Hadits 17
Keutamaan Bergaul dengan Orang di Sekitar
Dari Ibnu ‘Umar i berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
اَلْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يُخَالِطُ النَّاسَ ويَصْبِرُ عَلَى أذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap kejahatan mereka lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap kejahatan mereka.” ([1])
Hadits ini menunjukkan keadaan mukmin itu bertingkat-tingkat. Ada mukmin yang sibuk dengan dirinya sendiri, ada yang berusaha bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Dan syariat mendorong kita agar menjadi makhluk yang bersosial. Hal ini banyak dijumpai dalam berbagai amalan ibadah semisal shalat berjamaah di masjid, shalat Jumat, shalat ‘id, ibadah haji. Syariát ingin agar seorang mukmin berinteraksi dengan kaum mukminin lainnya.
Demikian pula dalam muamalah, seseorang berusaha untuk bergaul dengan orang-orang di sekitarnya walaupun harus bersabar menanggung gangguan. Karena yang namanya bergaul sering kali tidak bisa lepas dari adanya gesekan. Bahkan dua sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khaththab juga pernah berselisih.
Akan tetapi bukan berarti di dalam bergaul dia tidak mengontrolnya. Jika ada teman yang mengajak ikut bermaksiat maka tentu ajakan ini tidak boleh dihiraukan. Diajak ikut berjudi atau minum khamar jika tidak ikut maka tidak dianggap teman lagi, maka tidak perlu dihiraukan. Atau pergaulannya di luar rumah terlalu luas sehingga kadang menyepelekan hak-hak orang di dalam rumahnya seperti istri, suami, orang tua, atau anak-anaknya.
Adapun jika diajak kerja bakti bersama, olahraga bersama, maka semua ini tidaklah masalah untuk diikuti. Jika di dalam pergaulan-pergaulan tersebut ada gangguan, gesekan, maka usahakan untuk tidak mudah terbawa oleh perasaan, usahakan memberi uzur, dan tentu berusaha untuk bersabar.
Footnote:
_______