamaian!’
Mayoritas ahli tafsir[13] mengatakan bahwa orang Bani Israil lah yang mengatakan hal ini. Ia menyangka bahwa Musa ‘Alaihissalam yang baru saja mengatainya sebagai seorang yang sesat, datang menghampirinya untuk menonjoknya. Ia tahu bahwa pukulan Musa ‘Alaihissalam dapat berakibat kematian, maka ia pun berkata, ‘Apakah kamu akan membunuhku…dst’.
Sebagian ulama lainnya[14] berpendapat bahwa itu adalah ucapan orang Qibthi. Ia memahami dari percakapan antara Musa ‘Alaihissalam dan orang Bani Israil yang sedang berkelahi dengannya, bahwa Musa lah pembunuh orang Qibthi yang baru saja mati kemarin. Melihat Musa ‘Alaihissalam beranjak ke arahnya, ia pun mengatakan, ‘Apakah kamu akan membunuhku…dst’.
Perkelahian pun bubar, dan Musa ‘Alaihissalam tidak jadi membantu orang Bani Israil tersebut dan meninggalkannya. Akan tetapi, orang Qibthy tersebut pun jadi mengetahui bahwa yang membunuh kemarin adalah Musa álaihis salam. Ia pun segera melapor dan akhirnya Musa pun diburu oleh Fir’aun dan bala tentaranya.
Allah ﷻ berfirman,
وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota dengan tergesa-gesa, seraya berkata: ‘Hai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang merundingkan pembunuhanmu! Keluarlah engkau (dari kota ini)! Sesungguhnya aku benar-benar tulus menasehatimu.’“ (QS. Al-Qashash: 20)
Sampai saat ini kita tidak mengetahui identitas lelaki tersebut, namun Allah ﷻ mengabadikan peran krusialnya di dalam Al-Qur’an yang akan terus dibaca hingga hari Kiamat. Perhatikanlah amal perbuatan anda, karena perbuatan baik pasti akan abadi, walau identitas pelakunya tidak dikenal di kemudian hari.
Musa ‘Alaihissalam pun terkejut mendengar berita tersebut, dan langsung berlari meninggalkan Mesir. Allah ﷻ berfirman:
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan penuh rasa takut dan kekhawatiran akan tertangkap. Dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.’“ (QS. Al-Qashash: 21)
Nabi Musa ‘Alaihissalam pun bergegas meninggalkan Mesir, tanpa sempat mempersiapkan bekal apa pun untuk pelariannya tersebut. Bahkan sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam pergi berlari tanpa memakai alas kaki([15]). Meskipun demikian, keyakinan beliau ‘Alaihissalam akan perlindungan Allah ﷻ tak pernah sirna. Beliau ‘Alaihissalam pun berdoa dengan doa yang sangat tulus, agar Allah ﷻ melindunginya dari orang-orang yang memburunya.
Footnote:
______
([1]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi 9/271
([2]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 6/ 221 dan Qashashul-Anbiya karya Imam Ibnu Katsir:2/ 5.
([3]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 6/ 221.
[4] Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa Fir’aun tidak pernah tau bahwa bayi itu berasal dari Bani Israil. Namun, pendapat yang kami sebutkan di atas adalah yang lebih kuat.
([5]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 6/ 223.
([6]) Firáun menjadi sayang kepada Nabi Musa karena firman Allah :
وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي
Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku (QS Thaha : 39)
Yaitu Allah menjadikan orang-orang mencintai Musa, diantaranya adalah Firáun.
Ini adalah salah satu pendapat sebagian salaf yang dipilih oleh At-Thobari, beliau berkata :
فَحَبَّبَهُ إِلَى آسِيَةَ امْرَأَةِ فِرْعَوْنَ، حَتَّى تَبَنَّتْهُ وَغَذَّتْهُ وَرَبَّتْهُ، وَإِلَى فِرْعَوْنَ، حَتَّى كَفَّ عَنْهُ عَادِيَتَهُ وَشَرَّهُ
“Maka Allah pun menjadikan Musa dicintai oleh Asiah istrinya Firáun, sehingga Asiah pun mengangkat Musa sebagai anak, memberi makan kepadanya, serta mengasuhnya. Dan Allah juga menjadikan Musa dicintai oleh Firáun, sehingga Firáun menahan kejahatan dan keburukannya dari Musa” (Tafsir at-Thobari 16/58)
Adapun Imam Al-Qurthubi maka beliau menyebutkan bahwa Fir’aun tetap tidak menyukai Nabi Musa bahkan diriwayatkan secara marfu’:
“لَوْ قَالَ فِرْعَوْنُ نَعَمْ لَآمَنَ بِمُوسَى وَلَكَانَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَهُ”
“Seandainya Fir’aun mengatakan: Ya (Musa sebagai penyejuk hari) niscaya dia akan beriman dengan Musa dan akan menjadi penyejuk hati baginya” .(Tafsir Al-Qurthubiy: 13/ 254)
Yang lebih tepat adalah pendapat at-Thobari bahwa Firáun menyayangi Musa sehingga merawat Musa sebagai anak angkatnya, hingga akhirnya ketika Musa membunuh salah satu pengikut Firáun apalagi mendakwahi Firáun maka Firáunpun benci kepadanya. Wallahu a’lam.
([7]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 6/ 223-224.
([8]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 13/ 258 dari pendapat Ibnu Abbas dan tafsir Ath-Thabariy: 19/ 535 dari pendapat Mujahid dan Ibnu Zaid.
[10] Berbeda dengan pendapat sebagian kalangan yang menyatakan bahwa dosa tersebut hanyalah prasangka Nabi Musa semata. Sebenarnya perbuatan tersebut bukanlah dosa.
([11]) Untuk pembahasan lebih detail perihal ketentuan membunuh orang kafir dalam syari’at Islam, silahkan merujuk kepada: Ahkam Ahli Dzimmah karya Imam Ibnul Qayyim: 2/ 873-874.
[12] HR. Bukhari (4712) dan Muslim (194)
[13] Seperti At-Thabari (Tafsir At-Thabari 18/195-196), Al-Qurthubi (Lihat Tafsir Al-Qurthubi 13/265), dan Ibnu Katsir (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 6/255)
[14] Lihat Tafsir al-Baidhowi 4/174 dan At-Tahriir wa at-Tanwiir karya Ibnu Asyur 20/94