Asmaul Husna
Al-Halim (الْحَلِيْمُ)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
الْحَلِيْمُ (Al-Halim) secara bahasa berasal dari الْحِلْمُ. Disebutkan oleh Al-Faris dalam Mu’jam Maqayiis Al-Lughah, beliau berkata bahwasanya الْحِلْمُ artinya adalah ضِدُّ الْعَجَلَةَ, yaitu lawan dari ketergesa-gesaan.[1] Sebagian ulama juga menambahkan bahwasanya الْحِلْمُ juga disebut dengan الْحِكْمَةُ (bijak).
Makna الْحِلْمُ bagi Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Allah Subhanahu wa ta’ala tidak segera memberi hukuman kepada hamba-hamba-Nya yang membangkang, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menunda agar mereka sadar dan kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala disebut dengan Al-Halim (الْحَلِيْمُ). Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ لَوْ يُؤَاخِذُهُمْ بِمَا كَسَبُوا لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ بَلْ لَهُمْ مَوْعِدٌ لَنْ يَجِدُوا مِنْ دُونِهِ مَوْئِلًا
“Dan Tuhanmu Maha Pengampun, memiliki kasih sayang. Jika Dia hendak menyiksa mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan siksa bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu tertentu (untuk mendapat siksa) yang mereka tidak akan menemukan tempat berlindung dari-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 58)
Ayat ini menyebutkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk menyegerakan azab bagi orang yang berbuat maksiat, padahal Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk menyegerakan azab. Namun ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyegerakan azab karena Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Halim. Demikian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezaliman mereka, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan. Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. An-Nahl: 61)
Ketahuilah bahwa betapa banyak orang di atas muka bumi ini yang melakukan pembangkangan, namun Allah Subhanahu wa ta’ala membiarkan mereka. Betapa sering kita melakukan kemaksiatan di atas muka bumi, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak memberi hukuman kepada kita secara langsung. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kesempatan kepada kita agar kita kembali kepada-Nya, dan juga terkadang Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan teguran agar kita ingat. Akan tetapi jika sekiranya setiap kali seseorang bermaksiat Allah Subhanahu wa ta’ala langsung mengazab sang hamba tersebut, maka sungguh seluruh manusia akan binasa, namun karena Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Halim, maka dia menunda untuk memberi azab kepada hamba-hamba-Nya.
Terdapat banyak sekali ayat di dalam Al-Quran dan juga hadits-hadits dari Nabi Muhammad ﷺ yang menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Halim. Seperti dalam sebuah hadits, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berkata tentang orang-orang kafir,
يَشْتِمُنِي ابْنُ آدَمَ، وَمَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَشْتِمَنِي، وَيُكَذِّبُنِي وَمَا يَنْبَغِي لَهُ، أَمَّا شَتْمُهُ فَقَوْلُهُ: إِنَّ لِي وَلَدًا، وَأَمَّا تَكْذِيبُهُ فَقَوْلُهُ: لَيْسَ يُعِيدُنِي كَمَا بَدَأَنِي
“Anak Adam mencaci-Ku padahal tidak pantas bagi mereka mencaci-Ku dan dia mendustakan-Ku padahal tidak patut baginya. Caciannya kepada-Ku yaitu ucapannya yang mengatakan bahwa Aku punya anak, dan pendustaannya adalah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku tidak dapat mengembalikannya (setelah hancur dimakan tanah atau mati) sebagaimana awal Aku menciptakannya.”[2]
Lihatlah bagaimana sikap orang-orang kafir terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi Nabi ﷺ dalam hadits yang lain berkata,
لَيْسَ أَحَدٌ، أَوْ: لَيْسَ شَيْءٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ، إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا، وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
“Tidak ada siapa pun atau tidak ada sesuatu pun yang lebih bersabar atas gangguan yang ia dengar melebihi Allah, sesungguhnya mereka menganggap Dia punya anak namun Dia memaafkan mereka dan memberi mereka rezeki.”[3]
Renungkanlah, Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan mereka, kemudian mereka malah mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki anak. Lantas apa yang Allah lakukan terhadap mereka? Yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala memaafkan dan memberi rezeki kepada mereka, padahal mereka telah mengganggu Allah Subhanahu wa ta’ala dengan tuduhan yang tidak benar.
Kemudian lihat pula kisah Firaun yang mengaku bahwasanya dia adalah Tuhan. Sikap Firaun adalah sikap yang jelas-jelas kurang ajar terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Bagaimana tidak, manusia saja jika dia bekerja di suatu perusahaan dengan status paling rendah, namun tiba-tiba mengaku bahwa dia pemilik perusahaan tersebut, apakah itu bukan sikap kurang saja namanya? Maka meskipun Firaun dengan sombongnya mengatakan bahwa dia adalah Tuhan, ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengirim angin puting beliung ketika dia mengatakan demikian, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala mengirim Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihissalam untuk mendakwahinya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى، فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Firaun, karena dia benar-benar telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)
Lihatlah betapa Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Halim, Dia memberi tunda untuk mengazab Firaun.
Kemudian juga dengan orang-orang Nasrani yang mereka mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala punya anak atau mengatakan Allah itu satu dari yang tiga (trinitas). Tentunya Allah Subhanahu wa ta’ala marah kepada mereka, Allah Subhanahu wa ta’ala mengafirkan mereka, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala masih menawarkan taubat kepada mereka, dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak langsung mengirim azab kepada mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ، أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih. Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 73-74)
Di antara yang menunjukkan nama Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Halim yaitu sebagaimana firman-Nya dalam surah Fathir,
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
“Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain Allah. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 41)
Apa kaitannya Allah Subhanahu wa ta’ala menjaga langit dan bumi dengan nama Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Halim? Para ulama seperti Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa di bawah langit dan di atas bumi banyak sekali orang yang melakukan kemungkaran, banyak orang kafir, banyak orang murtad, banyak orang berbuat kesyirikan. Kalau Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka Allah Subhanahu wa ta’ala bisa menurunkan hujan batu kepada mereka, bahkan kalau Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak maka Allah Subhanahu wa ta’ala bisa menjatuhkan langit kepada mereka, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak membinasakan mereka karena Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Halim dan Al-Ghafur.[4]
Oleh karena karena Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Halim, maka Allah Subhanahu wa ta’ala suka dengan hamba-Nya yang memiliki sifat hilm (tidak segera membalas). Contohnya seperti Allah Subhanahu wa ta’ala memuji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam firman-Nya,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ
“Ibrahim sungguh penyantun, lembut hati dan suka kembali (kepada Allah).” (QS. Hud: 75)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah di antara hamba Allah yang memiliki sifat hilm. Bayangkan saja, beliau diusir oleh orang tuanya, dia dibakar oleh kaumnya, akan tetapi beliau tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar memberikan balasan kepada mereka, padahal kalau Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berdoa meminta kehancuran bagi mereka maka pasti Allah Subhanahu wa ta’ala akan membinasakan mereka, apalagi kita ketahui bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah kekasih Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi tidak demikian sifat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, beliau bersabar. Bahkan dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa tatkala ada yang mencaci maki Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, dia hanya menjawab, “هَدَاكَ اللهُ” (semoga Allah memberimu petunjuk). Demikian juga ketika kisah istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam Sarah mengusir Hajar karena cemburu, beliau tidak marah kepada Sarah karena beliau memiliki sifat hilm (tidak segera membalas).
Dari sini kita tahu bahwasanya Al-Halim adalah sifat yang terpuji. Oleh karenanya Nabi Muhammad ﷺ pernah berkata kepada Al-Asyaj Asyaj Abdul Qais,
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ، وَالْأَنَاةُ
“Sesungguhnya dalam dirimu ada dua karakter yang disukai oleh Allah, yaitu sabar dan berhati-hati.”[5]
Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki nama Al-Halim karena Dia memiliki hikmah. Allah Subhanahu wa ta’ala tahu kapan Dia harus mengazab dan memberi hukuman kepada makhluk-Nya, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala sabar terhadap hamba-hamba-Nya yang berbuat syirik, dan Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertaubat kepada-Nya. Oleh karena itu, masing-masing kita hendaknya memiliki sifat hilm (tidak segera membalas), karena sifat tersebut dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Footnote:
__________
[1] Lihat: Maqayis Al-Lughah karya Ibnu Faris (2/93).
[2] HR. Bukhari No. 3193.
[3] HR. Bukhari No. 6099.
[4] Lihat: Tafsir As-Sa’di (hal. 691).
[5] HR. Muslim No. 17.